Lingkungan represif memaksa aktivis menjadi lebih bijak. Pada Hari Gerakan Pemuda, 6 April, aktivis muda liberal dan sayap kiri didirikan pada tahun 2008 dan berusaha untuk meninggalkan represi dengan melakukan sebagian besar pengorganisasian melalui Facebook. Pemimpinnya menghadapi intimidasi setelah mereka berhasil dalam mempromosikan pemogokan umum nasional pada tanggal 6 April tahun itu. Pemogokan mengingatkan rezim dengan menghubungkan aktivis pemuda dengan protes buruh besar-besar yang telah menggayang negara itu selama beberapa tahun. Meskipun represi internal dan perjuangan memakan korban dalam gerakan itu, itu tetap setidaknya secara simbolis penting dan akhirnya memainkan peran dalam hari-hari awal revolusi 2011.
Sepanjang periode ini, dialog dilanjutkan antara Islamis dan kelompok politik sekuler liberal dan lainnya, bahkan di tengah tindakan keras pemerintah pada media, pengecualian calon oposisi dari banyak pemilu, bentuk lain dari kecurangan pemilu, dan penggunaan sistematis penyiksaan terhadap lawan politik rezim. Salah satu episode yang paling luar biasa dari dialog Islam-liberal adalah berkenaan dengan rancangan program politik Ikhwanul pada tahun 2007. Fakta bahwa itu dibagi dalam bentuk konsep dengan aktivis di luar Ikhwanul itu sendiri penting, mengingat pengambilan keputusan organisasi yang biasanya buram.
Sementara program mendukung gagasan demokrasi parlementer bagi Mesir dan visi Ikhwan secara lebih rinci lebih yang dari seratus halaman itu berisi dua elemen yang khawatir non-Islam: penciptaan sebuah dewan ulama untuk meninjau undang-undang agar sesuai dengan hukum Islam, dan larangan kedua kandidat perempuan dan non-Muslim sebagai kepala negara. Posisi ini memicu badai kritik dan ditentang oleh beberapa anggota Ikhwan yang lebih progresif. Draft 2007 masih belum selesai, dan dewan ulama dan pengucilan presiden akan gagal untuk tampil di platform Ikhwanul di masa depan. Namun hingga akhir 2012, beberapa tokoh dalam organisasi terus mengatakan bahwa mereka secara pribadi menganggap wanita tidak cocok untuk presiden.
Tidak semua kegiatan politik pada tahun-tahun itu mengarah ke revolusi yang terjadi di belakang layar. Pada bulan Februari 2010, Mohamed ElBaradei, mantan kepala Badan Energi Atom Internasional, kembali ke negara asalnya Mesir untuk menantang rezim Mubarak. Berbeda dengan Gerakan Pemuda 6 April, yang bisa dibilang terlalu kecil untuk menarik banyak pelecehan dari rezim, ElBaradei terlalu besar. Kembali hanya setahun sebelum Mubarak mencoba untuk menjalankan lagi atau mempromosikan anaknya sebagai penggantinya, pemenang Nobel tersebut dengan cepat menjadi terkenal di liberal Mesir dan di mata orang banyak, ia akan menjadi presiden masa depan. Ia mengadopsi program liberal secara eksplisit yang mirip dengan Kifaya dan al-Ghad tetapi lebih terfokus pada pemilihan umum yang bebas sebagai mesin perubahan politik. Seperti Kifaya, ElBaradei mengulurkan tangan bagi kelompok dengan ideologi yang berbeda, terutama Ikhwanul.
Dengan membentuk Asosiasi Nasional untuk Perubahan (NAC), ElBaradei dan tokoh-tokoh lainnya menyusun tujuh poin petisi dan mengatakan mereka berencana untuk mengumpulkan satu juta tanda tangan. Petisi menyerukan langkah-langkah khusus terhadap konteks pra-pemilihan Mesir pada tahun 2010: mengakhiri keadaan darurat, memberdayakan pengadilan untuk mengawasi pemilu, memungkinkan pemantauan domestik dan internasional dari pemilu, memberi ruang bermain bagi semua calon presiden, yang memungkinkan ekspatriat untuk memilih, membatasi masa jabatan presiden, dan melakukan pemungutan suara dengan kartu identitas nasional daripada melakukan pendaftaran. Politikus terkemuka Ikhwanul Mohamed el-Beltagy aktif berpartisipasi dalam NAC, dan menjadi salah satu contoh yang paling mencolok dari kerjasama liberal-Islam. Karena Ikhwanul mempromosikan petisi, NAC berhasil memperoleh ratusan ribu tanda tangan pada akhir 2010.
