Apakah kehidupan yang aku impikan, kebebasan mungkin di dunia ini? Apakah kehidupan tidak lebih dari pelarian?
Ataukah pendaki? Bajak laut? Sampai akhir?
Apakah hari itu akan datang, ketika aku dapat mempercayai orang lain? Adakah hari itu akan datang bagaikan mimpi ketika orang menyambutku dengan tangan terbuka sebagai teman?
Berapa kali aku harus bertahan dan berteduh di gunung sampai menanti datangnya embun di pagi hari? Sebuah malam yang tidak pernah fajar sebelum aku melihat cahaya?
Tidak pernah matahari bersinar sebelum pagi. Sebuah bulan yang tidak pernah terang sebelum malam.
Tanpa tempat untuk pergi aku sendirian. Tanah ini berwarna emas. Orang mungkin kagum. Sampai mengatasi kebencian dalam diriku.
Disertai mereka yang mendatangi aku. Sementara jiwaku gundah gulana dan keresahan di hati melingkup duka-lara.
Menyeka air mata yang mulai mengalir. Memberikan cukup kesempatan untuk suara hatiku berbicara.
Menjahit mulutku dengan diam. Membiarkan mereka mengungkapkan dan membebaskanku. Niscaya di hari yang bagaikan mimpi.
Kesepian tumbuh di hatiku, kesabaran subur dalam jiwaku, hatiku berkembang banyak membuahkan pikiran dalam benakku.
Mengapa engkau tertekan hai Jiwaku? Mengapa engkau gelisah dalam diriku
Namun diam-diam aku terus menanggungnya. Menghadapi hari esok yang tidak menentu. Aku tidak tahu, jika ada hanya sedikit kekuatan yang membangkitkan dalam hatiku.
Jika ada hatiku akan berharap dan takkan menyerah ketika fajar datang, mulai berjalan dan mencoba semampu yang dapat aku lakukan dalam kehidupan.
Hari itu akan terjadi, semuanya bagaikan mimpi, aku berdiri menapaki jalan setapak. Menanti datangnya sebuah hari bagaikan mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H