Selain stigma kelam yang menjamur, masih banyak stereotip dan generalisasi bernuansa diskriminasi rasial akibat perlakuan yang tidak seimbang dan tidak adil terhadap kelompok masyarakat baik dari segi penampilan, kedudukan politik, status sosial, dan latar belakang.
Berdasarkan realitas yang terjadi di Papua, stigma dan setereotip sengaja dipropaganda oleh pihak lain sebagai sarana memecah belah dan mengkambinghitamkan kelompok tertentu terus dilestarikan dan dikukuhkan di Papua.
Fenomena penggunaan istilah "orang gunung dan pantai" terkait generalisasi dengan asumsi bahwa klaim diskriminasi rasialisme di Papua memang benar adanya. Walaupun tidak ada pendapat yang menyatakan demikian.
Fakta menunjukkan adanya stigma kelam dan stereotip rasial yang tidak rasional, biadab dan tidak nyambung dengan realitas semua makna yang terkait dengan penggunaan istilah "orang gunung dan pantai".
Budaya Papua dikonstruksi sebagai budaya yang terisolasi, primitif, kuno dan kolot, dipropaganda oleh berbagai media dan manusia untuk memperkeruh suasana dan memanfaatkan citra orang Papua yang dipublikasi mengenakan koteka dan mendayung perahu. Penggambaran tersebut memberikan kesan dan prasangka buruk serta sikap kasar yang kini samar-samar.
Penyajian identitas orang Papua yang diklasifikasikan dengan ilusi bahwa masyarakat Papua adalah masyarakat tertinggal dalam bidang pembangunan dan kemajuan sehingga memerlukan bimbingan layaknya anak-anak. Namun inti dari semua ini adalah orang Papua ingin mengatur harkat dan martabatnya.
Orang menggunakan stigma "orang gunung dan pantai" dengan konsep pemahamannya masing-masing yang mungkin juga bisa karena merasa konyol dan tolol untuk menggambarkan status sosial tetapi juga untuk mengerdilkan dan membedakan mereka yang tertinggal di pedalaman dan yang lebih maju di kota, yang berantakan dan rapi, yang melek huruf dan buta huruf, pemberontak dan patuh serta banyak stereotip negatif lainnya.
Orang Papua terpecah belah dan tidak percaya satu sama lain. Realitas stigmatisasi menjadi alasan mendasar mengapa orang Papua saat ini dikotak-kotakkan karena status sosial, bahkan budaya dan politik.
Stereotip dan rasa menyalahkan ditimpakan kelompok tertentu, sedangkan stigma menepatkan orang gunung maupun orang pantai dalam kategori "orang lain" dan hanya sedikit orang yang mengklaim identitasnya.
Istilah "gunung dan pantai" salah diartikulasikan dalam ucapan yang dinilai mengandung narasi rasis tetapi juga diskriminatif. Cara menstigmatisasi kondisi kedudukan, kasta sosial, serta latar belakang dengan menjunjung tinggi stereotip dan menciptakan jarak sosial yang menyulitkan orang untuk mendapatkan kembali keutuhan Papua.
Orang pantai memilih hidup bersama kelompoknya atau pun sebaliknya orang gunung, ini menjadi masalah besar perbedaan dan perpecahan akibat stereotip tersebut.