Apakah Anda ingin mengucapkan kata-kata yang terdengar elegan? Saya akan memberi tips yang mungkin dapat mengubah cara pandang Anda menjalani hampir setiap percakapan santai maupun menyinggung.
Mendengarkan kata "orang gunung dan pantai" rasanya tidak asing lagi, hal ini menjamur dalam kehidupan orang Papua. Kemungkinan besar, dalam setiap percakapan Anda dengan teman-teman selalu mengucapkannya sepanjang waktu tanpa sadari
Saya mulai mendengar kata itu berulang kali dalam percakapan orang yang tanpa sengaja diucapkan. Bahkan terlihat dari berbagai fenomena yang terjadi pada pembedaan kasta sosial-politik orang Papua, pembedaan kelompok masyarakat ke dalam kategori biadab dan beradab.
Mengapa stereotip tentang "orang gunung dan pantai" merupakan stigma yang kelam? Bukankah seharusnya kita semua bebas menggunakan kata apa pun yang kita suka? Saya duduk bersama seorang teman, beranggar pikiran seputar stigma "orang gunung dan pantai". Akhir dari percakapan itu, kami tidak ingin menggunakan kata itu lagi pada pertemuan berikutnya, karena tidak menarik.
Saya memang salah satu dari sekian banyak orang yang sangat anti mendengar narasi tentang "orang gunung dan pantai" apalagi mau mengucapkan kata itu.
Maka pada tulisan ini saya enggan memberikan tajuk yang disertai "gunung" atau "pantai". Sebab dampak dari stigma tersebut menimbulkan kesenjangan sosial dan politik hingga perseteruan dan perselisihan.
Stigma "orang gunung dan pantai" mengandung unsur diskriminatif dan narasi rasialisme. Fenomena ini muncul pada masa Orde Baru hingga reformasi dalam menerapakan desentralisasi asimetris. Sebuah konsep yang awalnya digunakan untuk melakukan pemetaan dan pendekatan geososial.
Maraknya sentimen dan dikotomi dalam melihat wajah Papua dengan dinamka konflik sosial-politik dan budaya ke-Papuaan membuat stigma kelam tersebut lambat laun dilanggengkan.
Sebutan "orang gunung dan pantai" bagi orang Papua merupakan pemberian label untuk mendiskreditkan sekelompok masyarakat dengan perspektif yang buruk. Perspektif yang tidak selalu menampilkan aura positif.
Interpretasi tentang Papua selalu dikaitkan dengan pikiran, perasaan, pandangan dan prasangka negatif orang lain yang dengan sengaja mau mempengaruhi individu maupun kelompok secara keseluruhan.
Selain stigma kelam yang menjamur, masih banyak stereotip dan generalisasi bernuansa diskriminasi rasial akibat perlakuan yang tidak seimbang dan tidak adil terhadap kelompok masyarakat baik dari segi penampilan, kedudukan politik, status sosial, dan latar belakang.
Berdasarkan realitas yang terjadi di Papua, stigma dan setereotip sengaja dipropaganda oleh pihak lain sebagai sarana memecah belah dan mengkambinghitamkan kelompok tertentu terus dilestarikan dan dikukuhkan di Papua.
Fenomena penggunaan istilah "orang gunung dan pantai" terkait generalisasi dengan asumsi bahwa klaim diskriminasi rasialisme di Papua memang benar adanya. Walaupun tidak ada pendapat yang menyatakan demikian.
Fakta menunjukkan adanya stigma kelam dan stereotip rasial yang tidak rasional, biadab dan tidak nyambung dengan realitas semua makna yang terkait dengan penggunaan istilah "orang gunung dan pantai".
Budaya Papua dikonstruksi sebagai budaya yang terisolasi, primitif, kuno dan kolot, dipropaganda oleh berbagai media dan manusia untuk memperkeruh suasana dan memanfaatkan citra orang Papua yang dipublikasi mengenakan koteka dan mendayung perahu. Penggambaran tersebut memberikan kesan dan prasangka buruk serta sikap kasar yang kini samar-samar.
Penyajian identitas orang Papua yang diklasifikasikan dengan ilusi bahwa masyarakat Papua adalah masyarakat tertinggal dalam bidang pembangunan dan kemajuan sehingga memerlukan bimbingan layaknya anak-anak. Namun inti dari semua ini adalah orang Papua ingin mengatur harkat dan martabatnya.
