Elit-elit politik Papua (elit lokal) yang hari ini memanfaatkan situasi konflik Papua untuk membangun komunikasi politik dengan pemerintah pusat guna mempercepat kebijakan DOB Provinsi di Papua hannyalah kelompok kepentingan yang memburu kekuasaan dan tidak pernah serius dan bertanggung jawab untuk membangun rakyat Papua secara baik.
Dan jika ada elit pemerintah pusat terbukti searah dengan usulan elit politik Papua, maka penulis melihat bahwa elit politik nasional (Jakarta) juga sedang bermain bersama elit politik Papua untuk mengadu domba rakyat Papua guna memperpanjang konflik di Papua. Jika hal ini terjadi maka, penulis menilai, langkah tersebut hannyalah sebagai "pelarian politik" elit politik nasional karena tidak mampu menyelesaikan konflik Papua secara objektif dan bertanggung jawab. Elit politik nasional dan elit politik lokal terkesan lebih memilih bermain di "air keruh" konflik Papua daripada menunjukkan integritas politik sebagai negarawan yang sejati yang bertanggung jawab menyelesaikan konflik Papua.
3. Dinamika dan intervensi (solusi) konflik penyelesaian konflik Papua.
Fakta konflik Papua pada prinsipnya sebagaimana dapat kita lihat melalui konteks konflik Papua itu sendiri, dimana berdasarkan pendekatan analisis konflik multidisipliner Galtung yang penulis gunakan, maka konteks konflik Papua dapat di lihat melalui, sumber konflik, jenis konflik, tipe konflik, pihak berkonflik, dinamika dan intervensi konflik.
Sumber Konflik Papua itu sendiri ialah konflik komunal dan konflik kekuasaan. Yang sebagaimana telah menjadi sebab utama yang mengakibatkan lahirnya berbagai rentetan konflik dan semakin kompleks. Konflik komunal yang penulis maksudkan ialah, kepentingan etnisitas, bahasa, budaya, agama, dan geografis, yang menjadi modal dasar identitas sosial masyarakat Papua, yang di intervensi oleh kekuasaan negara dengan pendekatan dominasi struktural, pengendalian hukum yang tidak berpihak, serta kebijakan eksploitatif dan pembangunan yang menindas dan merugikan masyarakat Papua.
Kemudian konflik kekuasaan ialah kepentingan kekuasaan negara atas sumber daya komunal masyarakat Papua, yang dilihat oleh masyarakat Papua bahwa semestinya kekuasaan negara itu harus adil dalam memanfaatkan sumber daya komunal masyarakat Papua untuk sebesar-besarnya di gunakan sebaik mungkin untuk menyejahterakan masyarakat Papua.
Terutama sumber daya geografis yang meliputi pengelolaan sumber daya alam, pajak wilayah, dan aktivitas ekonomi di Papua. Selain itu juga termasuk produk aturan hukum yang berpihak kepada perlindungan, pemberdayaan, dan penghormatan negara terhadap hak-hak dasar kepentingan komunal masyarakat Papua secara baik dan bermartabat. Kegagalan pembangunan dan kebijakan sentralistik kekuasaan negara yang selalu diarahkan dengan motif penaklukan dan penguasaan sumber daya alam Papua adalah bagian terpenting juga yang menimbulkan konflik Papua.
Hubungan antara kedua perspektif kepentingan konflik inilah yang telah melahirkan berbagai sikap, perilaku, dan kontradiksi (situasi) konflik di Papua saat ini. Yang mana telah menjadi sebab utama yang mengakibatkan lahirnya berbagi rentetan dan dinamika konflik yang kian kompleks dan berkepanjangan di Papua saat ini.
Kontradiksi antara konflik kepentingan komunal dan kepentingan kekuasaan negara telah menciptakan berbagai sumber konflik di Papua seperti, adanya sikap masyarakat Papua untuk meninjau kembali sejarah status politik Papua di masa lalu; tuntutan masyarakat Papua terkait penyelesaian tindakan pelanggaran HAM berat di Papua; penolakan masyarakat Papua terhadap kebijakan imigrasi dan transmigrasi masyarakat luar ke Papua; penolakan masyarakat Papua terhadap kebijakan investasi sumber daya alam di Papua; penolakan masyarakat Papua terhadap kebijakan Otsus dan pemekaran DOB Provinsi di Papua; penolakan masyarakat Papua terhadap tindakan rasisme yang ditujukan oleh masyarakat Indonesia kepada masyarakat Papua; serta di lain pihak adanya tindakan negara untuk terus menekan ruang demokrasi, menjalankan kebijakan operasi militer, serta senantiasa memaksakan kebijakan pembangunan secara sentralistik tanpa adanya duduk bersama dengan masyarakat Papua untuk mengatur pembangunan di Papua secara baik. Semua hal inilah yang menjadi titik soal fakta konflik Papua saat ini.
Akar konflik Papua telah di petakan oleh LIPI, yaitu, pertama, kegagalan pembangunan oleh pemerintah di masa lalu (orde baru). Kedua, pelanggaran HAM berat di masa lalu (orde baru). Ketiga, kebijakan transmigrasi dan diskriminasi sosial-ekonomi. Keempat, sejarah status politik Papua di masa lalu (pra dan pasca integrasi ke Indonesia).
Dan penulis juga menambahkan beberapa rentetan konflik berkelanjutan di Papua ialah, kelima, kegagalan pembangunan oleh pemerintah di masa reformasi dan 20 tahun Otsus Papua. Keenam, pelanggaran HAM berat di masa reformasi dan 20 tahun Otsus  Papua. Ketujuh, urbanisasi dan diskriminasi sosial-ekonomi di masa reformasi dan 20 tahun Otsus Papua. Kedelapan, rasisme dan diskriminasi sosial di masa reformasi dan 20 tahun Otsus Papua. Delapan fakta konflik Papua yang penulis analisis dan temukan, serta penulis dapat ajukan kepada para pihak terkait untuk tujuan kepentingan pemetaan konflik Papua dan tindakan penyelesaian menyeluruh.