Mohon tunggu...
Silvia Ayu Artika
Silvia Ayu Artika Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

hobi saya memasak, saya suka menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Perkawinan Anak di Bawah Umur terhadap Terjadinya Perceraian di Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone

14 Mei 2023   09:48 Diperbarui: 14 Mei 2023   09:51 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan perkawinan sebagai perbuatan, upacara, dan perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri. Sudarsono, Memberikan gambaran tentang makna perkawinan, yaitu terlepas dari kenyataan bahwa orang Indonesia menyebut pernikahan sebagai "perkawinan", kata bahasa Arab untuk "perkawinan" sama dengan kata bahasa Indonesia untuk "pernikahan". Saat ini, sudah menjadi praktik umum untuk membedakan antara pernikahan dan perkawinan, Namun pada prinsipnya satu-satunya perbedaan antara perkawinan dan pernikahan di ukur dari sudut pandang hukum, jelas bahwa perkawinan atau pernikahan adalah kontrak suci dan mulia antara seorang pria dan seorang wanita yang memberikan status hukum kepada seorang istri. serta legalisasi aktivitas seksual dengan tujuan menciptakan keluarga yang penuh cinta, kebijaksanaan, dan saling mendukung keadaan ini sering disebut sebagai keluarga sakinah. Menurut hukum Islam, pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidhan untuk menaati Allah dan melakukan ibadah. Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI yang menetapkan batasan usia minimum untuk menikah. Dengan cara ini hubungan di bawah umur dapat ditegakkan berharap bahwa pernikahan atau pernikahan selesai antara seorang pria dan seorang wanita yang berada di bawah umur 19 tahun untuk remaja putra dan di bawah 16 tahun untuk remaja putri.

Di bawah umur adalah seseorang yang belum mencapai usia kedewasaan, yang dalam konteks ini adalah anak yang telah menikah sebelum mencapai tahap kedewasaan untuk menikah. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hal itu diatur sejauh mungkin untuk remaja laki-laki 19 tahun ke bawah dan perempuan 16 tahun, jika belum sampai 21 tahun harus mendapatkan izin dari orang-orangnya.

Masa pernikahan, khususnya bagi wanita, sama sekali tidak di jelaskan secara mendalam dari Al-Qur'an dan hadits Nabi dengan tujuan agar remaja putri di usia di mana dia tidak memahami pentingnya menikah ketika dia menikah, maka pada saat itu perkawinan itu sah. Disisi lain percaya bahwa perlu untuk menetapkan usia minimum untuk menikah, dengan alasan keuntungan, dalam undang-undang pernikahan. Seseorang dapat menikah jika dia berusia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Undang-undang perlindungan anak mendefinisikan seseorang sebagai anak jika dia belum berusia 18 tahun. Menurut pedoman kesehatan dan keluarga berencana, wanita harus berusia antara 20 dan 25 tahun dan pria harus berusia antara 25 dan 30 tahun. Waktu terbaik untuk menikah biasanya ketika pria lebih tua dari wanita, tetapi tidak selalu demikian begitu. Pada intinya, Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk menikah. Namun, undang-undang perkawinan ini dapat dibedakan menjadi lima kategori karena berbagai faktor, yaitu:

  • Wajib: Hukumnya fardlu terhadap orang-orang yang terlalu bernafsu terhadap seorang wanita dan tidak mampu mengendalikannya sedangkan dia mampu untuk menikah karena keadaan telah meyakinkan mereka bahwa dia pasti akan melakukan zina jika dia belum menikah.
  • Sunnah, bagi seseorang yang syarat hidupnya lurus dan bisa menikah sementara dia tidak stres karena jatuh pada perselingkuhan.  Hukumnya nihkah baginya jika ia ingin menikah dengan maksud untuk menghidupi diri sendiri atau memiliki anak.
  • Makruh, bagi individu yang ketika menikah merasa khawatir terhadap penganiayaan terhadap pasangannya;  Namun, jika mereka tidak menikah, mereka khawatir akan melakukan perzinahan.  Sebab, ketika terjadi pertentangan antara hak Allah dan hak manusia, maka hak asasi manusia yang diutamakan, dan yang bersangkutan harus mengendalikan nafsunya agar terhindar dari zina.  Pernikahan makruh untuk orang yang lemah pasangannya dan tidak tahan untuk memberikan setengah makanannya, bahkan jika dia menghambat pasangannya, karena dia kaya dan benar-benar membutuhkan hasrat yang padat.
  • Mubah, bagi orang-orang yang tidak terdesak untuk segera menikah atau menentangnya.
  • Haram bagi orang-orang yang ketika dinikahi meyakini bahwa wanita yang akan dinikahinya akan menderita dan dilecehkan karena tidak memiliki sumber penghasilan.

Tujuan perkawinan sebagaimana tercantum dalam Pasal I UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan keluarga bahagia yang langgeng. Oleh karena itu, suami istri perlu saling mendukung dan melengkapi agar keduanya mencapai kesejahteraan materil dan spiritual. Menurut hukum nasional, perkawinan memiliki tujuan sebagai berikut mewujudkan keluarga atau rumah tangga yang bahagia selama-lamanya berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Motivasi di balik pernikahan adalah untuk membingkai keluarga yang bahagia dan langgeng dalam pandangan Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa ini menunjukkan bahwa:

  • Bertahan selamanya.
  • Terpisah membutuhkan persyaratan yang berat dan merupakan retret terakhir.
  • Sepasang suami istri membantu membina diri mereka sendiri.

Faktor penyebab pernikahan di bawah umur:

  • Norma agama dalam hal ini tidak melarang atau mengkriminalkan perkawinan di bawah umur, bahkan dalam Islam.  "Nikah" adalah fitrah manusia dan sangat dianjurkan bagi umat Islam karena menikah adalah gharizah insaniyah (naluri manusia) yang harus dimiliki. sarat dengan cara-cara yang halal agar tidak mencari-cari cara atau cara-cara yang sesat yang terjun ke dalam hubungan yang korup.
  • Sosial (kebiasaan) Ditinjau dari segi sosial, unit terkecil dari masyarakat atau kebiasaan yang memiliki kecenderungan untuk mendorong tidak ada sikap mendukung atau sikap kebiasaan mendukung terhadap perkawinan di antara orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun. Lebih-lebih akibat dari  pelatihan yang rendah dan tingkat dasar ekonomi dan mentalitas atau cara pandang masyarakat yang sebagian besar meminimalkan masalah yang muncul tanpa pandang bulu perkawinan di bawah umur.
  • Peraturan Mengenai hukum dan ketertiban, untuk situasi ini hukum benar-benar dibutuhkan pekerjaan dalam mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam pernikahan, terutama dalam hubungan di bawah umur. Artinya, jumlah perkawinan di bawah umur akan berkurang setiap tahunnya jika batas-batas hukum perkawinan ditetapkan dan diperjelas.

Dampak pernikahan dini:

  • Pengaruh terhadap suami istri Tidak dapat dipungkiri bahwa pasangan suami istri yang menikah muda tidak dapat memenuhi nazarnya atau lalai akan tanggung jawabnya sebagai suami istri.
  • Pengaruh pada anak-anak mereka Individu yang telah menikah cukup awal atau di bawah umur akan berpengaruh.  Pernikahan muda berdampak tidak hanya pada pasangan yang menikah di usia muda tetapi juga pada anak-anak mereka.
  • Pengaruh pada setiap keluarga Pernikahan di usia muda juga akan berpengaruh pada setiap keluarga.  Ini akan mempengaruhi pasangan menikah dan anak-anak mereka.  Secara alami, orang tua mereka masing-masing akan mendapat manfaat dari pernikahan anak-anak mereka.

Kemudian jika membahas mengenai Perceraian sendiri adalah pemutusan hubungan perkawinan antara pasangan dengan pilihan pengadilan dan ada penjelasan yang cukup antara suami istri pasangan saat ini tidak dapat hidup sebagai satu sebagai pasangan Seperti yang ditunjukkan oleh Majelis Hukum Islam, berpisah adalah salah salah satu penyebab putusnya hubungan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 113 KHI yang menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan penyebab putusnya perkawinan:

  • Kematian
  • Perceraian
  • Putusan Pengadilan

Dilihat dari alasan kenapa bisa terjadi perceraian sendiri menurut UU karena dalam pasal 39 UU No. 1/1974 dan pasal 110 KHI di jelaskan tentang alasan suami atau istri mengajukan talak atau gugatan cerai di pengadilan berdasarkan alasan:

  • Salah satu pihak berzina atau menjadi pemabuk, penjudi, atau orang lain yang sulit disembuhkan.
  • Satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun tanpa izin pihak lain atau karena sesuatu di luar kendalinya.
  • Salah satu pihak menerima hukuman penjara lima (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan.
  • Satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang merugikan pihak lain.
  • Salah satu pihak mengalami cacat atau penyakit pada Suami atau istri.
  • Terjadinya perselisihan antara suami dan istri.
  • melanggar ta'lik talak
  • Suami melakukan perpindahan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga sehingga tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga antara suami istri.

Faktor- faktor perceraian yang sering terjadi adalah faktor dari keluarga, Faktor umur, Faktor dari ekonomi yang buruk atau tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan krisis akhlak yang mungkin salah satu dari suami atau istri tidak punya keteguhan akhlak yang baik.

BAB III METODE PENELITIAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun