Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Diary

Masa-Masa Awal Kehidupan

21 Juli 2021   19:00 Diperbarui: 23 Juli 2022   13:46 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamis 17 Mei 2018 (dokpri)

Senin pagi di bulan Januari 1997 tertanggal 17 itu bermula di pinggiran Pegunungan Timur, Kampung Kosarek. Sebagaimana hari senin biasanya. Aku di lahirkan di sana dan aku mengenal baik hiruk-pikuk kehidupan di tempat itu.

Terdengar suara anak-anak yang bermain di jalan bercampur dengan riuhnya salakan babi dan anjing. Aku sedang menikmati mandi seninan ku di atas loyang yang halus di dapur rumah petak kami. Kami hanya mengenakan celana pendek dan baju kaos. Angin dari lembah bagian lapangan terbang yang bertiup tampaknya enggan mengenai seluruh tubuh ku saat Ibu melabkan dengan sebuah handuk bertulisan UCU.

 SSB (Single Side Band) di salah satu sudut ruangan yang nyaris tanpa isi itu menambah semacam iringan untuk acara dengar-dengaran kami. Ayah mematikan SSB itu sebentar saat datang khidmat dari jam 11 terdengar dari SBB. Aku, di usia 3 tahun, lebih tertarik dengan bunyi permainan dari jalanan daripada suara SSB yang berdengung.

“oh” seru ibuku sambil senyum,                  dengan expresi wajah 

“Ada apa Bu” aku bertanya

“Berangkat... berangkat...”

Hampir bersamaan saat dia mengucapkan kata itu yang hanya sedikit ku pahami  ̶  gema sorakan sudara-sudaraku (Welky dan Walina), yang menyenangkan dari suara kegembiraan mereka yang berbunyi keras dalam seluruh rumah. Itu adalah berita yang kemudian seringkali ku dengar sepanjang bulan berikutnya.

Pada awal musim hujan tahun 1999, Ayah memanggil kami untuk ke Kota sehingga kami berangkat ke Wamena  ̶  bukan suatu perpindahan yang besar dalam konteks letak geografis karena Wamena terletak hanya sekitar 74,9 km dari Kosarek. Disinilah kami mengawali hidup di tengah kota dengan penuh kebisingan suara motor, mobil, dan lainnya. Menghabiskan sisa kanak-kanak dengan segala masalah yang datang bersamaan.

Wamena terletak di perbatasan Yahukimo dan beberapa kabupaten lainnya dan sekarang merupakan pemukiman bagi banyak pekerja orang La-pago. Bukan suatu kota yang besar, namun cukup sibuk populasi manusia dan volume kendaraan yang padat, terutama dari Jalan Irian. Pemandangan alam luar kota, di sekelilingnya yang indah, di lingkungan pasir putih, air garam, dan lain-lain. 

Terkenal sebagai tempat yang di cari orang yang berkediaman di Kota Wamena untuk rekreasi akhir pekan. Dua kali besar (Ue dan Baliem) yang mengalir melalui Wamena, juga kali-kali kecil dan sebuah Kanal, semuanya mendukung berkembangnya industri-industri yang membutuhkan air.

Di pinggiran kota terdapat dua jembatan yang besar. Kedua jembatan itu terletak di dekat tetangga kampung kami, dan kami mempunyai hubungan keluarga dari Ibu. Sebuah tempat pemukiman kali di tanah yang besar, mereka tinggal di situ tidak jauh dari kota di “rumah dari rumah” mereka masing-masing.

Rumah kami di rawat dengan baik oleh para penghuni sebelumnya yang dari pinggiran barat dan kota lain. Pintu gerbang dan pagar di buat untuk melindungi segenap tempat tinggal kami, dengan bahan tradisional. Kebun yang sebentar lagi bisa menjadi hutan belantara menutupi belakang bagian rumah sehingga tampak makin rapi karena kehadiran kami.

Kehidupan di rumah berpusat di dapur yang bersih dan hampir di lengkapi dengan perabot sebuah meja semen kasar yang besar mendominasi ruang itu. Di meja itulah aku biasanya duduk kalau hendak di mandikan setiap minggunya. Taplak meja itu adalah sebuah kain dengan bunga yang berwarna-warni, di tengah meja itu ada sebuah termost yang besar, sangat jarang kosong karena selalu ada seseorang yang membuat Teh atau Kopi. Sebotol susu di encerkan dengan air agar menjadi lebih banyak, diletakan di dekatnya.

Ada banyak bangku-bangku kecil di dapur, lantai di ngaci dengan halus sehingga tidak menggunakan permadani atau karpet untuk menutupi lantai. Banyak peralatan masak yang bergelantungan di tembok-tembok serta banyak barang yang menjadi bagian dari pada dapur.

Sangat lumayan banyak makanan yang biasa di makan di atas meja. Dua saudara kandung laki-laki (Wany) dan Perempuan (Walyna) serta adik bungsu (Welky), jadi kami bertiga sedangkan tiga kakak kami (Yully, Marthinche, dan Seppy) mereka sekolah dan kuliah di luar Kota Wamena. Aku harus duduk di meja makan untuk menikmati makanan yang di berikan pada saya yang banyakan sayuran dan daging-dagingan. Kami minum dari mangkuk atau teh. Aku harus menaruh mangkuk ku di meja dan tiup dengan mulut karena sangat panas.

Aku adalah anak ke tujuh dari delapan bersaudara sebagai “anak yang paling unik” apapun selalu aku buat sesuka hati dan kehendak ku (karena masih terlalu polos). Ayahku bekerja sebagai seorang Ketua Lingkungan di Kantor Klasis, Ayah ku biasa pulang semalaman bahkan pernah di pukul anak pak Pdt yang mabuk. Ibuku sangat khawatir sampai tengah malam pun ibu tak bisa tidur.

Dengan selera humor yang baik dan imajinasi ku hidup. Hidup bersama keluarga dengan sederhana, adik dan kakak-kakak ku mencintai aku.

Binatang-binatang memainkan bagian yang menggembirakan dalam hidupku. Halaman belakangku penuh dengan binatang. Ibu selalu membuat kebun sayur, petatas dan bete, untuk di makan.

Akhirnya, aku mencapai sisi yang lain. Dari sini aku harus menyeberangi jembatan kayu kecil pada got. Aku pernah mengambil Keong pada got-got itu sehingga aku kenal baik jembatan got itu. Muncul keinginan ku untuk ambil Keong selalu ada hari-hari kosong aku mengambilnya.

Aku tidak akan pernah lupa pengalaman yang suka mengambil-ambil keong di got-got di tahun-tahun awal kehidupanku. Begitu banyak pertanyaan di kepala kecilku pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah ku tanyakan.

Dari mana datangnya angin itu? Siapa yang membuat pohon begitu tinggi? Siapa yang membuat alat teknologi? Oleh pemberian hikmat siapa? Mengapa aku lahir? Bagaimana rasanya mati itu?.

Sepertinya tidak seorang pun yang bisa ku tanyai, ibu dan ayah tidak mempunyai latar belakang pemahaman seperti itu yang tidak jelas untuk menjawab. Selain itu aku tidak yakin orang tua ku mengetahui hal semacam itu. Aku mulai berpikir tentang kehidupan ini?

Kenangan masa kecil ku membekas dalam di benak ku banyak hal yang telah terjadi  ̶  hal-hal sedih, hal-hal lucu, hal-hal yang menimbulkan teka-teki, tawa, benci suka, duka tetapi tidak banyak hal yang membahagiakan.

Tidak ada yang susah di dunia ini. Bagaimana pun hidup untuk di nikmati semua yang ada dalam jagat raya ini, bukan untuk di risaukan terus-menerus dalam samudera raya. Dari pada ada keresahan di hati menjadi gudang penyimpanan semuanya itu dalam hati untuk suatu saat nanti membuat nostalgia dalam sebuah lembaran.

Aku tahu di Indonesia hanya dua musim kemarau dan hujan. Pada liburan musim kemarau (Panas), matahari selalu tampak bersinar. Hari-hari panjang dan hangat, dan kebanyakan di habiskan di luar rumah. Aku menjelajahi jalan-jalan, kali-kali, sering bermain hingga larut malam, dan selalu bersama gerombolan kecil para teman-teman ku (geng ku).

Kami pasti terlihat sangat menyedihkan dan menyenangkan. Pakaian ku yang sama sepasangan, yaitu pakaian tim sepakbola koleksi ku yang istimewa. Kaos kaki adalah barang mewah yang tidak di kenal, dan kami sering tidak memiliki sepatu untuk di kenakan.

Pada masa tersebut, penampilan tidak merisaukan diri ku sebagus mereka yang baik, namun aku selalu eksis. Meski pun di kemudian hari, aku menjadi pekah soal ini. Lagi pula, aku masih sangat kecil. Ini adalah masa-masa awal kehidupan ku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun