Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mareta dan Armando

19 Februari 2021   22:22 Diperbarui: 28 Februari 2021   23:18 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            Sepertinya Armando tak  malu lagi. Dan ia tidak punya alasan untuk malu. Satu-satunya alasan dia untuk melakukan hal itu karena ia tergiur. Terlalu besar nominal yang menjadi tantangan untuk dilewatkan begitu saja. Sementara dengan nominal itu ia bisa memperoleh apa yang ia idam-idamkan.

*****

            "Aku tak habis pikir, berani-beraninya dia menciumku di hadapan kelas." Mareta menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Tak jelas, apakah dia kesal, marah atau senang."

            "Lha, memangnya kenapa kalau dia cium kamu?" tanya Lala menoleh pada temannya. "Lagian kupikir kamu senang dicium Armand," lanjutnya.

            "Astaga...  Senang? Siapa lagi yang senang," sungut Mareta.

            "Buktinya dari kemarin, itu saja yang kamu omongin. Lagian tidak ada nada marah, tuh! Malah sepertinya kamu senang." Mareta meledek

Mareta menoleh dan tatapannya bertemu dengan tatapan teman dekatnya. "Benarkah?" tanyanya ragu, "Kamu tidak merasa aku marah dengan kelakuan dia?"

            "Nona Mareta, sejak kapan aku berbohong pada kamu. Yang sedang terjadi adalah kamu sedang berbohong pada temanmu ini dan pada perasaanmu sendiri. Akui saja kamu suka Armand."

Mareta mengalihkan tatapannya. Ucapan Lala serasa menelanjanginya. "Benarkah aku suka Armand?" pikirnya. Ingatannya mengulang kejadian dua hari lalu. Dia masih ingat detik-detik kejadian itu. Tidak disadari seulas senyum mengembang di bibir Mareta.

            "Tuh kan, malah senyum-senyum sendiri. Pasti sedang bayangin kejadian itu," todong Lala.

Mareta gelagapan. Lamunannya buyar. Tebakan temannya terasa mengena sekali. Mareta dibuat salah tingkah. Wajahnya memerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun