Sabtu pagi ini saya masih berkutat di kantor. Tampilan notifikasi pesan ramai bermunculan di ponsel saya. Ketika senggang, saya kemudian coba melihatnya.
Berita Duka dari Bapak Joko Pinurbo
RIP
Bp.Philipus Joko Pinurbo
Sabtu, 27 April 2024, Pk 04.30.
Stlh menerima sakramen minyak suci dr R. Kendar bbrp hr yll.
Mohon doa untuk kedamaian dan kebahagiaan kekal beliau bersama Bapa di sorga, juga untuk keluarga yg ditinggalkan semoga dilimpahi kekuatan dan ketabahan.
Matur nuwun
Berkah Dalem
Berita itu disampaikan oleh Prof Tengsoe Tjahyono, penyair dan dosen, di grup Sastra 3. Sebuah komunitas menulis yang dipimpin langsung oleh beliau.
Ucapan turut belasungkawa dan kenangan kemudian disampaikan para anggota grup.
Berita duka ini kemudian muncul di banyak media. Saya sendiri sempat membahasnya dengan salah seorang teman kantor yang juga pelatih puisi.
Sekilas tentang Joko PinurboÂ
Dikutip dari Wikipedia, Joko Pinurbo, atau akrab dipanggil Jokpin. Lahir di Sukabumi, 11 Mei 1962.
Beliau banyak meraih penghargaan atas prestasinya. Â Beberapa di antaranya Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015), dan South East Asian (SEA) Write Award (2014).
Sepotong Hati di Angkringan, Berguru kepada Puisi, dan Telepon Genggam merupakan contoh buku karyanya.
Terkenal dengan pribadi sederhana, Joko Pinurbo banyak memberikan karya yang dikenang banyak orang.
Sama seperti saya, Anda yang pernah main ke Teras Malioboro 1 Yogyakarta, pasti pernah melihat bahkan berfoto di tulisan "Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan."
Itulah penggalan tulisan karya sang penyair, Joko Pinurbo. Â Saya pribadi terkesan dengan tulisan tersebut.
Belajar Merindu Tuhan dari Puisi "Doa Orang Sibuk Yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya"
 Pagi ini, ucapan dan topik pembicaraan di beberapa grup wa masih berkisah tentang beliau.  Termasuk di sebuah grup inspiratif yang saya ikuti.
Salah seorang teman membagikan video Joko Pinurbo membacakan puisi "Doa Orang Sibuk Yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya."
Tuhan, ponsel saya rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah nomorMu.
Â
Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomornya
yang tak pernah kausapa.
Seketika saya teringat pada diri sendiri. Seolah-olah puisi itu ditujukan pada saya.
Kapankah terakhir saya rindu pada Tuhan? Atau apakah saya pernah rindu pada Tuhan?
Selama ini, tak jarang kita kita menghubungi Tuhan hanya untuk meminta solusi atas masalah kita. Bukan sebenarnya rindu akan hadirnya Tuhan.
Padahal, setiap saat Tuhan rindu pada kita. Panggilan rindu Tuhan kepada hamba-Nya, Ia berikan lewat sakit, kesulitan urusan, teman yang menyebalkan, dan sebagainya.
Seperti Ramadan kemarin. Berapa banyak mereka yang bersungguh-sungguh memanfaatkan momen ini untuk dekat dengan Tuhan. Namun, banyak juga yang melewatkannya seperti rutinitas biasa. Â Mengapa? Bisa jadi karena kadar rasa "butuh atau rindu Allah" Â dalam diri tiap orang tak sama.
Puisi ini mengingatkan saya pribadi untuk kembali belajar memupuk rindu hanya pada-Nya. Â Menghabiskan waktu untuk lebih lama bercengkerama dengan-Nya.
***
Demikian tulisan saya tentang Bapak Joko Pinurbo.
Selamat beristirahat, Pak Joko Pinurbo. Terima kasih  atas semua karyamu. Karya-karya yang hebat, anugerah dari Sang Pemilik Rindu Sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H