Mohon tunggu...
Siman
Siman Mohon Tunggu... Guru - Tidak Ada Kata Terlambat untuk Belajar, Setiap Langkah adalah Ibadah

Guru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Upacara Tradisi Saparan Bekakak

11 Maret 2022   13:05 Diperbarui: 11 Maret 2022   13:07 8721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar jogja Magazine

Tahapan ketiga, Nyembelih Pengantin Bekakak.

Setelah arak-arakan tiba di Gunung Ambarketawang, sepasang pengantin bekakak yang pertama dibawa ke arah mulut gua kemudian dibacakan doa. Selanjutnya boneka sepasang pengantin yang dibuat dari ketan itu disembelih. Dan dipotong-potong dibagikan kepada para pengunjung.

Setelah itu arak-arakan dilanjutkan menuju arah Gunung Kliling. Di tempat ini  dilakukan upacara penyembelihan pengantin bekakak yang kedua. Sama halnya bekakak yang pertama, pengantin dipotong-potong  kemudian dibagikan kepada para pengunjung.

Tahapan keempat,Sugengan Ageng.

Sugengan Ageng dilaksanakan di Pesanggrahan Ambarketawang. Sesaji Sugengan Ageng yang dibawa dari patran, berupa jodhang, jali kembang mayang, kelapa gadhing (cengkir), air amerta, bokor tempat sibar-sibar, pusaka-pusaka, dan payung agung.

Gito, salah satu pengelola cagar alam di Gunung Gamping mengatakan  bahwa penunggu gunung marah kurang sesajen."Dulu sering diadakan hajatan karena zaman dulu keyakinan agama belum terlalu dianut atau pemikirannya belum maju, lalu disarankan oleh sultan yang petama Pangeran Mangkubumi agar warga sekitar memberikan sesajen untuk penunggu gunung itu." ungkap Gito 

Masyarakat zaman dulu masih menganut agama nenek moyangnya. Masyarakat jawa biasa menyebut dengan Kejawen. Budaya Kejawen muncul sebagai bentuk proses perpaduan dari beberapa paham atau aliran agama pendatang dan kepercayaan asli masyarakat Jawa. Sebelum Budha, Kristen, Hindu, dan Islam masuk ke Pulau Jawa, kepercayaan asli yang dianut masyarakat Jawa adalah animisme dan dinamisme, atau  perdukunan.

"Wiwit (mulai) tahun 1956 menepati perjanjian GIYANTI, 13 Februari tahun 1755. Keluarga kraton melakukan boyongan ke gamping karena Kraton Ngayogyakarta akan dibangun, mereka tinggal di situ selama kurang lebih  8 bulan." lanjut Gito.

Ada juga yang menagtakan penyelenggaraan Upacara Saparan di Gamping bertujuan untuk menghormati arwah (roh halus) yaitu Kyai dan Nyai Wirasuta sekeluarga. Kyai Wirosuto, abdi dalem penangsong (hamba yang memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwana I atau pembawa payung kebesaran setiap Sri Sultan Hamengku Buwana I berada dan tidak ikut pindah waktu dari keraton Ambarketawang ke keraton yang baru. Bersama keluarganya ia tetap bertempat tinggal di Gamping yang dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping.

Bekakak saat pandemi

Masyarakat sekitar Gunung Gamping tidak ada yang melarang tradisi ini. Justru masyarakat sekitar memperbolehkan diadakannya tradisi ini.  Karena tradisi ini sudah diakui oleh masyarakat Yogyakarta, diakui nasional dan bahkan sudah mendapat pengakuan oleh dunia Internasional serta mendapatkan sertifikat atau penghargaan dari presiden Joko Widodo. Kegiatan Saparan Bekakak ini sudah tercatat dalam daftar karya budaya yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nomor 60 tahun 2015. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun