bekakak di desa Ambarketawang Gamping Sleman. Sebuah tradisi yang masih dipertahankan hingga sampai saat ini. Tradisi ini telah berlangsung sejak Zaman Sultan Hamengkubuwono I sekitar tahun 1756 Masehi. Tradisi ini sangat berpotensi menjadi wisata budaya. Ketika kondisi normal (tidak ada pandemi) ribuan orang dipastikan hadir untuk menyaksikan upacara Bekakak.
Salah satu tradisi yang menarik perhatian masyarakat di Yogyakarta adalah tradisi saparanIstilah Bekakak merupakan korban penyembelihan hewan atau manusia. Namun korban yang dimaksud adalah bukan hewan atau manusia yang sesungguhnya melainkan tiruan sepasang manusia yang diwujudkan dalam bentuk boneka pengantin yang duduk bersila. Boneka tersebut terbuat dari tepung ketan dan diisi dengan cairan gula merah. Tradisi ini sebagai acara ritual untuk memohon keselamatan bagi masyarakat Gamping khususnya masyarakat desa Ambarketawang yang dilaksanakan pada bulan Sapar.
 Tradisi saparan bekakak berasal dari kisah abdi pembawa payung kebesaran atau istilahnya abdi panangsong yaitu Kyai Wirasuta dan Istrinya. Kyai Wirasuta salah satu abdi kesayangan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Berawal dari pembangunan keraton yang sedang berlangsung maka Sri Sultan Hamengkubuwono I tinggal di pesanggrahan yang terletak di desa Ambarketawang bersama para abdi dalem termasuk Kyai Wirasuta dan istrinya.
Setelah pembangunan keaton selesai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono I kembali ke Keraton. Namun Kyai Wirasuta memilih tinggal di Ambarketawang. Singkat cerita, tradisi bekakak itu dihubungkan dengan meninggalnya Kyai Wirasuta dan masyarakat akibat runtuhnya gunung Gamping pada hari Jumat Kliwon pada bulan sapar.
Karena runtuhnya gunung tersebut sering memakan korban kemudian Sultan bertitah kepada masyarakat Ambarketawang agar mengadakan upacara penyembelihan Bekakak.  Bekakak tersebut sebagai pengganti Kyai wirasuta dan Nyai wirasuta. Penyembelihan ini dimaksudkan untuk mengelabuhi permintaan penunggu gunung Gamping yang meminta tumbal berupa sepasang pengantin. Jadi, permintaan  tumbal itu bukan sepasang pengantin sungguhan melainkan pengantin buatan dari tepung ketan dan sirup gula merah.
Upacara Bekakak disebut juga Saparan karena pelaksanaan upacara tersebut harus dilaksanakan pada Bulan Sapar. Kata sapar identik dengan ucapan Arab Syafar yang berarti Bulan Arab yang kedua. Waktu atau saat penyelenggaraan upacara Saparan di Gamping pada hari Jumat dalam bulan Sapar antara tanggal 10 - 20. Â
Pelaksanaan upacara saparan dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu 1.tahap Midodareni, 2. Kirab dan 3. Penyembelihan pengantin bekakak, 4. tahap Sugengan Ageng. Selain penganen Bekakak kelengkapan upacara  lainnya adalah kembang mayang, genderuwo serta joli berisi sesaji.
Tahapan pertama Midodareni,
Kata midodareni berasal dari bahasa Jawa widodari yang berarti bidadari. Makna yang dimaksud di sini bahwa pada malam midodareni para bidadari turun dari surga untuk memberi restu pada pengantin bekakak. Sedangkan yang dimaksud midodareni sebenarnya adalah bagian dari rangkaian upacara adat Jawa sebelum calon pengantin melaksanakan pernikahan. Namun demikian dalam upacara Bekakak ini hanya pengantin tiruan, tetapi menurut adat perlu juga memakai upacara midodareni. Midodaren biasanya dilaksanakan pada hari Kamis malam Jumat. Pada malam midodareni itu, juga diadakan malam tirakatan dan diadakan pertunjukan hiburan berupa wayang kulit, uyon-uyon, reyog. Selain itu bapak-bapak juga melaksanakan tahlilan dilanjutkan tirakatan bersama penduduk sekitar pesanggrahan Ambarketawang.
Tahapan kedua, Kirab Pengantin Bekakak
Yaitu pawai atau arak-arakan yang membawa jali pengantin bekakak ke tempat penyembelihan. Pada saat yang bersamaan diarak serangkaian sesaji Sugengan Ageng. Biasanya dimulai ari Patran ke pesanggrahan kemudian ke balai desa.