Jam menunjukkan pukul 14.30.  Sekolah telah lengang.  Tetapi aku masih berada di  kelas karena akan membuat resume tugas semalam.
Kupandangi sekitar kelasku yang baru. Â Sempat kudengar cerita aneh tentang kelasku. Â Tetapi aku langsung menepis pikiran itu.
Bismillahirrahmanirrahim. Aku pun mulai mengetik resume Kaidah Pantun dari narasumber Bapak Miftahul Hadi, S.Pd. seorang guru muda dari Demak.
Pantun, tak asing dalam khasanah sastra Indonesia.  Menurut Suseno (2006) di Tapanuli, pantun dikenal dengan nama ende-ende. Di Sunda, pantun disebut  paparikan.  Di daerah Jawa orang menyebutnya parikan.
Pantun telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda secara nasional pada tahun 2014. Menyusul pada 17 Desember 2020 pantun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada sesi ke-15 intergovernmental comittee for the safeguarding of the intangible cultural heritage.  Sebagai warisan budaya, pantun harus terus dikaji dan ditulis agar terjaga kelestariannya.
Pantun termasuk puisi lama yang terdiri dari empat baris atau rangkap, dua baris pertama disebut dengan pembayang atau sampiran, dan dua baris kedua disebut dengan maksud atau isi (Yunos, 1966; Bakar 2020).
Kita mengenal pantun sebagai komunikasi sehari-hari, sambutan pidato, menyatakan perasaan, lirik lagu, perkenalan maupun berceramah/dakwah. Â Secara umum, dalam masyarakat sosial pantun berperan sebagai alat penguat penyampaian pesan.
"Ehm Bu, serius amat?"
Jari-jemariku berhenti mengetik. Kuarahkan pandangana ke sumber suara. Â Joni, office boy sekolah kami yang humoris berdiri di pintu kelas.Â
"Hati-hati jangan sendiri aja, Bu. Â Sudah kenalan belum dengan penjaga kelas ini? Â Dia suka ngajak ketawa. Â Trus wangi, lho!" ujarnya jahil.
Jujur aku sedikit gentar mendengarnya.  Namun, aku berpura-pura  tetap tenang.
"Senang hati kenyang perut. Â Habis santap semangkuk gulai. Â Jangan kamu bikin takut. Â Lihat tugasku belum selesai, " jawabku sekenanya.
Meskipun awalnya Joni bingung, akhirnya ia tertawa juga mendengar jawabanku. Â Ia pun segera berlalu.
Oke, mari lanjut mengetik, ujarku dalam hati.
Sekarang ciri-ciri pantun.Â
- Satu bait terdiri atas empat baris
- Satu baris terdiri atas empat sampai lima kata.Â
- Satu baris terdiri atas delapan sampai dua belas suku kata
- Bersajak a-b-a-b
- Baris pertama dan kedua disebut sampiran atau pembayang
- Baris ketiga dan keempat disebut isi atau maksud
Aku lalu mengamati bagian yang paling menarik menurutku: Cara Mudah Membuat Pantun.
- Pahami terlebih dahulu ciri-ciri pantun dengan baik.
- Kuasai perbendaharaan kata. Perbendaharaan kata bermanfaat agar rima bisa sama, karena sejatinya pantun menonjolkan keindahan kata. Â Kita bisa mencari perbendaharaan kata di kuncitts.com
- Dalam memilih kata untuk rima, usahakan minimal cari dua atau tiga huruf akhir yang sama bunyinya.
- Buat baris ketiga dan keempat terlebih dahulu
- Usahakan menghindari penggunaan nama merk dagang dan nama orang
Hmm, menarik sekali pantun itu.  tak heran orang suka menggunakannya dalam berbagai suasana.
Aku jadi teringat sebuah maskapai penerbangan yang pramugari/pramugaranya suka berpantun menghibur penumpang.Â
 Hihiihihi....
Hah? Aku terkesiap.  Ada yang tertawa.  Apa aku tidak salah dengar?
Hihihihi....
Nah, benar kan ada suara tertawa! Â Lalu tak lama tercium bau wangi. Â
Aku mulai gentar. Â Apakah ini yang dimaksud Joni? Â Suara dan bau itu semakin jelas.
Jantungku berdegup kencang.
"TOLONG JANGAN GANGGU! Pergi...!" teriakku ketakutan.
Braaak!
"Nen, ada apa?"Â
Putri rekanku di kelas sebelah datang tergopoh-gopoh. Rupanya ia yang mendorong keras pintu kelasku tadi.Â
Aku segera memeluknya. Â Dengan terbata kuceritakan yang baru saja terjadi.
"Hahahaha, kamu mau aja kena tipu si Joni! Â Itu tuh musang yang menghuni atap kelas kamu! Â Musang kan suka bersuara seperti ketawa dan mengeluarkan bau pandan. Â Kalau nggak percaya, cek di Google!" ujarnya sambil terbahak.
Meskipun setengah malu, aku bernapas lega. Â Dilema manusia modern, kurang kenal pada sekitarnya.
"Sekarang udah tenang, kan? Ayo, teruskan pekerjaanmu!" kata Putri.
Aku melepaskan tanganku dari Putri. Â Segera kututup laptop dan kubereskan barang-barang di mejaku.
"Lho, kok malah beres-beres, Nen?" tanyanya keheranan melihatku mendadak berkemas.
"Sungguh haru pulang ke kampung. Â Berjumpa lagi amang dan inang. Walau tugasku belum rampung. Â Kupulang karena petang menjelang," jawabku sambil berlalu.
Putri kembali terbahak melihat tingkahku yang konyol sore itu.
"Gara-gara si Penjaga Kelas, nih!" ujarnya tergelak sambil menyusul langkahku.
Sumber: KBMN PGRI Gelombang 29 Materi Kaidah Pantun oleh Bapak Miftahul Hadi, S.Pd.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI