Inilah beberapa karya tulis yg memberi pencerahan tentang siapakah mereka itu sendiri.Terlepas itu pendapat pribadi atau bukan tetapi ini sudah mengindikasi bahwa ada pengiringan OPINI tentang LGBT itu normal senormal orang lelaki dan wanita.Dan akhirnya mereka meminta negara mengesyahkan UU yg berlaku untuk mereka.Melihat lemahnya DPR kita pada suap dan korupsi walau hanya beberapa oknum yg tertangkap maka kita wajib kuatir bahwa lobby mereka dapat berhasil karena didukung dana yg berlimpah.Inilah langkah jenius dari mereka,kita lihat apakah mereka dapat meraih NOBEL untuk karya SASTRA nya ini.
Kita mulai menelaah tulisan mereka sebagai berikut,dibawahnya tercantuma sumber tulisan atau ref dr tulisan tersebut.
Berikut adalah hal yang dapat kita tarik dari LGBT. Pernahkah anda membayangkan jika saja LGBT ini dilegalkan di Indonesia apakah yang akan terjadi? Tentu nya banyak pihak yang akan menentang secara keras hal ini. Selain mencerminkan kita sebagai negara yang jelek. Hal ini juga ditakutkan dapat ditiru oleh anak cucu kita nanti. Namun jika saja kita berpikir ke dalam area yang lebih besar bukankah mereka nanti nya akan meninggal juga? Bukannya mereka nanti nya tidak dapat berreproduksi dan maaf saja mungkin tidak memilik anak. Kemungkinan terbesar nantinya mereka hanya akan mengadopsi anak orang lain atau dari panti asuhan. Selain ikut membantu anak-anak terlantar yang ada dimana-mana kita juga dapat mengatasi masalah pertumbuhan penduduk yang berlebihan yang ada di Indonesia. Bayangkan saja jika ada 25% dari warga Indonesia yang termasuk dalam LGBT bukankah hal ini dapat mengatasi masalah pertumbuhan penduduk yang selama ini kita alami dan tidak teratasi. Namun memang betul, nantinya hal ini dilihat dari sisi agama dan norma-norma sosial bukanlah hal yang baik.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hanzmitra/lgbt-halal-atau-haram-pro-atau-kontra_56c984f3137f61bc0dcd665d
Berikut adalah sisi positif yang bisa di ambil dari lgbt: Mengurangi tingkat rata-rata perceraian, Mengurangi tingkat rata-rata bunuh diri, dan tentunya mengurangi jumlah anak-anak terlantar di jalanan yang tidak pernah pemerintah kita atasi. Sekali lagi saya ingatkan, saya bukan lah pro atau pun kontra dalam hal LGBT ini. Saya hanya ingin mengutarakan pendapat saya. Mohon maaf jika saya memiliki argumen yang salah atau tidak mengenakkan namun inilah Indonesia. Kita diberikan hak dan kebebasan berpendapat bukan karena kita terdiri dari satu suku bangsa namun kita terdiri dari beribu suku bangsa yang memilik pendapat yang berbeda-beda.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/_anonymous_/salah-pemahaman-tentang-lgbt_56c9b6d5349373701317d532
" Jadi, tidak perlu parno melihat pernikahan sejenis. Inti dari orang menikah atau berpasangan adalah ingin bahagia dan mengisi kehidupan bersama orang yang dicintai. Dengan bersikap baik terhadap orang yang tidak kita sukai bukan berarti kita munafik, tapi itu adalah sikap orang dewasa yang dapat bertoleransi terhadap orang yang berbeda. Kedewasaan itu bukan diberikan usia, karena banyak yang sudah uzur tapi tidak dapat menerima perbedaan.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/_anonymous_/salah-pemahaman-tentang-lgbt_56c9b6d5349373701317d532
Saya masih merasa sedikit bingung tentang kenapa orang-orang merasa LGBT itu sangatlah bertolak-belakang dengan agama dan moral dan bla bla bla banyak hal lainnya. Padahal jika kita lihat lagi ke sisi agama, mereka itu juga manusia dan dari sisi moral, mereka juga manusia. Saya sendiri tidak termasuk ke dalam kelompok LGBT ini. Saya juga tidak pro ataupun kontra. Hanya saja tidak kah normal buat manusia untuk berusaha mendapatkan hak mereka? Taukah anda hal ini telah terjadi beribu-ribu tahun. Dimulai dari Sistem Kerajaan yang berubah menjadi Sistem Demokrasi dan sebagainya. Bahkan di Amerika Serikat sendiri banyak survey yang mengatakan 60% dari responden voting menyutujui bahwa pasangan LGBT ini dapat mendapatkan hak mereka untuk menikah. https://en.wikipedia.org/wiki/LGBT_rights_in_the_United_Kingdom.
Memang kalau dipikir-pikir lagi kebudayaan kita dan Amerika Serikat berbeda jauh namun kenapa mereka dengan kebudayaan nya yang penuh dengan kebebasan bahkan menerima LGBT. Karena mereka sadar akan hak atas kemanusiaan. Memang lah betul jika benar-benar dikaji, mereka yang LGBT dapat dikatakan tidak normal namun tetap saja mereka itu adalah manusia. Coba bayangkan jika hal ini terjadi kepada saudara atau anak atau teman anda. Apakah yang akan anda lakukan? Membiarkan mereka dibawa oleh massa dan diadili? Tentu saja tidak! Anda akan membela mereka dengan seluruh kekuatan anda. “Stop Judging People Before You Judge Yourself”.
Sekali lagi saya ingatkan, saya hanyalah pihak netral yang ingin semua orang mendapatkan Hak mereka. Seperti yang di cantumkan dalam pasal 2: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Pernyataan ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Di samping itu, tidak diperbolehkan melakukan perbedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.” Terima kasih. :)
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/_anonymous_/lagi-lagi-lgbt_56c9c8da349373a81417d534
MUI telah memfatwakan bahwa keberadaan LGBT adalah haram, dan mereka harus direhabilitasi. Kalangan agama gemar menghakimi orang lain apalagi bila berbeda dengan kebanyakan manusia yang 'normal'. Dari sudut pandang manusia yang 'normal' yang normalnya berpasang-pasangan adalah antara yang berkelamin berbeda, maka eksistensi LGBT yang menjungkirbalikkan tatanan yang 'normal' tentu adalah hal yang 'abnormal'. Sebagai hal yang 'abnormal' sudah barang tentu harus dikembalikan ke kondisi yang 'normal'. Referensi yang digunakan oleh kalangan agama untuk menghakimi mereka yang 'abnormal' itu adalah peristiwa 'Sodom dan Gomora' yang tercantum dalam Kitab Injil Perjanjian Lama. Kedua kota itu konon dhancurkan karena perilaku kaum LGBT yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Mungkin saja peristiwa tsunami Atjeh 26 Desember 2004 yang membawa korban jiwa 200 ribu nyawa juga karena adanya perilaku LGBT di Atjeh (???).
Memang kegemaran untuk menghubungkan antara peristiwa alam dengan perilaku manusia sudah menjadi tabiat kalangan agama untuk mengintimidasi mereka yang berperilaku tidak sesuai dengan agama. Agama memang lahir selain untuk memberi jawaban-jawaban yang terkesan masuk akal, juga penuh dengan ancaman yang mengerikan bagi mereka yang tidak mematuhi agama. Kendati demikian agama juga memberi iming-iming kenikmatan surgawi bagi mereka yang taat terhadap (ajaran) agama. Tahun 2015 lalu ada pula sekelompok manusia yang dengan landasan agama menafsirkan 4 kali peristiwa 'Blood Moon' yang sebenarnya hanya peristiwa astronomi belaka menjadi pertanda akhir jaman yang mengerikan. Banyak sekali contoh-contoh kalangan agama menafsirkan suatu peristiwa alam sebagai pertanda buruk yang disebabkan oleh perilaku mereka yang bertentangan dengan agama. Disini nasib kaum LGBT menemui naasnya. Apakah kaum LGBT itu kian hebat sehingga tingkah polah mereka bisa mempengaruhi alam semesta? Ada pandangan bahwa kaum LGBT itu tercipta karena keadaan bukan terlahir secara genetika. Maksudnya kaum LGBT itu ada karena salah bergaul dan salah asuh, sehingga mempunyai kecenderungan selera seksual yang 'abnormal'.
Bila seyogyanya lelaki doyan perempuan dan perempuan doyan lelaki, yang terjadi dengan kaum LGBT adalah lelaki doyan lelaki (jeruk makan jeruk) dan yang perempuan doyan perempuan. Yang gawat adalah di negara Barat kaum LGBT ini diberikan hak-hak untuk melakukan jurus jeruk makan jeruk secara legal. Ini yang bikin kalangan agama domestik panas dingin. Ada pula pendapat dahulunya kaum LGBT mereka menjadi korban kaum LGBT yang lebih senior sehingga meniru. Bisa jadi demikian. Namun secara genetika tentu manusia terlahir dengan keragaman genetika yang membuat pemisahan kelamin lewat kromosom XY dan XX tidak tegas. Ada lelaki yang Macho ada pula yang melambai (sering terlihat di Mall2), Perempuanpun demikian, ada yang gemulai ada yang garang. Diantara pemisahan yang jelas itu ada persentase berapa derajat macho dan berapa persentase melambainya seorang lelaki. Ada yang tampak luar sebagai lelaki tapi saat berbicara ternyata seperti perempuan, adapula yang terlihat sebagai perempuan malah garang bak singa kelaparan.
Jadi, secara lahiriah sudah terlihat keragaman itu. Namun seperti diuraikan oleh 'Meme Theory' (Richard Dawkins), selain secara genetika manusia memiliki apa yang disebut dengan 'meme'. Bila genetika mengalir lewat sperma dan sel telur, maka 'meme' mengalir dari otak manusia yang satu ke otak manusia yang lain (imitasi). Jadi bila ada lelaki yang derajat lelakinya 'abnormal' kemudian ditiru oleh lelaki yang derajat lelakinya 'sedikit abnormal' maka bisa jadi yang 'sedikit abnormal' akan menjadi 'abnormal'. Bila skala imitasi kini kian dimudahkan oleh masifnya Media Sosial dikuatirkan oleh kalangan agama, kelak kaum LGBT ini akan kian meraja lela dan populasi akan meningkat pesat, dan kalangan agama ketakutan sampai gemetar membayangkan azab seperti peristiwa Sodom dan Gomora. Jadi untuk memberantas imitasi kaum LGBT menjadi kian bertambah populasinya adalah dengan menstop imitasi yaitu kaum LGBT diancam dengan intimidasi agar tidak menampakkan eksitensinya di ruang publik-jangan berani-berani kumpul kumpul bikin acara, mau bikin private party pun tidak akan aman, kebebasan berserikat yang dijamin oleh pasal 28 UUD ternyata hanya untuk kaum 'normal'. Inilah contoh Phobia kalangan agama terhadap sesama manusia ciptaan tuhan yang maha pengasih dan pengayang itu.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/immortalunbeliever/lgbt-phobia_56c974e9e222bd010b4032c9
Saya hanya heran dengan beragam tanggapan dan komentar seputar maraknya homophobia, kenapa logika yang disebarkannya begitu simpang-siur dan cenderung menyesatkan nurani. Kenapa, kok karena Ilmu yang kita miliki belum mampu menjelaskan keseluruhan realitas tentang rentangan luas dan kompleks seksualitas manusia, lantas yang dijadikan sasaran amarah dan bahkan pelecehan dan kekerasan kok malah kelompok-kelompok yang seharusnya justru perlu dihargai dan dihormati keberbedaannya? Kenapa, karena susunan dan pola keagamaan yang kita anut tidak memiliki kemampuan untuk menerima, merangkul, mengasihi dengan tulus, kok malah agama dipaksa digunakan sebagai alat untuk mendehumanisasikan eksistensi mereka? Kenapa kelemahan norma sosial yang selama ini sistem kearifannya ternyata menyembunyikan realitas itu, malah dijadikan rujukan untuk membenarkan keterbatasan wawasan kita? Padahal sesungguhnya, hal yang sama terus terjadi dalam sejarah. Ketika orang semakin sadar bahwa harkat kemanusiaan tidaklah dibedakan berdasarkan warna kulit, pada akhirnya orang belajar bahwa cara berpikirnya yang dikuasai kebodohan rasialislah yang keliru, yah sekalipun masih juga ada sisa-sisa semangat rasialis itu menjangkiti beberapa orang.
Ketika orang sadar bahwa hak kemanusiaan itu sama baik laki-laki dan perempuan, orang lantas belajar bahwa kekuranglengkapan cara berpikirnya utuk bisa melihat perempuan setara dengan laki-lakilah yang menghambatnya, sekalipun tentu masih ada juga orang-orang yang mengidap demam memempatkan perempuan hanya sebagai obyek, bahkan hanyalah obyek seksual dan alat reproduksi saja. Saya heran, karena pelajaran-pelajaran besar tentang kemanusiaan yang menjadikan kita manusia yang utuh, independen, mampu menghargai perbedaan, bahkan sesuatu yang berbeda yang belum kita pahami dengan jelas, itu semua ternyata sama sekali tidaklah cukup untuk membuat kita menjadi bijak atau setidaknya berfikir dengan mempertimbangkan nurani kemanusiaan. Jargon-jargon pembodohan besar-besaran dibuat seolah-olah kekerdilan pikir kita yang dihinggapi homophobia itu penting melebihi kepentingan keselamatan negara. Skenario konspirasi internasional ala film hollywood diteliti dan disebarluaskan seolah-olah masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana yang benar-benar sesuai dengan kemanusiaan dan mana yang memang sengaja melecehkan kemanusiaan itu sendiri. Naskah-naskah suci keagamaan dikupas diperdebatkan seolah-olah itulah alat analisis yang paling sahih yang harus menguasai pikiran dan perasaan manusia, dan bukan Tuhan sang Maha Pengasih dan Penyayang lagi.
Peraturan-peraturan bahkan perundang-undangan ditafsirkan ulang sedemikian rupa, hingga makin menutupi kesadaran manusiawi untuk mengukur tingkat kemampuan kita menghargai perbedaan, mengaburkan pesan bahwa bisa jadi yang bermasalah adalah kadar homophobic yang menempel dalam diri kita masing-masing. Ada banyak argumen untuk menjelaskan mengapa kita mudah sekali dan terus menerus melestarikan rasa takut sebagai mekanisme pertahanan. Namun ketakutan pada perbedaan orientasi seksual nampaknya berhubungan dengan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan. Artinya, orang yang memiliki kecenderungan usil mengurusi seksualitas orang lain (sekalipun itu anaknya sendiri) adalah orang yang tidak puas dan tidak nyaman dengan orientasi seksualnya sendiri. Tidak perlu pakai teori psikologipun, rasa iri terhadap apa yang bisa dilakukan orang lain itu setiap hari kita jumpai dalam diri kita masing-masing. Cemburu, iri, lantas menjadi dengki dan bahkan berusaha mencelakai adalah kecenderungan jalan kejahatan yang tersedia dalam hidup manusia.
Sebaliknya, rasa kagum pada yang berbeda, menghargainya, menghormatinya, saling belajar mendewasakan diri, adalah jalan kebaikan yang sama-sama lebarnya dengan jalan kejahatan. Jadi, rasa takut pada yang tidak kita mengerti itu wajar, rasa takut yang digunakan sebagai usaha untuk survive juga wajar, tapi ketika rasa takut pada yang berbeda itu lantas membuat kita memilih jalan kejahatan, saya masih yakin pada inti ajaran tiap agama yang selalu mendorong bahwa ada jalan lain. Bahwa Tuhan dan banyak makhluk berbeda lain yang bisa membuat kita takut itu bukan dalam tujuannya agar manusia memilih jalan jahat melainkan sebaliknya. Bukankah tiap agama mengajarkan jalan kebaikan? Maraknya homophobia akhir-akhir ini memang ujian berat, namun juga peluang besar bagi kemajuan kemanusiaan kita. Jelas sindrom homophobia itu ada dimanapun dibelahan bumi ini, dia tidak mengenal agama, sistem politik, jenis kelamin, usia, ras, suku, dan budaya. Semua orang dalam kadar yang beragam terjangkiti dan hal itu menghasilkan reaksi yang beragam dalam mensikapinya.
Ketakutan pada perbedaan yang sekarang marak dalam bentuk homophobia jelas memperlihatkan kepada kita bahwa kita semua perlu berani belajar dan membuka bahkan melampaui tabir-tabir ketidaktahuan dan keengganan kita untuk meluaskan wawasan pemahaman tentang kemanusiaan. Satu langkah sederhana sebagai percobaan yang bisa kita lakukan adalah dengan fokus pada persoalan sesungguhnya. Kalau turun hujan dan itu membuat kita menjadi demam, apakah kita akan menyalahkan hujan dan menuduh bahwa ada butiran-butiran hujan yang berbahaya? Tentu akan lebih berguna dan memberikan manfaat bagi hidup kita kalau segera kita belajar bahwa diri kitalah yang lemah dan perlu tambahan kekuatan untuk mengatasi realitas adanya hujan itu. Kalau sudah terlanjur masuk angin, sebaiknya minta tolong temannya untuk dikeroki. Karena orang tidak bisa ngeroki punggungnya sendiri.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kr.budiprabowo/homophobia-marak-lgbt-jadi-sasaran-amuk_56c91c56f77e61c705b071ec
Serupa tapi tak sama,semua artikel tersebut hanya mengarah pada pengiringan opini bahwa yg terjadi di USA sana sudah yg terbaik dan kita diminta mengikuti tanpa boleh membantah.
Mari kita lihat apa penulis artikel itu tetap eksis dan nantinya mendapat penghargaan NOBEL SASTRA..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H