Pada zaman dahulu, terdapat sebuah kadipaten yang bernama Kadipaten Aryablitar. Rakyat Kadipaten Aryablitar dipimpin oleh seorang adipati yang bernama Adipati Nila Suwarna dan seorang patih yang bernama Ki Ageng Sengguruh.
Ki Ageng Sengguruh sangat patuh dan setia pada Adipati Nila Suwarna. Namun, istrinya, Nyai Ageng Sengguruh, tidak suka akan ketundukan suaminya kepada sang adipati. Sudah lama Nyai Ageng Sengguruh mendamba menjadi permaisuri seorang adipati. Dengan segala cara, Nyai Ageng Sengguruh merayu Ki Ageng Sengguruh agar mau merebut kekuasaan Adipati Nila Suwarna sebagai seorang Adipati Kadipaten Aryablitar. Ki Ageng Sengguruh pada akhirnya termakan rayuan istrinya. Dia menjadi manusia yang serakah dan bermuka dua. Di depan Adipati Nila Suwarna, Ki Ageng Sengguruh berlagak baik dan patuh. Namun, di belakangnya, Ki Ageng Sengguruh selalu membicarakan kejelekan-kejelekan Adipati Nila Suwarna. Ki Ageng Sengguruh pun berhasil membujuk beberapa punggawa kadipaten agar mau diajak bekerja sama untuk merebut kekuasaan kadipaten.
Kesempatan yang telah ditunggu Ki Ageng Sengguruh untuk merebut kekuasaan akhirnya datang. Saat itu, istri Adipati Nila Suwarna, Dewi Rayungwulan, sedang hamil dan mengidam ikan bader abang asisik kencana. Pada suatu hari, Dewi Rayungwulan mengungkapkan keinginannya kepada Adipati Nila Suwarna.
"Kakanda, sepertinya calon anakmu ini menginginkan ikan bader abang asisik kencana. Dinda mohon agar Kakanda mau mengabulkan permintaan Dinda."
"Aku sangat senang Dinda hamil. Sudah lama kurindukan mempunyai anak. Kini keinginanku akan segera terwujud. Namun, permintaan Dinda sangat tidak masuk akal. Ikan bader merah bersisik emas sangat sulit untuk ditemukan. Tapi biarlah! Aku akan meminta bantuan Paman Sengguruh untuk mencarinya," jawab Adipati Nila Suwarna.
"Terima kasih, Kanda," ungkap Dewi Rayungwulan dengan penuh kebahagiaan.
Adipati Nila Suwarna bergegas memanggil Ki Ageng Sengguruh dan menceritakan keinginan permaisurinya.
"Oleh karena itu, Paman. Aku meminta bantuan Paman untuk mencari ikan bader merah bersisik emas di mana pun itu berada. Apa pun syarat dan berapa pun biayanya akan aku penuhi!" pinta Adipati Nila Suwarna.
"Baiklah, Gusti Adipati! Hamba akan berangkat sekarang juga untuk mencari ikan bader merah itu."
Mula-mula, Ki Ageng Sengguruh memang mencari ikan bader merah itu dengan sungguh-sungguh. Ia bertanya kepada para pencari ikan apakah mereka pernah menemui ikan semacam itu. Namun, nihil. Tidak ada seorang pun yang tahu di mana keberadaan ikan itu. Ki Ageng Sengguruh dan para punggawa pulang ke kadipaten dengan rasa letih dan kecewa. Di perjalanan pulang, mereka melewati sebuah kedung bernama Kedung Gayaran. Kedung Gayaran merupakan sebuah kedung yang sangat angker. Masyarakat dan para pencari ikan tidak ada yang berani mendekat ke kedung tersebut. Konon, siapa pun yang masuk ke dalamnya tidak akan pernah bisa keluar dan akhirnya meninggal dunia.
Tiba-tiba, terlintas ide licik Ki Ageng Sengguruh. Ia berniat untuk mencelakakan Adipati Nila Suwarna. Ki Ageng Sengguruh menggunakan kesaktiannya dan memohon kepada Hyang Widhi agar merubah sumping di telinga kanannya menjadi ikan bader bersisik emas.
"Dhuh Gustiku, Hyang Widhi! Jadikanlah sumping hamba ini menjadi ikan bader abang asisik kencana. Jadikanlah, oh jadikanlah!"
Akhirnya, sumping Ki Ageng Sengguruh benar-benar berubah menjadi ikan bader merah bersisik emas. Lalu ikan itu dilepas di Kedung Gayaran.
Sesampainya di istana kadipaten, Ki Ageng Sengguruh menghadap Adipati Nila Suwarna dan melaporkan bahwa ia telah mengetahui keberadaan ikan bader bersisik emas itu.
"Tempatnya di Kedung Gayaran, Gusti Adipati!" lapor Ki Ageng Sengguruh.
