Konsili Nicea (325) diadakan untuk menanggapi ajaran Arius, seorang pastor dari Gereja Alexandria, Mesir (319). Pastor Arius berupaya merasionalisasikan misteri Allah Tritunggal. Ia tidak meyakini bahwa Kristus, Sang Putra Allah berasal dari Allah Bapa dan sehakekat dengan Bapa. Oleh sebab itu, ia mengajarkan bahwa Yesus adalah ciptaan yang paling tinggi. Arius membuat tafsirannya sendiri terhadap Injil Yohanes 1:14 "Firman itu menjadi manusia...".
Ia menyimpulkan bahwa Firman hanya menjelma menjadi daging, sementara jiwanya tidak. Oleh sebab itu Arius meyakini bahwa Kristus adalah sungguh-sungguh ilahi, tetapi bukan sungguh-sungguh manusia, karena jiwanya bukan jiwa manusia. Ajaran serupa dapat ditemukan pada ajaran sesat Apollinaris (300-390).
Tentu saja ajaran tersebut bertentangan dengan ajaran para rasul yang diwariskan kepada Bapa-bapa Gereja yang Apostolik. Gereja Katolik yang merupakan warisan para rasul mengajarkan bahwa Yesus memiliki dua kodrat yakni kodrat ilahi dan kodrat manusia.
Baca juga: Benarkah 25 Desember Perayaan Pagan? Ini Penjelasannya
Santo (St) Alexander, Patriarkh Alexandria menanggapi ajaran pastor Arius karena masuk dalam wilayah keuskupannya. St. Alexander mengadakan Konsili Alexandria (sekitar 321) yang dihadiri kurang lebih 100 uskup yang berasal dari Mesir dan Libya. Konsili Alexandria mengecam ajaran Arius dan dinyatakan sesat.
Namun, pastor Arius mempunyai pendukung baik dari pemerintahan maupun dari pejabat Gereja. Dua orang pendukung pastor Arius dari pejabat Gereja adalah Eusebius, Uskup Kaisarea, dan Uskup Eusebius dari Nikomedia (pemimpin penganut Arianisme sekaligus pelindung Arius).
Karena pastor Arius telah diekskomunikasi oleh Konsili Alexandria, maka ia pergi ke Palestina dan Nikomedia. Oleh sebab itu, St. Alexander mengeluarkan surat Ensiklik (Epistola Encyclica). Ensiklik tersebut ditanggapi oleh Arius, sehingga menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat. Kegaduhan ini diperparah dengan pertikaian kaisar Konstantin dan Licinius (322-323).
Kaisar Konstantin sebagai penguasa menginginkan agar wilayah kekuasaannya damai. Oleh sebab itu, ia menulis surat untuk St. Aleksander dan Arius. Surat tersebut berisi tentang ajakan agar St. Alexander dan Arius secepatnya menyelesaikan masalah yang terjadi melalui Konsili Ekumenis.
Kemudian, Kaisar Konstantin juga menulis surat undangan untuk para uskup supaya menghadiri Konsili Nicea. Oleh sebab itu, sejumlah uskup dari Mesir, Persia, Asia, Syria, Yunani, Thrace dan lain sebagainya menghadiri Konsili yang diadakan di kota Nicea (Konsili Nicea). Konsili Nicea kemungkinan tidak hanya diprakarsai oleh Kaisar Konstantin melainkan oleh Paus Sylvester I. Hal itu dapat dibuktikan dengan jumlah uskup yang hadir dalam konsili.
Kanon 20 yang membahas tentang ketentuan Gerejawi menunjukkan bahwa Paus Sylvester I dan Kaisar Konstantin bertindak sebagai pemberi persetujuan diadakannya Konsili Nicea. Adapun Konsili Nicea dipimpin oleh Hosius dari Kordova, Vitus dan Vincentius (perwakilan Paus), Patriarkh (santo) Alexander dan Eustathius dari Antiokhia.
Kaisar Konstantin hanya bertindak sebagai tuan rumah di kota Nicea. Selain itu, Konsili Nicea dihadiri sekitar 300 orang uskup yang berusaha meluruskan ajaran Arius.[1]
Konsili Nicea mengecam ajaran Arius dan menegaskan Credo yang telah diwariskan oleh para rasul bahwa Kristus 'sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar'. Hampir semua uskup yang hadir setuju dengan penegasan credo tersebut.
Ada 17 orang uskup yang enggan bersuara dan 2 orang uskup yang menolak menandatangani teks Credo. Dua orang yang menolak menandatangani yakni Theonas dari Marmarica dan Secundus dari Ptolemais. Hasil Konsili Nicea yang ditetapkan mencakup pernyataan iman dari 318 uskup dan 20 kanon.
Berikut adalah pernyataan Iman yang diwariskan para rasul yang ditegaskan kembali dalam Konsili Nicea:
Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan; dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal, yang dari Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.
Ia dilahirkan bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa; segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, Ia turun dari surge dan menjelma menjadi manusia, menderita dan bangkit pada hari ketiga, Ia naik ke surga, Ia akan datang kembali untuk mengadili orang hidup dan yang mati. Dan [aku percaya akan] Roh Kudus.
Dan barangsiapa yang berkata bahwa ada waktunya ketika Putera Allah tidak ada, atau sebelum Ia lahir Ia tidak ada, atau Ia diciptakan dari benda-benda yang tadinya tidak ada, atau bahwa Ia berasal dari hakikat yang berbeda dengan Bapa, atau bahwa Ia adalah makhluk ciptaan, atau Ia dapat berubah atau bertobat-semua yang serupa itu, Gereja Katolik dan Apostolik meng-anathema mereka.[2]
Baca juga: Latar Belakang Konsili Nicea (325) Seri II
St. Athanasius dari Alexandria (296-373) (pembela ulung iman Gereja) menegaskan, 'kalau Kristus mempunyai awal mula, maka artinya ada saat bahwa Allah Bapa bukan Allah Bapa, dan di mana Allah Bapa tidak punya Sabda ataupun Kebijaksanaan....menurutnya, hal ini bertentangan dengan Wahyu Allah dan akal sehat. "Sebab jika Allah Bapa itu kekal, tak berawal dan tak berakhir maka Sabda-Nya dan Kebijaksanaan-Nya pasti juga kekal, tak berawal dan berakhir".[3]
Dengan demikian kita mengetahui bahwa Konsili Nicea diadakan karena latar belakang ajaran sesat Arius. Konsili itu diadakan untuk meluruskan ajaran Arianisme dan menegaskan iman Gereja yang telah diwariskan oleh para rasul.
Referensi:
Kristiyanto, Eddy. 2003. Visi Historis Komprehensif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H