Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/_anonymous_/lagi-lagi-lgbt_56c9c8da349373a81417d534
MUI telah memfatwakan bahwa keberadaan LGBT adalah haram, dan mereka harus direhabilitasi. Kalangan agama gemar menghakimi orang lain apalagi bila berbeda dengan kebanyakan manusia yang 'normal'. Dari sudut pandang manusia yang 'normal' yang normalnya berpasang-pasangan adalah antara yang berkelamin berbeda, maka eksistensi LGBT yang menjungkirbalikkan tatanan yang 'normal' tentu adalah hal yang 'abnormal'. Sebagai hal yang 'abnormal' sudah barang tentu harus dikembalikan ke kondisi yang 'normal'. Referensi yang digunakan oleh kalangan agama untuk menghakimi mereka yang 'abnormal' itu adalah peristiwa 'Sodom dan Gomora' yang tercantum dalam Kitab Injil Perjanjian Lama. Kedua kota itu konon dhancurkan karena perilaku kaum LGBT yang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Mungkin saja peristiwa tsunami Atjeh 26 Desember 2004 yang membawa korban jiwa 200 ribu nyawa juga karena adanya perilaku LGBT di Atjeh (???).
Memang kegemaran untuk menghubungkan antara peristiwa alam dengan perilaku manusia sudah menjadi tabiat kalangan agama untuk mengintimidasi mereka yang berperilaku tidak sesuai dengan agama. Agama memang lahir selain untuk memberi jawaban-jawaban yang terkesan masuk akal, juga penuh dengan ancaman yang mengerikan bagi mereka yang tidak mematuhi agama. Kendati demikian agama juga memberi iming-iming kenikmatan surgawi bagi mereka yang taat terhadap (ajaran) agama. Tahun 2015 lalu ada pula sekelompok manusia yang dengan landasan agama menafsirkan 4 kali peristiwa 'Blood Moon' yang sebenarnya hanya peristiwa astronomi belaka menjadi pertanda akhir jaman yang mengerikan. Banyak sekali contoh-contoh kalangan agama menafsirkan suatu peristiwa alam sebagai pertanda buruk yang disebabkan oleh perilaku mereka yang bertentangan dengan agama. Disini nasib kaum LGBT menemui naasnya. Apakah kaum LGBT itu kian hebat sehingga tingkah polah mereka bisa mempengaruhi alam semesta? Ada pandangan bahwa kaum LGBT itu tercipta karena keadaan bukan terlahir secara genetika. Maksudnya kaum LGBT itu ada karena salah bergaul dan salah asuh, sehingga mempunyai kecenderungan selera seksual yang 'abnormal'.
Bila seyogyanya lelaki doyan perempuan dan perempuan doyan lelaki, yang terjadi dengan kaum LGBT adalah lelaki doyan lelaki (jeruk makan jeruk) dan yang perempuan doyan perempuan. Yang gawat adalah di negara Barat kaum LGBT ini diberikan hak-hak untuk melakukan jurus jeruk makan jeruk secara legal. Ini yang bikin kalangan agama domestik panas dingin. Ada pula pendapat dahulunya kaum LGBT mereka menjadi korban kaum LGBT yang lebih senior sehingga meniru. Bisa jadi demikian. Namun secara genetika tentu manusia terlahir dengan keragaman genetika yang membuat pemisahan kelamin lewat kromosom XY dan XX tidak tegas. Ada lelaki yang Macho ada pula yang melambai (sering terlihat di Mall2), Perempuanpun demikian, ada yang gemulai ada yang garang. Diantara pemisahan yang jelas itu ada persentase berapa derajat macho dan berapa persentase melambainya seorang lelaki. Ada yang tampak luar sebagai lelaki tapi saat berbicara ternyata seperti perempuan, adapula yang terlihat sebagai perempuan malah garang bak singa kelaparan.
Jadi, secara lahiriah sudah terlihat keragaman itu. Namun seperti diuraikan oleh 'Meme Theory' (Richard Dawkins), selain secara genetika manusia memiliki apa yang disebut dengan 'meme'. Bila genetika mengalir lewat sperma dan sel telur, maka 'meme' mengalir dari otak manusia yang satu ke otak manusia yang lain (imitasi). Jadi bila ada lelaki yang derajat lelakinya 'abnormal' kemudian ditiru oleh lelaki yang derajat lelakinya 'sedikit abnormal' maka bisa jadi yang 'sedikit abnormal' akan menjadi 'abnormal'. Bila skala imitasi kini kian dimudahkan oleh masifnya Media Sosial dikuatirkan oleh kalangan agama, kelak kaum LGBT ini akan kian meraja lela dan populasi akan meningkat pesat, dan kalangan agama ketakutan sampai gemetar membayangkan azab seperti peristiwa Sodom dan Gomora. Jadi untuk memberantas imitasi kaum LGBT menjadi kian bertambah populasinya adalah dengan menstop imitasi yaitu kaum LGBT diancam dengan intimidasi agar tidak menampakkan eksitensinya di ruang publik-jangan berani-berani kumpul kumpul bikin acara, mau bikin private party pun tidak akan aman, kebebasan berserikat yang dijamin oleh pasal 28 UUD ternyata hanya untuk kaum 'normal'. Inilah contoh Phobia kalangan agama terhadap sesama manusia ciptaan tuhan yang maha pengasih dan pengayang itu.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/immortalunbeliever/lgbt-phobia_56c974e9e222bd010b4032c9
Â
Saya hanya heran dengan beragam tanggapan dan komentar seputar maraknya homophobia, kenapa logika yang disebarkannya begitu simpang-siur dan cenderung menyesatkan nurani. Kenapa, kok karena Ilmu yang kita miliki belum mampu menjelaskan keseluruhan realitas tentang rentangan luas dan kompleks seksualitas manusia, lantas yang dijadikan sasaran amarah dan bahkan pelecehan dan kekerasan kok malah kelompok-kelompok yang seharusnya justru perlu dihargai dan dihormati keberbedaannya? Kenapa, karena susunan dan pola keagamaan yang kita anut tidak memiliki kemampuan untuk menerima, merangkul, mengasihi dengan tulus, kok malah agama dipaksa digunakan sebagai alat untuk mendehumanisasikan eksistensi mereka? Kenapa kelemahan norma sosial yang selama ini sistem kearifannya ternyata menyembunyikan realitas itu, malah dijadikan rujukan untuk membenarkan keterbatasan wawasan kita? Padahal sesungguhnya, hal yang sama terus terjadi dalam sejarah. Ketika orang semakin sadar bahwa harkat kemanusiaan tidaklah dibedakan berdasarkan warna kulit, pada akhirnya orang belajar bahwa cara berpikirnya yang dikuasai kebodohan rasialislah yang keliru, yah sekalipun masih juga ada sisa-sisa semangat rasialis itu menjangkiti beberapa orang.
Ketika orang sadar bahwa hak kemanusiaan itu sama baik laki-laki dan perempuan, orang lantas belajar bahwa kekuranglengkapan cara berpikirnya utuk bisa melihat perempuan setara dengan laki-lakilah yang menghambatnya, sekalipun tentu masih ada juga orang-orang yang mengidap demam memempatkan perempuan hanya sebagai obyek, bahkan hanyalah obyek seksual dan alat reproduksi saja. Saya heran, karena pelajaran-pelajaran besar tentang kemanusiaan yang menjadikan kita manusia yang utuh, independen, mampu menghargai perbedaan, bahkan sesuatu yang berbeda yang belum kita pahami dengan jelas, itu semua ternyata sama sekali tidaklah cukup untuk membuat kita menjadi bijak atau setidaknya berfikir dengan mempertimbangkan nurani kemanusiaan. Jargon-jargon pembodohan besar-besaran dibuat seolah-olah kekerdilan pikir kita yang dihinggapi homophobia itu penting melebihi kepentingan keselamatan negara. Skenario konspirasi internasional ala film hollywood diteliti dan disebarluaskan seolah-olah masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana yang benar-benar sesuai dengan kemanusiaan dan mana yang memang sengaja melecehkan kemanusiaan itu sendiri. Naskah-naskah suci keagamaan dikupas diperdebatkan seolah-olah itulah alat analisis yang paling sahih yang harus menguasai pikiran dan perasaan manusia, dan bukan Tuhan sang Maha Pengasih dan Penyayang lagi.
Peraturan-peraturan bahkan perundang-undangan ditafsirkan ulang sedemikian rupa, hingga makin menutupi kesadaran manusiawi untuk mengukur tingkat kemampuan kita menghargai perbedaan, mengaburkan pesan bahwa bisa jadi yang bermasalah adalah kadar homophobic yang menempel dalam diri kita masing-masing. Ada banyak argumen untuk menjelaskan mengapa kita mudah sekali dan terus menerus melestarikan rasa takut sebagai mekanisme pertahanan. Namun ketakutan pada perbedaan orientasi seksual nampaknya berhubungan dengan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan. Artinya, orang yang memiliki kecenderungan usil mengurusi seksualitas orang lain (sekalipun itu anaknya sendiri) adalah orang yang tidak puas dan tidak nyaman dengan orientasi seksualnya sendiri. Tidak perlu pakai teori psikologipun, rasa iri terhadap apa yang bisa dilakukan orang lain itu setiap hari kita jumpai dalam diri kita masing-masing. Cemburu, iri, lantas menjadi dengki dan bahkan berusaha mencelakai adalah kecenderungan jalan kejahatan yang tersedia dalam hidup manusia.
Sebaliknya, rasa kagum pada yang berbeda, menghargainya, menghormatinya, saling belajar mendewasakan diri, adalah jalan kebaikan yang sama-sama lebarnya dengan jalan kejahatan. Jadi, rasa takut pada yang tidak kita mengerti itu wajar, rasa takut yang digunakan sebagai usaha untuk survive juga wajar, tapi ketika rasa takut pada yang berbeda itu lantas membuat kita memilih jalan kejahatan, saya masih yakin pada inti ajaran tiap agama yang selalu mendorong bahwa ada jalan lain. Bahwa Tuhan dan banyak makhluk berbeda lain yang bisa membuat kita takut itu bukan dalam tujuannya agar manusia memilih jalan jahat melainkan sebaliknya. Bukankah tiap agama mengajarkan jalan kebaikan? Maraknya homophobia akhir-akhir ini memang ujian berat, namun juga peluang besar bagi kemajuan kemanusiaan kita. Jelas sindrom homophobia itu ada dimanapun dibelahan bumi ini, dia tidak mengenal agama, sistem politik, jenis kelamin, usia, ras, suku, dan budaya. Semua orang dalam kadar yang beragam terjangkiti dan hal itu menghasilkan reaksi yang beragam dalam mensikapinya.