Kelompok protes yang paling menonjol muncul pada bulan-bulan menjelang revolusi adalah We Are All Khaled Said, bermacam-macam aktivis ditarik bersama-sama dalam protes terhadap pemukulan yang berakibat kematian seorang blogger muda Aleksandria oleh polisi Juni 2010. Itu penting bukan apakah pembunuhan itu kebrutalan spontan atau pembunuhan berencana; kematian seorang pemuda kelas menengah di tangan polisi di jalanan mengundang kemarahan Mesir. Setelah Gerakan 6 April dilakukan, We Are All Khaled Said diselenggarakan melalui Facebook, membawa empat ribu orang ke jalan-jalan pada 25 Juni 2010 di saat beberapa protes selain mogok kerja menarik lebih dari sedikitnya beberapa ratus protes lainnya. Tokoh liberal terkemuka seperti ElBaradei dan Ayman Nour bergabung. Sementara tujuan utama kelompok adalah untuk menggembleng kemarahan publik terhadap kebrutalan polisi dan pelanggaran hak asasi manusia lannya yang tersebar luas, juga menyerukan perubahan politik dengan mengatakan bahwa "Mesir yang bercita-cita kembali ke masa ketika Mesir memiliki kebebasan dan martabat, masa ketika arus darurat militer darurat tiga puluh tahun yang panjang berakhir dan saatnya Mesir bisa bebas memilih wakil mereka yang sebenarnya."
Kontribusi We Are All Khaled Said, seperti Gerakan 6 April, lebih memobilisasi perbedaan pendapat dari dalam menyebarkan ide-ide politik; Halaman Facebook yang merupakan tempat pengorganisasian utama untuk  Hari Kemarahan 25 Januari yang berujung ke revolusi delapan belas hari. Namun, kelompok-kelompok ini terutama terdiri aktivis yang menganut agenda politik liberal dan menggunakan kecerdikan dan keterampilan sosial-media mereka untuk merajut berbagai untaian keluhan-ekonomi, berbasis hak, dan politik-serta berbagai kecenderungan politik menjadi panggilan terpadu untuk transisi dari otoriter ke pemerintahan demokratis. Aktivis muda dari 6 April dan gerakan We Are All Khaled Said juga mulai berinteraksi secara intensif dengan sayap pemuda Ikhwanul, kemitraan yang akan terbukti ampuh dan inspirasi bagi banyak orang Mesir selama revolusi.
Â
Liberalisme Selama dan Setelah Pemberontakan
      Demonstran Mesir membuat dunia tertegun pada bulan Januari 2011 tidak hanya dengan keberanian mereka, tetapi juga dengan tuntutan liberal mereka: martabat, kebebasan, dan kesempatan ekonomi. Ini tidak berarti revolusi Islam yang telah diramalkan banyak orang akhirnya akan menantang Mubarak. Ikhwanul tidak hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berbuat dengan memulai pemberontakan - meskipun situs yang diiklankan 25 Januari sebagai Hari Kemarahan, beberapa Ikhwanul muncul di luar - tapi kelompok terus selama berbulan-bulan untuk menggeser taktik untuk memaksimalkan keuntungan, bekerja sama dengan pihak berwenang dan pada saat berikutnya dengan kaum revolusioner.
         Setelah penggulingan Mubarak yang dramatis pada 11 Februari 2011, asumsi kekuasaan eksekutif oleh Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF) menandai dimulainya pelayanan militer dari transisi politik. Untuk membuat kerangka hukum dan konstitusi, SCAF menangguhkan Konstitusi tahun 1971 dan memanggil komite peninjau-konstitusi yang dipimpin oleh Hakim politik Islam moderat intelektual Tariq al-Bishri. Bekerja secara langsung terhadap aktivis liberal dan revolusioner yang menyerukan penyusunan awal konstitusi yang sama sekali baru, Ikhwan dan ultra konservatif Salafi menghabiskan energi dan sumber daya yang luar biasa untuk membujuk masyarakat untuk memilih dalam referendum 19 Maret 2011, paket amandemen konstitusi yang akan membuka jalan bagi pemilihan parlemen awal.