Saya pernah mensurvey teman-teman yang mengajar Bahasa Inggris tentang seberapa sering mereka mengadakan kegiatan listening di dalam kelas. Jawaban mereka bervariasi, namun banyak dari mereka mengatakan bahwa jarang sekali aktifitas listening dilakukan di dalam kelas. Penyebabnya adalah pertama, buku teks pelajaran yang digunakan tidak menfasilitasi kegiatan mendengar, yang kedua mereka butuh peralatan tambahan untuk dibawa ke dalam kelas, jika mereka mau mengadakan kegiatan listening ini. Ironi memang. Seharusnya dua alasan tadi tidak menjadi penghalang seorang guru Bahasa Inggris untuk tetap memberikan input bahasa melalui kegiatan listening.Â
Pentingnya kegiatan listening dalam pembelajaran bahasa kedua khususnya di kelas bahasa Inggris sudah tidak perlu diragukan lagi. Oxford (1990) mengatakan bahwa listening adalah keterampilan pertama yang dapat berkembang pesat dibandingkan tiga keterampilan berbahasa lainnya, yaitu speaking, reading dan writing, serta memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk perkembangan ketiga keterampilan tadi.  Oleh karena itu, keterampilan listening digadang-gadang menjadi keterampilan penting yang harus diperhatikan dalam pembelajaran bahasa (Gilakjani & Sabouri, 2016). Â
Sekarang saya ingin membawa pembaca ke situasi sekolah saya. Saya mengajar di sebuah SMP Satu Atap di Provinsi Jambi, tengah sumatera. Sekolah kami terdiri dari tiga rombongan belajar, kelas 7, 8, dan 9 dengan ruangan kelas yang dibatasi oleh papan-papan. Saya menyadari betul bahwa guru bahasa Inggris bisa saja melakukan kesalahan pengucapan karena mereka berstatus sama dengan siswanya, yaitu pembelajar bahasa asing. Bedanya hanyalah gurunya telah belajar lebih lama saja. Karena itu saya membutuhkan kegiatan listening di dalam kelas.Â
Namun sayang, tiap kali saya melakukan kegiatan listening di dalam kelas, suara rekaman tidak dapat terdengar dengan baik. Pertama tentu saja karena sound system yang kami miliki terbatas secara kualitas. Yang kedua, suara kegiatan belajar dari kelas lain juga akan terdengar ke kelas kami dan mengganggu kegiatan mendengar. Pernah juga, kelas sebelah terganggu oleh suara rekaman yang sedang diputar dan mereka sedang mengadakan ulangan. Jadi mengadakan kegiatan listening di ruang kelas bukan pilihan yang ideal walaupun saya dan siswa senang melakukannya.Â
Hambatan tersebut membuat saya mencari alternatif untuk kegiatan listening. Saya membaca flipped learning baru baru ini dan tertarik dengan konsep yang ditawarkan. Saya merasa ini cukup masuk akal dilakukan. Flipped learning memiliki konsep utama sebagai persiapan sebelum belajar di dalam kelas yang dilakukan oleh siswa. Konsep seperti ini bukan hal yang baru, idealnya seseorang siswa memang membutuhkan persiapan atau pengetahuan dasar sebelum masuk ke pembelajaran klasikal. Namun di flipped learning, persiapan-persiapan tersebut dirancang lebih sistematis oleh guru. Kegiatan belajar di luar kelas menjadi penentu aktifitas di dalam kelas dan guru berperan dalam perencanaan kegiatan tersebut.Â
Bergmann & Sams adalah dua tokoh yang dianggap memelopori era "flipped learning reborn". Pada tahun 2012, mereka berdua merancang video mengajar mereka untuk dapat menfasilitasi siswa-siswa yang tidak hadir ke dalam kelas. Selain itu, video-video pembelajaran yang diunggah ke LMS ataupun media sosial dapat ditonton siswa berkali-kali untuk menjawab kebutuhan belajar mereka. Kita ketahui bahwa siswa-siswa memiliki kecepatan belajar yang berbeda antara satu dan yang lain.Â
Dalam menerapkan flipped learning untuk kegiatan listening ini, saya mulai dengan merekam suara saya sendiri dalam memperknalan kosakata dari topik yang kami pelajari. Saya juga mengajak rekan saya untuk mengisi suara dialog yang ada di buku teks pelajaran agar terdengar lebih menarik. Kemudian saya mengupload rekaman suara tersebut ke Spotify untuk dapat diakses siswa secara online tidak offline, karena tentu saja, rekaman-rekaman tersebut akan menyita banyak penyimpanan mereka. Siswa juga disediakan lembar kerja untuk dikerjakan selagi mereka berinteraksi dengan rekaman tersebut. Kami juga memiliki grup WA (WhatsApp) untuk tanya jawab mengenai hal-hal yang belum dimengerti siswa.Â
Saya melihat bahwa siswa tertarik untuk mengerjakan lembar kerja sembari mendengarkan rekaman tersebut. Saya juga melihat  interaksi antara saya dan siswa cukup meningkat di ruang chat. Meskipun terkadang mereka menanyakan instruksi yang sudah tertulis jelas di lembar kerja mereka, namun itu tetap saja signal yang baik bagi saya sebagai guru Bahasa Inggris di sekolah pinggiran. Selain itu, suasana di dalam kelas menjadi lebih siap untuk model-model pembelajaran siswa aktif. Hari itu saya bawakan model game-based learning dimana siswa bermain tebak-tebakan antar teman untuk memberikan deskripsi mengenai benda yang ada di kartu mereka, agar temannya dapat menjawab, gambar mana yang dimaksud oleh temannya tersebut. Gambar-gambar itu diletakkan pada sebuah papan dan siswa yang memberikan deskripsi akan mulai dengan mengatakan "opps, I lost my .........". Benda yang disediakan ditampilkan dalam dua versi, sehingga kemampuan menebak akan sangat bergantung pada deskripsi yang diberikan oleh temannya.Â
Target bahasa yang diinginkan oleh guru adalah sebagai berikut:Â
Siswa A: Ooops, I lost my notebook
Siswa B: What does it look like?Â
Siswa A: It is blue and small.Â
Siswa B: I know where it is. (dan siswa ini akan maju ke depan papan permainan, dan menunjukkan gambarnya)
Kata adjektif seperti yang menyatakan warna dan bentuk juga ungkapan seperti "I lost my ..., what does it look like, dan I know where it is" diperkenalkan melalui flipped material yang telah diberikan guru. Pada flipped material, kata-kata tersebut diperkenalkan melalui sebuah konteks, yaitu sebuah dialog. Kata-kata benda untuk melengkapi ungkapan "I lost my..." juga diperkenalkan melalui flipped material. Untuk mengetahui pemahaman siswa mengenai kata-kata tersebut siswa juga diberikan kuis interaktif melalui aplikasi Quizizz. Latihan dalam bentuk kuis interaktif ini dipercaya dapat menarik siswa untuk lebih tertantang mengerjakan latihan karena mereka berkompetisi dengan teman-teman mereka.Â
Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diantisipasi oleh guru dalam pelaksanaan listening dengan konsep flipped learning ini. Pertama, beberapa siswa akan khususnya siswa dari keluarga ekonomi lemah, akan sulit melaksanakan konsep ini karena mereka tidak memiliki fasilitas yang dibutuhkan. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan membagi mereka ke dalam kelompok. Kedua, beberapa siswa lebih senang dengan cara belajar tradisional, dan cara baru ini butuh ditanamkan kepada mereka dengan pembiasaan dan konsistensi. Ketiga, pengerjaan kuis yang mengkondisikan mereka pada sebuah kompetisi terkadang membuat mereka bereaksi secara tidak terduga, sehingga guru harus memiliki cara yang tepat untuk menanamkan kesadaran berperilaku sopan dan santun sesama teman.Â
Tidak terlalu sulit kan mengadakan kegiatan listening di dalam kelas dengan beberapa keterbatasan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H