Nama             : Silvia Ayu Artika
NIM Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 212121033
Kelas             : HKI 4A
Mata Kuliah      : Hukum Acara Perdata Islam Di Indonesia
Dosen Pengampu: Bpk. Muhammad Julijanto, S.Ag.,M.Ag.
Judul Buku                : HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA
Penulis                    : Dr. H. Kumedi Ja'far, S. Ag., M. H.
Penerbit                   : Arjasa Pratama
Jl. P. Tirtayasa gang Andalas, Sukabumi, Bandar Lampung
Terbit                     : 2021
Cetakan Pertama          : Mei 2021
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-623-96842-9-7
Halaman                  : 184 hlm
Dicetak Oleh Percetakan  : CV Arjasa Pratama, Bandar Lampung
Buku tulisan Dr. H. Kumedi Ja'far, S. Ag., M. H. Yang berjudul " Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia" mendiskripsikan secara lengkap dan jelas mengenai hukum perkawinan yang di atur di dalam negara Indonesia mulai dari pengertian, rukun, syarat, siapa yang berhak menikahkan anak perempuan (wali), dan lain sebagianya. Dijelaskan dalam rukun nikah bahwa suatu pernikahan tidak sah jika tidak ada sesuatu yang menentukan sah atau tidaknya. Buku ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan melamar. Kata "melamar" berasal dari kata dasar "pinang", dan kata Arab "khitbah" adalah sinonim untuk melamar. Melamar atau melamar menurut bahasa berarti meminta seorang wanita untuk menjadi istrinya. Melamar menurut definisinya adalah "suatu kegiatan menuju terjadinya perjodohan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan" atau "seorang laki-laki yang meminta seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara-cara yang berlaku umum dalam masyarakat". Kedua ungkapan ini mengacu pada tindakan melamar. Proposal adalah pengantar pernikahan, dan wajib dilakukan perkenalan (ta'aruf) sebelum penyatuan suami dan istri. Hal ini dilakukan agar waktu melangsungkan perkawinan didasarkan pada penelitian, pengetahuan, dan kesadaran kedua belah pihak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang tercatat di buku ini menegaskan bahwa pengertian lamaran yang terdapat dalam Pasal 1 Bab 1 Huruf A adalah "upaya yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan terhadap terjadinya perjodohan antara laki-laki dan perempuan dengan cara yang baik" (ma'ruf). Jadi, masyarakat yang ingin mencari jodoh atau jodoh bisa meminang secara langsung atau melalui perantara terpercaya atau walinya. Dalam Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) disebutkan bahwa meminang perempuan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut adalah melawan hukum :
- Ayat Kedua: Haram dan melawan hukum melamar seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, padahal mereka masih dalam masa iddah raj'iah.
- Kalimat ketiga: Haram juga meminang seorang wanita yang dilamar oleh laki-laki lain, selama perempuan itu tidak menolak lamaran laki-laki itu.
- Ayat (4): Lamaran laki-laki ditolak karena hubungan telah berakhir atau karena laki-laki diam-diam menjauhkan diri dari atau meninggalkan perempuan yang hendak dinikahinya.
 Menurut Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) KHI KHI, perempuan yang boleh dilamar dalam Al-Qur'an adalah sebagai berikut:
- Wanita yang dilamar bukan istri orang lain.
- Wanita yang dipinang belum didekati oleh pria lain.
- Wanita yang dilamar tidak harus melalui masa raj'i iddah, artinya mantan suami masih berhak bergaul dengan wanita tersebut.
- Hanya sindiran yang dapat digunakan untuk melamar seorang wanita yang sedang dalam masa iddah ketika dia meninggal.
- Wanita yang berpisah dari suaminya pada masa bain sughra iddah.
- Setelah menikah dengan laki-laki lain (ba'da dukhul) dan bercerai, wanita pada masa bain kubra iddah dapat dilamar oleh mantan suaminya. Â sedangkan mantan suami yang bersangkutan juga menikah dengan wanita yang berbeda.
Yang paling penting saat melakukan peminangan:
- Peminangan pada dasarnya adalah langkah pertama untuk menikah. Â Akibatnya, wanita yang diperbolehkan menikah dengan pria di bawah hukum Syariah dapat diminta untuk menikah. Â Wanita yang telah diceraikan oleh suaminya dan sedang menjalani raj'i iddah berada dalam kesulitan yang sama dengan wanita yang saat ini menikah karena mereka tidak dapat meminta pertunangan dalam bahasa yang jujur atau sindiran. Hal ini karena wanita yang diceraikan suaminya berada dalam raj'i iddah. Alasannya, wanita iddah talak raj'i diperlakukan sama dengan wanita yang sudah menikah. Seorang wanita yang menjalani iddah akibat kematian suaminya tidak dapat secara terang-terangan meminangnya, tetapi dia dapat meminangnya secara sindiran. Wanita yang sedang iddah karena fasakh atau talak tiga tidak boleh dilamar secara terang-terangan, tetapi bisa dilakukan dengan cara menyindir, seperti halnya wanita yang disebabkan oleh kematian suaminya. Hal ini diperbolehkan karena wanita yang diceraikan telah mengakhiri hubungannya dengan mantan suaminya. Â Wanita berikut dapat diusulkan untuk:
- Tidak di tangan orang lain;
- Wanita itu tidak memiliki penghalang syara', yang mencegah pernikahan pada saat pertunangan.
- Karena talak raj'i, wanita tersebut tidak dalam masa iddahnya.
- Jika wanita itu dalam masa iddah, dia harus meminang secara sirri (tidak terang-terangan).
- Melihat wanita yang dilamar Pada saat meminang, pria yang akan meminang diperbolehkan untuk melihat wanita yang akan dinikahinya, padahal menurut budayanya pria tidak boleh melihat wanita.
- Batasi apa yang bisa dilihat Terlepas dari kenyataan bahwa hadits Nabi mengatakan bahwa boleh saja melihat wanita yang sudah menikah, ada batasan pada apa yang bisa dilihat.
Ada beberapa perbedaan dari ulama dalam parameter ini:
- Hanya wajah dan telapak tangan saja yang terlihat, menurut Jumhur Ulama.
- Al-Awza'iy berpendapat bahwa bagian yang berdaging harus terlihat.
- Daud Zahahiri mengklaim bahwa hadis nabi yang memungkinkan melihat waktu pernikahan, tidak menentukan batasan apa pun terkait praktik ini.
- Membatalkan lamaran, Â jika lamaran dibatalkan sedangkan peminat telah memberikan mahar seluruhnya atau sebagian, maka mahar harus dikembalikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, jika hadiah itu adalah hadiah, hukum hadiah berlaku baginya, mengizinkannya untuk mengembalikannya jika tidak ada halangan, seperti kerusakan atau kehilangan, yang mencegahnya untuk dikembalikan. Mengenai pendapat yang paling kuat (rajah), hal ini dapat dijelaskan dengan membagi ancaman menjadi dua kategori, yaitu:
- Peminang yang menolak lamaran memiliki risiko yang sama seperti jika dia meminta jenis tertentu atau persiapan rumah tangganya di masa depan sesuai dengan aturan tertentu. Â Karena dia mengubah keadaan, yang memerlukan jaminan, kompensasi harus dibayarkan dalam keadaan ini.
- Karena tidak ada penyesatan dalam pembatasan proposal atau pembatalannya, tidak ada kewajiban untuk mengkompensasi risiko yang ditimbulkannya.
Pemahaman tentang pernikahan juga disertakan dalam buku ini. Â An-nikah adalah kata Arab untuk pernikahan. Â An-Nikah, yang diterjemahkan menjadi "al-wat'u," dan ad-dammu wa at-tadakhul, juga dikenal sebagai "ad-dammu wa al-jam'u," yang diterjemahkan menjadi "persetubuhan", "pengelompokan", Â dan "kontrak", masing-masing. Â Perkawinan (kawin) pada hakekatnya adalah suatu kontrak atau perjanjian yang menjadikan hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri sah, sedangkan perkawinan (perkawinan) adalah hubungan seksual menurut makna aslinya.
Hukum perkawinan juga dibahas dalam buku ini. Boleh dikatakan hukum perkawinan yang asal adalah mubah atau mubah karena perkawinan merupakan akad yang memungkinkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya dilarang. Oleh karena itu, meskipun hukum perkawinan pada mulanya mubah, namun dimungkinkan untuk berkembang berdasarkan ahkam al-khamsah (lima hukum) sebagai respon terhadap perubahan keadaan, seperti berikut ini:
- Nikah wajib adalah yang diwajibkan bagi mereka yang mampu meningkatkan ketakwaannya, serta bagi mereka yang mampu menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari obat-obatan terlarang. Â Secara alami, pernikahan adalah satu-satunya cara untuk memenuhi kewajiban ini.
- Nikah haram adalah jenis perkawinan yang diharamkan bagi orang-orang yang sadar bahwa dirinya tidak mampu memelihara rumah tangga. Â Ini termasuk kewajiban lahiriah seperti mencari nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya, dan kewajiban mental seperti melakukan hubungan seksual dengan istri.
- Nikah sunnah, atau nikah yang dibolehkan bagi yang sudah mampu, tetapi dia masih bisa mengendalikan nafsunya dan menahan diri dari maksiat. Â Karena selibat tidak diajarkan dalam Islam, pernikahan lebih disukai dalam situasi seperti ini.
- Nikah Mubah, atau nikah bagi orang yang tidak terhalang untuk menikah dan yang keinginannya untuk menikah belum membahayakan dirinya; Â akibatnya, dia tidak wajib menikah dan tidak melanggar hukum baginya untuk tidak menikah.
Dasar-dasar dan syarat-syarat pernikahan juga dibahas dalam buku ini. Tiang adalah hal-hal yang harus ada untuk menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan hal-hal yang merupakan bagian dari rangkaian pekerjaan (ibadah), seperti membasuh muka saat wudhu dan takbiratul ihrom saat sholat. Kehadiran calon mempelai, dan lain- lain, adalah ilustrasi lain lagi. Berikut ini dapat dikemukakan informasi tambahan mengenai rukun dan syarat perkawinan:
- Suami, persyaratannya terdiri dari:
- Bukan mahram calon istri;
- Tidak dipaksakan, tapi atas kemauannya sendiri;
- Identitas orang (suami) jelas;
- Tidak dalam ihram;
- Istri, syaratnya adalah:
- Tidak ada halangan syara', yakni tidak sedang bersuami, bukan mahrom, dan tidak sedang dalam iddah.
- Merdeka, tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri.
- Orangnya (istri) jelas.
- Tidak sedang berihram
- Beragama Islam
- Wali, syaratnya antara lain:
- Laki-laki.
- Baligh.
- Berakal.
- Adi.
- Melihat dan mendengar.
- Kemauan sendiri (tidak dipaksa).
- Tidak sedang berihram.
- Saksi, syaratnya antara lain:
- Laki-laki.
- Baligh.
- Berakal.
- Tidak dipaksa.
- Adil.
- Dapat melihat dan mendengar.
- Tidak sedang berihram.
- Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab Kabul.
- Shigat (ijab-kabul), syaratnya antara lain:
- Shighat harus dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang-orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi.
- Shighat harus jelas dan lengkap.
- Shighat harus bersambung dan bersesuaian.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa perkawinan (akad nikah) yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya adalah batal. Syariat yang diperkenalkan oleh Nabi adalah tujuan pernikahan, yaitu mengatur urusan manusia baik di akhirat maupun di dunia. Ada empat garis susunan dalam hal ini, yaitu:
- Rub al-Ibadat, khusus mengatur hubungan manusia dengan penciptanya.
- Rub al-Muamalat, khususnya mengatur hubungan interpersonal dalam rangka berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Rub al-Munakahat, khususnya mengatur hubungan interpersonal dalam konteks keluarga.
- Rub al-Junayah, atau menciptakan tatanan sosial yang menjamin perdamaian dan keamanan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perkawinan berfungsi:
- Menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal;
- memenuhi kebutuhan biologis yang sah dan sehat;
- memiliki anak;
- mewariskan budaya kepada generasi mendatang;
- membangun garis keturunan seseorang;
- memperkuat kekerabatan dengan pasangannya;
- memperoleh cinta, kebahagiaan, dan rasa aman;
Islam juga mengajarkan dan menganjurkan manusia untuk menikah karena dengan menikah akan membawa kebaikan, kebaikan bagi pelakunya sendiri, kebaikan bagi masyarakat, dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Hikmah pernikahan adalah bahwa Allah menjadikan makhluk-Nya berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, besar dan kecil, suka dan duka, dan seterusnya.
Saya dapat memahami bahwa ada manfaat menikah untuk kemaslahatan:
- Menghindari perbuatan asusila (zina).
- Distribusi legal dari dorongan seksual;
- Perkembangan kebahagiaan dan ketenangan;
- Pencegahan penyakit menular seksual;
- Kesadaran akan kebutuhan untuk mencari makanan halal;
- Pengembangan rasa tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat; Â dan
- Terjalinnya hubungan persahabatan antara keluarga dan masyarakat.
Prinsip-prinsip Perkawinan diatur ke dalam kategori-kategori berikut dalam buku ini:
- Prinsip Sukarela Dalam hal ini, tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang damai dan tenteram. Untuk mencapai hal ini, suami dan istri harus saling mendukung dan melengkapi agar masing-masing tumbuh sebagai individu dan berkontribusi pada keberhasilan keluarga.
- Prinsip Monogami Dalam hal ini, seorang pria tidak dapat memiliki lebih dari satu istri, dan seorang wanita tidak dapat memiliki lebih dari satu suami. Dengan kata lain, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 menetapkan bahwa UU Perkawinan mengandung asas mempersulit poligami, khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil.
- Asas Partisipasi dan Pencatatan Keluarga Dalam hal ini, perkawinan merupakan peristiwa penting, maka orang tua harus ikut serta dalam memberikan izin sebagai tanda menjaga garis keturunan. Selain itu, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, serta harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Prinsip Perceraian Itu Rumit Dalam hal ini, perceraian harus diperumit karena perceraian adalah perbuatan hukum tetapi Allah SWT membencinya karena perkawinan bertujuan untuk menciptakan keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera. Perceraian juga dapat berdampak negatif bagi keluarga, masyarakat secara keseluruhan, dan anak-anak hasil perkawinan.
- Prinsip kedewasaan calon pengantin dalam hal ini, calon suami istri harus matang lahir dan batin agar dapat menikah. Hal ini menjamin bahwa mereka akan dapat mencapai tujuan perkawinan, yaitu membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan langgeng dengan baik berdasarkan ketentuan Yang Maha Kuasa tanpa mempertimbangkan perceraian.
- Prinsip Peningkatan Status Perempuan Dalam hal ini peran suami dan istri dalam rumah tangga dan masyarakat seimbang.
Pernikahan didasarkan pada empat prinsip:
- Prinsip Mawaddah wa Rahrnah, yaitu saling mencintai;
- Prinsip Mu'asyarah bi al-Ma'ruf, yang mengacu pada perilaku yang santun dan beradab;
- Prinsip Musawah, yaitu saling melengkapi dan melindungi; Â dan
- Prinsip Musyawarah, yang mengacu pada diskusi dan komunikasi yang efektif. Dilihat dari segi perkawinan sendiri, dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:
- Monogami, atau penyatuan laki-laki dan perempuan melalui perkawinan.
