Dicetak Oleh Percetakan  : CV Arjasa Pratama, Bandar Lampung
Buku tulisan Dr. H. Kumedi Ja'far, S. Ag., M. H. Yang berjudul " Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia" mendiskripsikan secara lengkap dan jelas mengenai hukum perkawinan yang di atur di dalam negara Indonesia mulai dari pengertian, rukun, syarat, siapa yang berhak menikahkan anak perempuan (wali), dan lain sebagianya. Dijelaskan dalam rukun nikah bahwa suatu pernikahan tidak sah jika tidak ada sesuatu yang menentukan sah atau tidaknya. Buku ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan melamar. Kata "melamar" berasal dari kata dasar "pinang", dan kata Arab "khitbah" adalah sinonim untuk melamar. Melamar atau melamar menurut bahasa berarti meminta seorang wanita untuk menjadi istrinya. Melamar menurut definisinya adalah "suatu kegiatan menuju terjadinya perjodohan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan" atau "seorang laki-laki yang meminta seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara-cara yang berlaku umum dalam masyarakat". Kedua ungkapan ini mengacu pada tindakan melamar. Proposal adalah pengantar pernikahan, dan wajib dilakukan perkenalan (ta'aruf) sebelum penyatuan suami dan istri. Hal ini dilakukan agar waktu melangsungkan perkawinan didasarkan pada penelitian, pengetahuan, dan kesadaran kedua belah pihak.
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang tercatat di buku ini menegaskan bahwa pengertian lamaran yang terdapat dalam Pasal 1 Bab 1 Huruf A adalah "upaya yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan terhadap terjadinya perjodohan antara laki-laki dan perempuan dengan cara yang baik" (ma'ruf). Jadi, masyarakat yang ingin mencari jodoh atau jodoh bisa meminang secara langsung atau melalui perantara terpercaya atau walinya. Dalam Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) disebutkan bahwa meminang perempuan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut adalah melawan hukum :
- Ayat Kedua: Haram dan melawan hukum melamar seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, padahal mereka masih dalam masa iddah raj'iah.
- Kalimat ketiga: Haram juga meminang seorang wanita yang dilamar oleh laki-laki lain, selama perempuan itu tidak menolak lamaran laki-laki itu.
- Ayat (4): Lamaran laki-laki ditolak karena hubungan telah berakhir atau karena laki-laki diam-diam menjauhkan diri dari atau meninggalkan perempuan yang hendak dinikahinya.
 Menurut Pasal 12 ayat (2), (3), dan (4) KHI KHI, perempuan yang boleh dilamar dalam Al-Qur'an adalah sebagai berikut:
- Wanita yang dilamar bukan istri orang lain.
- Wanita yang dipinang belum didekati oleh pria lain.
- Wanita yang dilamar tidak harus melalui masa raj'i iddah, artinya mantan suami masih berhak bergaul dengan wanita tersebut.
- Hanya sindiran yang dapat digunakan untuk melamar seorang wanita yang sedang dalam masa iddah ketika dia meninggal.
- Wanita yang berpisah dari suaminya pada masa bain sughra iddah.
- Setelah menikah dengan laki-laki lain (ba'da dukhul) dan bercerai, wanita pada masa bain kubra iddah dapat dilamar oleh mantan suaminya. Â sedangkan mantan suami yang bersangkutan juga menikah dengan wanita yang berbeda.
Yang paling penting saat melakukan peminangan:
- Peminangan pada dasarnya adalah langkah pertama untuk menikah. Â Akibatnya, wanita yang diperbolehkan menikah dengan pria di bawah hukum Syariah dapat diminta untuk menikah. Â Wanita yang telah diceraikan oleh suaminya dan sedang menjalani raj'i iddah berada dalam kesulitan yang sama dengan wanita yang saat ini menikah karena mereka tidak dapat meminta pertunangan dalam bahasa yang jujur atau sindiran. Hal ini karena wanita yang diceraikan suaminya berada dalam raj'i iddah. Alasannya, wanita iddah talak raj'i diperlakukan sama dengan wanita yang sudah menikah. Seorang wanita yang menjalani iddah akibat kematian suaminya tidak dapat secara terang-terangan meminangnya, tetapi dia dapat meminangnya secara sindiran. Wanita yang sedang iddah karena fasakh atau talak tiga tidak boleh dilamar secara terang-terangan, tetapi bisa dilakukan dengan cara menyindir, seperti halnya wanita yang disebabkan oleh kematian suaminya. Hal ini diperbolehkan karena wanita yang diceraikan telah mengakhiri hubungannya dengan mantan suaminya. Â Wanita berikut dapat diusulkan untuk:
- Tidak di tangan orang lain;
- Wanita itu tidak memiliki penghalang syara', yang mencegah pernikahan pada saat pertunangan.
- Karena talak raj'i, wanita tersebut tidak dalam masa iddahnya.
- Jika wanita itu dalam masa iddah, dia harus meminang secara sirri (tidak terang-terangan).
- Melihat wanita yang dilamar Pada saat meminang, pria yang akan meminang diperbolehkan untuk melihat wanita yang akan dinikahinya, padahal menurut budayanya pria tidak boleh melihat wanita.
- Batasi apa yang bisa dilihat Terlepas dari kenyataan bahwa hadits Nabi mengatakan bahwa boleh saja melihat wanita yang sudah menikah, ada batasan pada apa yang bisa dilihat.
Ada beberapa perbedaan dari ulama dalam parameter ini:
- Hanya wajah dan telapak tangan saja yang terlihat, menurut Jumhur Ulama.
- Al-Awza'iy berpendapat bahwa bagian yang berdaging harus terlihat.
- Daud Zahahiri mengklaim bahwa hadis nabi yang memungkinkan melihat waktu pernikahan, tidak menentukan batasan apa pun terkait praktik ini.
- Membatalkan lamaran, Â jika lamaran dibatalkan sedangkan peminat telah memberikan mahar seluruhnya atau sebagian, maka mahar harus dikembalikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya, jika hadiah itu adalah hadiah, hukum hadiah berlaku baginya, mengizinkannya untuk mengembalikannya jika tidak ada halangan, seperti kerusakan atau kehilangan, yang mencegahnya untuk dikembalikan. Mengenai pendapat yang paling kuat (rajah), hal ini dapat dijelaskan dengan membagi ancaman menjadi dua kategori, yaitu:
- Peminang yang menolak lamaran memiliki risiko yang sama seperti jika dia meminta jenis tertentu atau persiapan rumah tangganya di masa depan sesuai dengan aturan tertentu. Â Karena dia mengubah keadaan, yang memerlukan jaminan, kompensasi harus dibayarkan dalam keadaan ini.
- Karena tidak ada penyesatan dalam pembatasan proposal atau pembatalannya, tidak ada kewajiban untuk mengkompensasi risiko yang ditimbulkannya.
Pemahaman tentang pernikahan juga disertakan dalam buku ini. Â An-nikah adalah kata Arab untuk pernikahan. Â An-Nikah, yang diterjemahkan menjadi "al-wat'u," dan ad-dammu wa at-tadakhul, juga dikenal sebagai "ad-dammu wa al-jam'u," yang diterjemahkan menjadi "persetubuhan", "pengelompokan", Â dan "kontrak", masing-masing. Â Perkawinan (kawin) pada hakekatnya adalah suatu kontrak atau perjanjian yang menjadikan hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri sah, sedangkan perkawinan (perkawinan) adalah hubungan seksual menurut makna aslinya.
Hukum perkawinan juga dibahas dalam buku ini. Boleh dikatakan hukum perkawinan yang asal adalah mubah atau mubah karena perkawinan merupakan akad yang memungkinkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya dilarang. Oleh karena itu, meskipun hukum perkawinan pada mulanya mubah, namun dimungkinkan untuk berkembang berdasarkan ahkam al-khamsah (lima hukum) sebagai respon terhadap perubahan keadaan, seperti berikut ini:
- Nikah wajib adalah yang diwajibkan bagi mereka yang mampu meningkatkan ketakwaannya, serta bagi mereka yang mampu menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari obat-obatan terlarang. Â Secara alami, pernikahan adalah satu-satunya cara untuk memenuhi kewajiban ini.
