Asmara, wanita pengagummu.
"Sudah ku baca, lalu apa? Kau ingin tetap memaksaku untuk menyayanginya? Dia tak tulus dek percaya padaku. Ditulisannya ini dia menganggapmu sebagai pengganggu, itu yang dikatakan tulus? Orang yang mencintai dengan tulus itu rela melihat orang yang dicintainya dengan siapapun asalkan bahagia. Mendo'akan tanpa memaksakan. Sudah ku katakan kan sebelumnya? Tak pernah aku berdo'a untuk dijodohkan denganmu? Apa yang ku lantunkan dalam do'aku? Masih kau ingat itu, dek?"
"Jika jodohku dekatkan lah, jika memang bukan jodohku jauhkan lah dengan kemudahan agar aku dan dia mampu mengikhlaskan untuk pergi menjauh. Dan jika memang bukan jodoh, pisahkanlah kami secepat mungkin agar tidak terlalu menyakitkan. Itu kan mas? Itu juga yang selalu aku lantunkan dalam do'aku."
"Nah kau tau itu. Lalu apa gunanya kau membicarakan hal ini dengan serius? yang kau tau terhitung dua minggu lagi aku akan menjadi imammu dalam sholat maupun dalam hidupmu."
"Ayo pulang mas! Ibu mencariku." Katanya seraya berdiri yang dihiasi senyuman manisnya. Gadisku telah kembali.
"Bohong kamu, tadi aku sudah izin pada ibumu. Ya walaupun dimarahi karena sebenarnya kita tak boleh bertemu. Namun ridnu sekali rasanya sudah dua bulan aku tak bertemumu setelah melamarmu waktu itu. Rasanya aku butuh kamu untuk tempat berpulang, lelah aku dek dua bulan di Lombok ngurusin ini itu dan lebih lelahnya merindukanmu."
"Sabodo teuing ah mas, ayo pulang. Aku mau pulang sekarang aja." Katanya dengan menggertakan kakinya di pasir pantai.
"Ah sepertinya rinduku bertepuk sebelah tangan ya dek? Ok kita pulang sekarang. Selamat bertemu dua minggu lagi ya dek."
Dan senja menjadi penghujung gundah gadisku. Dua minggu lagi. Semakin gugup aku dibuatnya, bukan gugup karena akan ku ucap akad. Namun aku gugup, apakah mampu menahan rindu dua minggu kedepan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H