- Poligami atau poligini adalah seorang laki-laki menikah dengan lebih dari satu perempuan.
- Poligami, atau poliandri, adalah seorang wanita menikah dengan dua pria atau lebih.
- Eksogami adalah seorang laki-laki menikahi perempuan yang bukan dari kelompok sosialnya sendiri.
- Endogami, atau perkawinan antara laki-laki dan perempuan dari kelompoknya sendiri, adalah salah satu bentuk endogami. Â Kelompok yang dimaksud adalah kelompok etnik atau sosial.
Didalam buku ini menjelaskan banyak sekali fungsi, hikmah, syarat, rukun, tujuan, asa, prinsip, pencegahan, dan pembatalan dalam pernikahan. Terdapat juga pembahasan mengenai Kafa'ah kita secara tidak langsung telah mempelajari isi yang mungkin belum pernah kita pelajari secara luas dan tahu secara detail mengenai pernikahan. Ternyata Pernikahan itu juga penting dan bukan soal tentang ikatan antara dua orang dengan kata lain perempuan dan laki- laki, melainkan juga tentang syarat dan apa saja yang kita persiapkan sebelum menikah.
Daftar isi pada buku ini sudah jelas dan menerangkan apa saja yang akan di tuangkan kedalam isi buku dan menurut saya ini sudah rapi dalam susunan daftar isi, secara tidak langsung pembaca akan mudah dalam mencari halaman materi yang ingin di cari dalam buku tersebut. Kemudian dari segi kata pengantar disini seperti kata pengantar pada umumnya disini penulis mengakui jika ada kekurangan dalam menuliskan buku ini, penulis membutuhkan kritikan dari buku ini agar kedepannya dapat di kembangkan lagi kesalahan atau kekurangan yang terdapat dalam buku ini. Kemudian dari segi isi dalam buku menurut saya sudah jelas, poin- poin yang di tulis baik dalam pengertian pernikahan, hukum, syarat, fungsi, serta pembahasan lain sudah memenuhi cakupan yang di bahas, walaupun mungkin di dalam isi masih terdapat kata atau kalimat yang tidak jelas seperti penggunaan tanda "{}/[]" masih ada di dalamnya entah itu salah ketik atau penulis tidak teliti dalam menuliskan kalimat.
KESIMPULANÂ
Kelebihan dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indoneia:
Dalam buku ini dari susunan daftar isinya sangat jelas sehingga pembaca tidak bingung untuk mencari materi di dalam buku karena penataan yang pas, di dalam isi buku ini menjelaskan dengan jelas di setiap materi yang tertulis pada buku ini, dalam penulisan sumber dan data terkait buku ini lumayan jelas, di bagian akhir dalam buku ini penulis sengaja memberikan pasal terkait UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN agar pembaca mengetahuai tentang aturan tersebut, penulis juga memberikan penjelasan tentang UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN, penulis juga menuliskan riwayat hidup singkat pada bagian belakang buku ini.
Kekurangan dalam buku Hukum Perkawinan Islam di Indoneia:
Didalam buku ini masih terdapat kalimat yang tidak bisa di baca karena memiliki simbol [\{ yang terdapat pada isi buku, buku ini menurut saya masih berbelit- belit karena masih terdapat banyak penjabaran pengertian yang panjang. Buku ini juga mempunyai halaman yang kosong tidak ada tulisan yang masih ada di dalamnya hal ini bisa membuat jumlah halaman meningkat dan terkesan kurang rapi, pada sampul buku ini terlihat sederhana dan kurang enak untuk di pandang sehingga minat pembaca untuk tertarik pada buku ini juga kecil, buku ini juga jarang di temukan pada toko buku dan toko online seperti Shopee sehingga orang mungkin kesulitan mencari buku cetakan aslinya, dalam penulisan footnote di buku ini kurang tepat pada penulisan judul sebagian tidak di tulis miring.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H