Orang menggunakan stigma "orang gunung dan pantai" dengan konsep pemahamannya masing-masing yang mungkin juga bisa karena merasa konyol dan tolol untuk menggambarkan status sosial tetapi juga untuk mengerdilkan dan membedakan mereka yang tertinggal di pedalaman dan yang lebih maju di kota, yang berantakan dan rapi, yang melek huruf dan buta huruf, pemberontak dan patuh serta banyak stereotip negatif lainnya.
Orang Papua terpecah belah dan tidak percaya satu sama lain. Realitas stigmatisasi menjadi alasan mendasar mengapa orang Papua saat ini dikotak-kotakkan karena status sosial, bahkan budaya dan politik.
Stereotip dan rasa menyalahkan ditimpakan kelompok tertentu, sedangkan stigma menepatkan orang gunung maupun orang pantai dalam kategori "orang lain" dan hanya sedikit orang yang mengklaim identitasnya.
Istilah "gunung dan pantai" salah diartikulasikan dalam ucapan yang dinilai mengandung narasi rasis tetapi juga diskriminatif. Cara menstigmatisasi kondisi kedudukan, kasta sosial, serta latar belakang dengan menjunjung tinggi stereotip dan menciptakan jarak sosial yang menyulitkan orang untuk mendapatkan kembali keutuhan Papua.
Orang pantai memilih hidup bersama kelompoknya atau pun sebaliknya orang gunung, ini menjadi masalah besar perbedaan dan perpecahan akibat stereotip tersebut.
Stigma kelam ini muncul karena adanya stereotip negatif terhadap orang Papua dan setiap orang berusaha menjatuhkan dan menjauhkan diri dari kelompok masyarakat tersebut. Stigma "orang gunung dan pantai" merupakan jarak sosial yang terjadi karena masyarakat menganggap suatu kelompok sebagai "orang lain" dan "tidak seperti kita".
Sederhananya, stereotip rasialis tentang "orang gunung dan pantai" merupakan pandangan negatif yang tetap terhadap suatu kelompok atau golongan sebagai bentuk penilaian yang tidak seimbang atau tidak objektif, dipengaruhi oleh kecenderungan untuk menggeneralisasi tanpa deferensiasi. Pada fenomena tersebut, sebagian permasalahan ternyata sesuai dengan fakta yang terukur.
Terkadang kita tidak pernah menyadari menyebut "orang gunung dan pantai" dengan sendirinya terus melanggengkan stigma, hal ini tentu mempersulit dan mempersempit pemahaman orang untuk mencari keadilan restoratif.
Faktanya stigma tersebut mengacu pada stereotip, terutama stereotip distigmatisasi yang merupakan inti permasalahan dalam penggunaan istilah tersebut.
Mengapa tidak menggunakan kata yang lain? Ketika orang menyadari konotasi "orang gunung dan pantai". Bisakah kita menggunakan istilah lain? Sebagai istilah umum dengan nama daerah.
Kita harus menyebutnya dengan istilah yang elegan dan penuh hormat, bukan dengan istilah yang mau membedakan dan memecah belah persatuan dan keutuhan orang Papua.
Manusia bisa dengan sengaja menciptakan stigma dan stereotip untuk mengkotak-kotakkan orang Papua. Namun dengan penuh kesadaran kita perlu memilah jastifikasi orang dengan pemikiran rasional kita, agar tidak terjerumus pada konsep pemikiran tersebut yang justru mengundang malapetaka. Kita perlu menghilangkan prasangka buruk terhadap sesama orang Papua.
Kita tidak bisa mendefinisikan orang atau kelompok tertentu berdasarkan kelebihan dan kekurangan. Kita tidak bisa menggambarkan seseorang sebagai "pengguna koteka" tetapi "orang yang menanam labu".
Mendefinisikan suatu keadaan dan kenyataan hidup berarti mengubah cara pandang tersebut dan tidak harus menghubungkan dirinya dengan stereotip negatif yang melekat pada diri sendiri sebagai label identitas.
Melawan stigma dan stereotip tidaklah mudah. Tetapi, bukan berarti kita membiarkan hal tersebut melenggang bebas begitu saja dalam dinamika kehidupan orang Papua. Pelan tapi pasti, anggapan bahwa "orang gunung dan pantai" sebagai label negatif harus dilepaskan secara perlahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H