- Nikah haram adalah jenis perkawinan yang diharamkan bagi orang-orang yang sadar bahwa dirinya tidak mampu memelihara rumah tangga. Â Ini termasuk kewajiban lahiriah seperti mencari nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya, dan kewajiban mental seperti melakukan hubungan seksual dengan istri.
- Nikah sunnah, atau nikah yang dibolehkan bagi yang sudah mampu, tetapi dia masih bisa mengendalikan nafsunya dan menahan diri dari maksiat. Â Karena selibat tidak diajarkan dalam Islam, pernikahan lebih disukai dalam situasi seperti ini.
- Nikah Mubah, atau nikah bagi orang yang tidak terhalang untuk menikah dan yang keinginannya untuk menikah belum membahayakan dirinya; Â akibatnya, dia tidak wajib menikah dan tidak melanggar hukum baginya untuk tidak menikah.
Dasar-dasar dan syarat-syarat pernikahan juga dibahas dalam buku ini. Tiang adalah hal-hal yang harus ada untuk menentukan sah tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan hal-hal yang merupakan bagian dari rangkaian pekerjaan (ibadah), seperti membasuh muka saat wudhu dan takbiratul ihrom saat sholat. Kehadiran calon mempelai, dan lain- lain, adalah ilustrasi lain lagi. Berikut ini dapat dikemukakan informasi tambahan mengenai rukun dan syarat perkawinan:
- Suami, persyaratannya terdiri dari:
- Bukan mahram calon istri;
- Tidak dipaksakan, tapi atas kemauannya sendiri;
- Identitas orang (suami) jelas;
- Tidak dalam ihram;
- Istri, syaratnya adalah:
- Tidak ada halangan syara', yakni tidak sedang bersuami, bukan mahrom, dan tidak sedang dalam iddah.
- Merdeka, tidak terpaksa dan atas kemauan sendiri.
- Orangnya (istri) jelas.
- Tidak sedang berihram
- Beragama Islam
- Wali, syaratnya antara lain:
- Laki-laki.
- Baligh.
- Berakal.
- Adi.
- Melihat dan mendengar.
- Kemauan sendiri (tidak dipaksa).
- Tidak sedang berihram.
- Saksi, syaratnya antara lain:
- Laki-laki.
- Baligh.
- Berakal.
- Tidak dipaksa.
- Adil.
- Dapat melihat dan mendengar.
- Tidak sedang berihram.
- Memahami bahasa yang digunakan dalam ijab Kabul.
- Shigat (ijab-kabul), syaratnya antara lain:
- Shighat harus dengan bahasa yang dapat dipahami oleh orang-orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi.
- Shighat harus jelas dan lengkap.
- Shighat harus bersambung dan bersesuaian.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa perkawinan (akad nikah) yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya adalah batal. Syariat yang diperkenalkan oleh Nabi adalah tujuan pernikahan, yaitu mengatur urusan manusia baik di akhirat maupun di dunia. Ada empat garis susunan dalam hal ini, yaitu:
- Rub al-Ibadat, khusus mengatur hubungan manusia dengan penciptanya.
- Rub al-Muamalat, khususnya mengatur hubungan interpersonal dalam rangka berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
- Rub al-Munakahat, khususnya mengatur hubungan interpersonal dalam konteks keluarga.
- Rub al-Junayah, atau menciptakan tatanan sosial yang menjamin perdamaian dan keamanan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perkawinan berfungsi:
- Menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal;
- memenuhi kebutuhan biologis yang sah dan sehat;
- memiliki anak;
- mewariskan budaya kepada generasi mendatang;
- membangun garis keturunan seseorang;
- memperkuat kekerabatan dengan pasangannya;
- memperoleh cinta, kebahagiaan, dan rasa aman;