Mohon tunggu...
Silvha Darmayani
Silvha Darmayani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Andalas

Everything will be fine

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mandi Angin dan Mandi Paluah dalam Rupa Estetika

26 Agustus 2021   07:48 Diperbarui: 26 Agustus 2021   07:52 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Naskah drama "Mandi Angin" karya Wisran Hadi, yang merupakan seorang dramawan, novelis, penyair, dan cerpenis yang berasal dari Sumatera Barat, Minangkabau. 

Naskah ini dibawakan  pada tahun 2018 oleh Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, di bawah bimbingan Dr. Syafril, M.Si. selaku Dosen Sastra Indonesia. 

Tema yang diusung pun tidak terlepas dari warna warni alam dan cirikhas tradisional Minangkabau. Mulai dari adanya buaian kaliang, alat-alat musik, seperti talempong, tambua tasa, pupuik, juga beberapa dialog spontanitas dari beberapa pemain yang menggunakan bahasa Minang.

Wisran Hadi lewat naskah drama "Mandi Angin" ini benar-benar meluapkan ekspresinya, entah itu berupa rasa marah, dongkol, getir, daif, pandir, terhadap dirinya sendiri dalam versi yang cukup implisit. Dari judul saja, mungkin hanya sedikit orang yang benar-benar mafhum apa itu "Mandi Angin" apakah maknanya membasuh badan tidak dengan air, melainkan menggunakan angin? 

Tidak, bukan itu pengertiannya secara utuh dan konkret. Dalam konteks subjektif, saya berpendapat bahwa "Mandi Angin" yang dimaksudkan Wisran Hadi merupakan interpretasi dramawan tersebut dalam menilik realitas kehidupan saat ini.

Tidak hanya lontaran ungkapan mandi angin yang menarik perhatian, tetapi ungkapan mandi paluah juga menimbulkan kesan penasaran dan teka-teki. Tetapi jawabannya hanya bisa terpecahkan bila sudah merampungkan naskah drama tersebut atau juga dengan menyaksikan pertunjukan teaternya secara langsung. 

Dalam sebuah karya, baik berupa karya seni, maupun karya sastra, itu tidak luput dari adanya nilai-nilai keindahan atau estetika. Sebab estetika adalah keindahan, dan keindahan adalah ide, perasaan atau cipta tertinggi  manusia.

Estetika berasal dari bahasa Yunani "aesthesis" yang berarti perasaan atau sensitivitas. Bahasa Jerman "Geschmack". Estetika dalam arti teknis adalah ilmu keindahan, baik keindahan yang dapat dilihat seperti panorama alam, gunung-gunung, lauatan, dsb dirasakan, gerakan/tarian, atau juga didengarkan seperti musik, instrumen dll. 

Keindahan itu dengan sendirinya dapat kita rasakan, sekaligus kita nikmati. Tapi apa yang kita lakukan tersebut belumlah mengartikan kita sebagai ahli-ahli estetika, melainkan sebagai bentuk sikap atau upaya dalam memahaminya.

Dari dialog-dialog yang dipertunjukkan oleh para pemain teater "Mandi Angin" ini, saya menemukan keberadaan atau beberapa poin estetika di sana. Seperti estetika dialog antar pemeran, intonasi yang tepat, mimik dan gestur yang totalitas ditampilkan oleh masing-masing pemain saat berada di panggung. 

Walau mungkin beberapa pemain yang sedikit kurang jelas pelafalannya, barangkali disebabkan oleh situasi dan kondisi. Selanjutnya dari segi instrumen, musik, tanpa menciptakan bunga-bunga kalimat, saya pikir untuk kehadiran musik yang pada pembukaan diiringi dengan lagu-laguan, menimbulkan impresi dan kesan magis tersendiri, membawa perasaan penonton seakan-akan benar-benar ikut di dalamnya. Dan itu juga merupakan bagian dari estetika.

Namun  yang menjadi fokus saya dalam tulisan ini adalah keindahan dari isi cerita dalam naskah drama tersebut. Lirik awak di palupuah, di ateh mandi angin, di bawah mandi paluah adalah representasi yang sebenarnya ingin diungkapkan Wisran Hadi dalam drama ini. 

Mandi Angin yang sebenarnya bukanlah mandi menggunakan angin, melainkan refleksi karakter dari orang-orang yang bersikap otoriter, orang-orang yang menuhankan dirinya dan menganggap yang lain sebagai bawahan, orang-orang yang suka bermuluk-muluk, berbombastis, juga orang-orang yang menganggap uang dan kekuasaan adalah tujuan dari segalanya.

Mandi Angin dalam teater tersebut juga menggambarkan kondisi terkini para pemimpin, birokrat, kaum borjouis, elite dan sejenisnya. 

Yang nampaknya sudah berangsur lupa terhadap tugas dan tanggung jawab yang sesuai dengan porsi, yang lupa bahwa kesetaraan kedudukan manusia di mata tuhan adalah sama, tidak dibandingkan atas strata sosial, finansial, jabatan, kedudukan maupun adikuasa. 

Bahkan untuk mencapai sebuah tujuan, pertemanan akan disingkirkan, egoisme diutamakan, tidak sedikit dari mereka akan saling membunuh satu sama lain.

Kehilangan mahkota dalam drama ini seakan mendeskripsikan hilangnya arah dan tujuan dari suatu bangsa, sebab pemimpinnya yang tidak lagi mengutamakan kejujuran, kebenaran.

Semua nilai-nilai keindahan dan cita tertinggi itu digantikan oleh tipu daya, kebohongan, dan iming-iming yang menyengsarakan rakyat. Bahkan untuk berpendapat pun dilarang, dikecam sebagai orang-orang rasialisme, pemberontak, penjahat. 

Padahal mengeluarkan pendapat merupakan hak setiap manusia, dan inilah ketakutan terbesar penguasa di suatu negeri, takut ketika rakyat berani untuk berbicara, leluasa meluapkan penderitaan, menuntut keadilan, melakukan perlawanan, tapi para penguasa tidak akan mengatasinya dengan kekerasan, melainkan dengan cara yang paling halus. Uang. Ada uang habis perkara, lainnya menjadi taklid buta.

Eksistensi buaian kaliang yang hanya bisa ditemukan di tanah Minang, adalah warna tersendiri yang menunjukkan bahwa hasil pemikiran yang dituangkan dalam bentuk drama, itu merupakan milik orisinil orang Minang. 

Buaian kaliang menjadi refleksi roda pemerintahan, yang berputar pada satu sumbu, merasakan angin ketika buaian itu diayunkan oleh para bawahan. Dan inilah makna "Mandi Angin" pergerakan para pemegang kekuasaan, yang merasa dirinya penguasa satu-satunya di dunia ini.

Di sinilah peranan ilmu estetika, karena berusaha untuk menilai, menafsirkan suatu objek dari sebuah karya seni. Penampilan teater drama "Mandi Angin" tidak semata-mata untuk dipertunjukkan di depan umum, agar menghibur. Tapi lebih dari itu, ada rupa lain yang bisa menginterprestasikan makna yang tak terlihat, namun bisa dirasakan oleh panca indera manusia. Sebab keindahan itu dengan sendirinya dapat kita rasakan, sekaligus kita nikmati. 

Meski kita bukanlah seorang seniman, tapi itu adalah manifestasi kita sebagai manusia yang memiliki pikiran, impresi untuk menilai dan memahami sebuah karya seni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun