Mohon tunggu...
Silvie Mariana
Silvie Mariana Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Penulis buku 30 Suplemen Menulis untuk Guru Penulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tinggal di Mana Saja, Para Lansia Jangan Lupa Bahagia!

28 Juni 2024   13:48 Diperbarui: 28 Juni 2024   14:14 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lansia bahagia (sumber: Kompas.com)

Membaca topik pilihan Kompasiana tentang panti jompo, saya ada sedikit pengakuan.

Meskipun tinggal sekitar 1,5 kilometer dari panti jompo, saya belum pernah berkunjung ke sana. Saya juga tidak memiliki kerabat atau teman yang menitipkan orangtuanya di panti jompo.

Maka, saya salut dengan salah satu teman saya. Kebetulan ayah dan ibunya meninggal tahun ini. Hanya selang 4 bulan.

Saya sering mendengar ceritanya dalam merawat orang tuanya yang waktu itu mencapai usia 85 tahun. Usia yang jarang dimiliki orang-orang sekarang, menurut saya.

Ia bahu-membahu bersama kakak-kakaknya merawat orangtuanya sampai akhir hayatnya.  Prestasi yang membanggakan sekaligus contoh berharga buat saya.

Tentu sulit baginya dalam merawat orang tuanya yang sakit-sakitan. Ia dan semua kakak telah berkeluarga dan mereka pekerja kantoran. Namun,  mereka setia bergantian merawat dengan baik kedua orangtuanya sampai ajal menjemput.  

Saya juga tidak menyalahkan mereka yang "terpaksa" menitipkan orang tuanya ke panti jompo. Tentu semua punya pertimbangan masing-masing. Dan kita tidak bisa menghakiminya dengan pertimbangan kita sendiri, bukan? Asalkan semua bahagia, mengapa tidak? 

Bicara soal bahagia, disini  justru saya akan bercerita tentang pengalaman bertemu tiga wanita lansia bahagia di Stasiun Kereta Sudimara menuju Rangkasbitung.

"Eh,  elo dah pada di sini. Gue tuh di seberang dari tadi nungguin! Bukannya nelepon, kek!   WA kek, biar gue cepet ke mari!"

Salah seorang wanita 60 tahunan lebih berjalan tergesa sambil mengomel.  Ia melewati saya yang duduk di bangku  tempat penumpang menunggu KRL.

Rupanya dua temannya telah sedari tadi duduk di sebelah bangku saya.

Celotehannya tadi, dilanjut obrolan dengan temannya, berhasil mencuri perhatian saya.

Tak lama KRL datang. Kami pun memasuki gerbong yang sama. Ketiga lansia ini duduk di kursi prioritas.

Saya yang tidak kebagian kursi, akhirnya berdiri di depan mereka karena telanjur menaruh tas di rak barang tepat di atas kursi mereka, hehehe.

Sepanjang perjalanan akhirnya saya ikut  berbincang dengan mereka. Rupanya ibu-ibu itu telah berteman sejak duduk di bangku SMP. Bisa dibayangkan kira-kira berapa lama usia persahabatannya?

"Kita ini cewek-cewek ditinggal metong (mati) pasangan. Jadi kita nikmatin aja suasana. Sekarang kita mau nyobain restoran baru di Serpong!" ujar salah satu dari mereka pada saya.  Diikuti tawa dua sahabatnya.

Saya tergelak mendengar ceritanya.  Tak lama dia minta saya memfotokan mereka dengan ponselnya.

Meet up dengan teman se-gank rupanya menjadi salah satu rutinitas mereka. Saya prediksi mereka adalah para wanita karir pada masanya. Sekarang mereka tengah menikmati masa tua dengan jalan-jalan.  Atau jadi MC alias Momong Cucu. 

Di mata saya mereka adalah gambaran lansia yang sehat dan gembira.  Ya, setidaknya hal itu terlihat dari mereka yang masih aktif jalan-jalan dan kulineran.

Saya pun teringat pada ibu mertua seorang teman.  Beliau seorang ibu rumah tangga berusia 75 tahunan. 

Agendanya padat. Les bahasa Arab, mengaji, dan menyimak kajian secara luring maupun daring via zoom meeting.

Ada juga lansia tetangga sebelah rumah yang rajin bercocok tanam dan ikut dalam kegiatan kemasyarakatan.

Berkaca pada mereka, saya pribadi tidak memiliki keinginan tinggal di panti jompo, tua nanti. Saya berharap bisa melakukan hal-hal yang membuat saya bahagia dan sehat seperti para lansia yang saya ceritakan di atas. Sehingga masa tua saya tidak menjadi "beban" untuk anak-anak kelak.

Kalau ada jargon "kita tidak bisa memilih dilahirkan dengan orang tua seperti apa, tetapi kita bisa memilih ingin jadi orang tua seperti apa."  Maka, kali ini saya ubah sedikit kata-kata tersebut.

"Kita tak bisa menolak tua dan jadi lansia. Terapi kita bisa memilih ingin jadi lansia seperti apa nanti."

Pilihan saya, tentu ingin jadi lansia sehat dan bahagia. Bagaimana, apakah Anda sepakat?

Jangan lupa bahagia di mana pun kita berada. Karena bahagia itu kita yang ciptakan. Bahagia itu ada di sini dan sekarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun