Sepertinya Armando tak  malu lagi. Dan ia tidak punya alasan untuk malu. Satu-satunya alasan dia untuk melakukan hal itu karena ia tergiur. Terlalu besar nominal yang menjadi tantangan untuk dilewatkan begitu saja. Sementara dengan nominal itu ia bisa memperoleh apa yang ia idam-idamkan.
*****
      "Aku tak habis pikir, berani-beraninya dia menciumku di hadapan kelas." Mareta menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Tak jelas, apakah dia kesal, marah atau senang."
      "Lha, memangnya kenapa kalau dia cium kamu?" tanya Lala menoleh pada temannya. "Lagian kupikir kamu senang dicium Armand," lanjutnya.
      "Astaga...  Senang? Siapa lagi yang senang," sungut Mareta.
      "Buktinya dari kemarin, itu saja yang kamu omongin. Lagian tidak ada nada marah, tuh! Malah sepertinya kamu senang." Mareta meledek
Mareta menoleh dan tatapannya bertemu dengan tatapan teman dekatnya. "Benarkah?" tanyanya ragu, "Kamu tidak merasa aku marah dengan kelakuan dia?"
      "Nona Mareta, sejak kapan aku berbohong pada kamu. Yang sedang terjadi adalah kamu sedang berbohong pada temanmu ini dan pada perasaanmu sendiri. Akui saja kamu suka Armand."
Mareta mengalihkan tatapannya. Ucapan Lala serasa menelanjanginya. "Benarkah aku suka Armand?" pikirnya. Ingatannya mengulang kejadian dua hari lalu. Dia masih ingat detik-detik kejadian itu. Tidak disadari seulas senyum mengembang di bibir Mareta.
      "Tuh kan, malah senyum-senyum sendiri. Pasti sedang bayangin kejadian itu," todong Lala.
Mareta gelagapan. Lamunannya buyar. Tebakan temannya terasa mengena sekali. Mareta dibuat salah tingkah. Wajahnya memerah.
      "Nggak.." sangkalnya pelan.
      Lala terkikik melihat sikap temannya. Namun mendadak ia terdiam. Ia menyikut temannya dengan mata memberikan isyarat. Mareta mengikut isyarat temanya dan sontak ia mencondongkan tubuhnya berusaha agar tidak terlihat.
      "Santai saja kali, tidak usah membungkuk. Mereka tidak akan melihat kita kok," ujar Lala. Gadis itu berdiri.
      "Mau kemana?" tanya Mareta
      "Penasaran saja pengen tanya Armand. Kamu tidak banyak cerita soal dipanggil Bu Sekar. Kali dia mau cerita."Â
      "Ngapain lagi ketemu dia?" Usaha Mareta menghalangi Lala sia-sia. Gadis itu sudah menjauh dan hilang di balik rak buku
      Mareta gelisah menunggu temannya. Niatnya untuk menyusul Lala ia urungkan. Alhasil berkali-kali ia menengok ke arah perginya Lala. Namun gadis itu tak juga muncul. Kekesalannya berganti keheranan melihat teman Armand keluar dari barisan rak disusul Armando dan langsung melewati pintu keluar. Namun tidak dengan Lala. Baru saja Mareta berdiri hendak mencari Lala, gadis itu menampakkan batang hidungnya dari balik rak.
      "Kemana saja kamu?" semprot Mareta.
      "Jangan banyak tanya. Ikut aku," ujar Lala. Setengah memaksa tangannya menarik tangan Mareta. Mareta mengurungkan protesnya melihat raut muka Lala. Ia mengekor, tidak berkata apa-apa.
