Jauh sebelum klaim negara tetangga memunculkan hiruk pikuk kepemilikan angklung menjadi isu nasional serta gerakan memasyarakatkan angklung menjadi upaya banyak pihak, angklung sudah mendapat tempat dan menjadi bagian proses pembelajaran di sekolah-sekolah Yayasan Penyelenggaraan Ilahi Indonesia (YPII) cabang Bandung.Â
Sebagai karya misi Kongregasi Suster Penyelenggaraan Ilahi KB/TK/SD Maria Bintang Laut, SMP Waringin dan SMA Trinitas memiliki sejarah panjang dan keterikatan emosional dengan pendidikan angklung.Â
Daeng Soetigna selaku pencipta angklung diatonis merupakan pelatih pembelajaran angklung di kompleks Jalan Kebonjati 209 Bandung tempat YPII berkarya sekaligus juga sosok yang mengupayakan rekaman angklung siswa-siswa YPII, yang pada masanya tidak semua sekolah mau dan mampu melaksanakan hal tersebut.
Pembelajaran angklung di YPII sempat mengalami pasang surut. Setelah sekian waktu pembelajaran ini menghilang di jenjang SMP Waringin, dimulai lima tahun yang lalu angklung kembali diajarkan. Dari saat itu angklung kembali lengkap diajarkan di seluruh jenjang.Â
Dalam rangka menyinambungkan pembelajaran angklung dan meneguhkan kekhasan proses pendidikan YPII cabang Bandung, di awal karya perutusan sebagai penanggung jawab YPII cabang Bandung Sr. Hilda, PI menggagas kolaborasi rekaman angklung yang melibatkan para pemain dari TK -- SMA. Alhasil CD rekaman berisikan lagu-lagu dalam permaian angklung menjadi bukti kecintaan, penghargaan dan kepemilikan  YPII atas budaya lokal. Apakah pembelajaran angklung di YPII hanya sebatas menunjukkan bentuk penghargaan atas budaya lokal? Tentu saja tidak.
Memaknai pembelajaran angklung kita perlu memaknai filosofi angklung dari berbagai pendekatan termasuk bagaimana memainkannya. Dari cara memainkannya  pembelajaran angklung mengajarkan filosofi luhur hidup bermasyarakat sebagaimana tertuang dalam dokumen UNESCO tentang pilar pendidikan - to learn to live together.Â
Mencermati situasi masyarakat Indonesia dewasa ini dengan pola kehidupan masyarakat yang tergerus sikap individualis, pembelajaran angklung menawarkan oase dalam pembentukan karakter generasi bangsa yang sadar diri dan sosial.Â
Sadar diri dikontekskan sebagai kesadaran atas hak dan tanggung jawab sebagai individu yang tidak terlepas dari kehadiran orang lain. Sadar sosial lebih berhubungan dengan kesadaran atas peran-peran sosial seturut profesi maupun status dalam hidup kemasyarakatan. Degradasi kehidupan bermasyarakat tercermin salah satunya  dengan merosotnya penghargaan atas hak dan kesetaraan individu maupun kelompok.Â
Berbagai  perseteruan komunal, tindakan anarki dengan mengatasnamakan hukum, agama, serta meningkatnya tindakan kriminal dengan korupsi sebagai salah satunya menunjukkan sisi 'keakuan' dari si pelaku baik sebagai pribadi maupun kelompok. Situasi ini dimungkinkan terjadi salah satunya karena ketidakseimbangan proses pendidikan.Â
Proses pendidikan yang mengutamakan dan menuntut keunggulan pribadi berbuah pribadi-pribadi yang sadar diri tetapi miskin kesadaran sosial. Ujian Nasional, olimpiade mata pelajaran, pemilihan siswa teladan merupakan beberapa contoh pendidikan yang berorientasi pada keunggulan pribadi. Untuk menyeimbangkannya dibutuhkan proses pendidikan dengan titik berat pada praktek hidup bermasyarakat.
Alat musik angklung yang terdiri atas satu set atau lebih angklung dengan masing-masing angklung mewakili nada yang berbeda hampir mustahil dimainkan solo. Kalaupun memungkinkan hanya menghasilkan bunyi-bunyian yang terbatas. Kondisi inilah yang menuntut angklung dimainkan secara masal.Â
Salah satu universitas negeri di Bandung bahkan menciptakan rekor MURI dengan pertunjukan angklung yang melibatkan ribuan mahasiswanya. Jumlah pemain yang besar inilah yang menjadi laboratorium peserta didik untuk belajar hidup bersama -- bermasyarakat.Â
Dalam memainkan musik angklung tiap pemain terikat dan terbatas hanya memainkan nada sesuai dengan angklung yang dipegangnya. Jika pemain melenceng dari batasan ini maka akan berbuah ketidakharmonisan.Â
Improvisasi individu sebagaimana dalam aliran musik tertentu untuk memunculkan keunggulan pribadi akan merusak permainan secara keseluruhan. Hal ini menegaskan pembelajaran angklung memfasilitasi para siswa menjadi pribadi yang tidak semata berorientasi 'aku' tetapi 'kita'. Tanpa mengecilkan potensi individu, para pemain angklung justru 'menghancurkan' ego untuk menjadi kelompok yang padu.Â
Filosofi pembelajaran angklung lainnya terkait dengan pembelajaran estetika berkesenian kampung yang tidak kampungan. Meski pembuatan angklung dikerjakan di daerah pinggiran kenyataannya angklung dimainkan di tempat-tempat bergengsi seperti istana negara, kedutaan maupun gedung pertunjukan.Â
Dari jenis lagu yang dimainkan angklung diatonis Daeng Soetigna dapat memainkan beragam aliran musik. Dari segi kolaborasi, angklung terbuka untuk dimainkan dengan berbagai alat musik, baik asli Indonesia maupun luar Indonesia.Â
Penggunaan drum yang identik dengan musik pop, sebagai contoh, kerap digunakan untuk mengiringi permainan angklung. Dengan kata lain pertunjukkan musik angklung relatif fleksibel seturut minat para pemain dan penikmatnya.
Pembelajaran angklung juga mengajarkan identitas kebanggaan kebangsaan. Klaim negeri jiran atas angklung yang memunculkan beragam reaksi akan terus tertulis dalam sejarah angklung dan sekaligus memberikan pencerahan betapa kaya bangsa ini atas kreativitas dan warisan budaya yang perlu dikelola dengan bijak.Â
Kebanggaan peserta didik sebagai bangsa salah satunya  bisa dipupuk dan dikembangkan melalui aneka pengalaman berinteraksi langsung dengan budaya bangsa, salah satunya angklung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H