"Mengapa Paman Patih tidak menyuruh para punggawa untuk menangkapnya dan membawanya kemari?" tanya Adipati Nila Suwarna dengan nada kecewa.
"Ampun, Gusti! Tidak ada satu orang pun yang berani mengambil ikan tersebut. Ikan itu dipercaya sebagai ikan peliharaan dewa. Oleh karena itu, Gusti Adipati sendirilah yang harus mengambilnya," jelas Ki Ageng Sengguruh.
"Baiklah. Jika memang itu yang harus aku lakukan. Antarkan aku kesana sekarang juga, Paman!"
"Sendiko dhawuh, Gusti!"
Mereka berdua, ditemani oleh beberapa prajurit pengawal, segera berangkat ke Kedung Gayaran. Sesampainya di sana, Adipati Nila Suwarna melihat ikan bader bersisik emas berenang dengan gesitnya di dalam kedung. Sisik emasnya memantulkan kemilau cahaya matahari.
Adipati Nila Suwarna merasa sangat senang. Dengan membawa jaring, Adipati Nila Suwarna bergegas masuk ke dalam kedung dan menangkap ikan itu sendiri. Ikan bader merah itu berenang dengan sangat cepat kesana kemari. Berkali-kali Adipati berusaha menjaringnya, namun ikan tersebut berhasil lolos.
Adipati Nila Suwarna merasa kelelahan dan akhirnya ia tidak dapat menggerakkan badannya. Ki Ageng Sengguruh memerintahkan para prajurit untuk menolong Adipati Nila Suwarna. Namun semua terlambat! Adipati Nila Suwarna tenggelam di dalam kedung dan meninggal dunia.
Setelah kejadian tersebut, Ki Ageng Sengguruh mengambil alih kedudukan Adipati Nila Suwarna sebagai adipati Kadipaten Aryablitar. Ia mengusir Dewi Rayungwulan yang sedang hamil. Kemudian, ia mengumumkan kepada seluruh rakyat bahwa ialah sekarang yang menjadi adipati di Kadipaten Aryablitar dengan gelar Adipati Nila Suwarna II.
Â
1. Kedung: Bagian sungai yang lebar dan dalam
2. Sumping: Hiasan telinga
3. Sendiko dhawuh: Siap melaksanakan suatu perintah
Â
Dari legenda Kabupaten Blitar di atas, kita dapat mengidentifikasi beberapa nilai yang terkandung dalam bacaan. Kisah Kadipaten Aryablitar menggambarkan adanya nilai agama yang berlaku pada masyarakat di masa tersebut. Ki Ageng Sengguruh, seorang patih kadipaten, memercayai keberadaan Tuhan, Hyang Widhi, dan memohon kepada-Nya saat Ki Ageng Sengguruh ingin mengubah sumping di telinga kanannya menjadi seekor ikan bader bersisik emas.
Di samping itu, adanya mitos-mitos dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat mencerminkan nilai-nilai budaya yang ada. Masyarakat Kadipaten Aryablitar percaya bahwa Kedung Gayaran adalah kedung yang angker. Siapa pun yang masuk ke dalam kedung tersebut pasti akan meninggal dunia. Selain itu, masyarakat di zaman tersebut memiliki kepercayaan kepada para dewa. Hal ini dibuktikan dengan adanya ikan bader bersisik emas yang dipercaya sebagai ikan peliharaan para dewa. Adanya kepercayaan terhadap suatu hal memberikan ciri tersendiri bagi suatu masyarakat di suatu daerah. Inilah mengapa, kepercayaan tersebut dapat kita golongkan sebagai nilai-nilai budaya.
Cerita tersebut juga mengandung nilai-nilai moral dalam kehidupan. Cerita di atas mengajarkan kita agar tidak mudah percaya terhadap orang lain bahkan orang terdekat kita sekalipun. Kita tidak boleh terlena dengan ucapan-ucapan manis dan perilaku baik di depan mata kita. Kita harus menjadi orang yang kritis dan selektif. Ki Ageng Sengguruh yang pada mulanya patuh dan taat kepada Adipati Nila Suwarna, telah termakan ucapan istrinya untuk menyingkirkan Adipati Nila Suwarna.
Ki Ageng Sengguruh akhirnya berlagak baik di depan Adipati Nila Suwarna namun menyembunyikan sifat busuk dengan menyebarkan keburukan-keburukan Adipati Nila Suwarna di belakangnya. Selain itu, cerita tersebut juga mengajarkan agar tidak mengkhianati orang yang telah memberikan kepercayaan kepada kita. Selayaknya, kita menghormati dan menghargai orang tersebut, bukan malah berusaha mencelakakannya. Sebagai contoh, Ki Ageng Sengguruh, orang yang dipercaya sebagai orang penting di kadipaten, justru berusaha mencelakakan Adipati Nila Suwarna demi kedudukan dan kekuasaan.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H