      "Sewaktu aku nguping mereka, aku ingat bawa HP. Jadi kurekam sebagian pembicaraan mereka." Lala berkata setelah tiba di tempat yang ia maksud.Â
      "Sekarang coba dengarkan ini," lanjutnya. Mareta tidak membantah. Ia kenakan earphone yang disodorkan temannya. Raut wajahnya berubah. Ia menoleh pada Lala dengan kening berkerut. Tidak berapa lama ia kembalikan earphone tersebut kepada temannya. Ia tidak berkata apa-apa. Tangannya menopang dagu.Â
      "Aku turut prihatin," ujar Lala pelan, "ternyata kejadian kemarin itu hanya untuk konten. Mereka telah menskenario kejadiannya termasuk siapa yang harus ngambil video kejadian. Kamu tidak bisa tinggal diam. Kalau sampai video itu tersebar, orang bisa berpikir apapun tentang kejadian itu, tentang kamu."Â
      Mareta tetap diam. Tangannya berpindah meraba saku rok dan mengeluarkan HP. Tidak berapa lama HP itu sudah berpindah tangan.
      Lala menatap video di HP. Tatapannya berpindah dari HP ke wajah temannya.
     "Lho, itukan kejadian kemarin?" tanyana bingung.  Mareta mengangguk.
     "Kok bisa kamu dapat videonya?" tanya Lala lagi.
     "Maaf, ya. Aku belum sempat bercerita. Aku sendiri bingung semua begitu cepat. Kemarin kejadiannya. Pulang sekolah dipanggil wali kelas. Dan tadi pagi aku terima video itu."
     "Dari?" potong Lala.
     "Armando," jawab Mareta
     "Kok?" tanya Lala heran dan bingung. "Trus yang dia tadi omongkan dengan Aldo itu apa?"
     "Kalau aku merangkai ceritanya sih, Armand memutuskan membatalkan perjanjiannya dengan Aldo. Aldo menjanjikannya sejumlah uang. Kamu tahu Aldo. Tahu dia bertepuk sebelah tangan, dia gunakan cara-cara untuk menyudutkanku. Kapan kapoknya dia. Sekarang memanfaatkan Armand."
     "Kamu tahu dari mana? Armand?" tanya Lala.Â
     Mareta menggeleng, "Bu Sekar. Dia menunjukkan tulisan pengakuan Armand."
     "Pantes Aldo terdengar begitu kesal," gumam Lala. "Armand sendiri apakah pernah cerita pada kamu?"Â
     Mareta menggeleng, "Ia hanya mengirimkan video itu dengan satu pesan pendek."
      "Apa bilangnya?"
     "Kalau-kalau aku ingin menyimpannya. Dia menjamin copiannya tinggal satu, yang dikirimkan ke aku itu. Yang lain sudah dihapus."
     "Kamu percaya?"
     Mareta mengangkat bahunya. Dari tulisan Armando, HP yang digunakan untuk merekam kejadian itu HP Armando. Dan video yang ditunjukkan ke Bu Sekar belum tersebar termasuk ke pemesannya, Aldo.Â
     "Terus sekarang kamu bagaimana?"
     Mareta kembali mengangkat bahu. Ia menerima kembali HP yang disodorkan temannya.Â
      "Aku tidak tahu," katanya lemah. Matanya menerawang sampai perhatiannya teralihkan oleh bunyi pesan masuk.Â
      "Armand?" gumamnya setengah terkejut. Tanpa membuang waktu ia membuka kotak pesan. "Aku tahu temanmu menguntit dan merekam percakapanku dengan Aldo. Semoga kamu lebih percaya padaku."Â
     Wajah Mareta tampak terkejut. Ia mengangkat wajahnya, menatap Lala. Lala yang penasaran dengan reaksi temannya mengambil HP dari tangan Mareta. Mata Lala membesar dengan ekspresi terkejut yang tak bisa disembunyikan ketika membaca pesan itu.
      "Hah? Armando?" ujarnya, "Kok dia tahu aku menguping?" tanyanya bingung
      Kedua gadis itu tidak menyadari sepasang mata mengawasi mereka dari balik rak buku. Seulas senyum menyungging di wajah sosok anak muda. Senyum Armando.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H