Film Laskar Pelangi (2008) karya sutradara Riri Riza merupakan film hasil adaptasi dari karya novel dengan judul yang sama (Laskar pelangi) karya Andrea Hirata.
Film ini berhasil menempati urutan ke empat film terlaris sepanjang masa dengan penonton sebanyak 4,7 juta penonton.
Berkisah seputar kondisi suatu daerah yang jauh dari kehidupan modern dan mewah, serta perjuangan dalam hubungan persahabatan dalam mencapai mimpi.
Belitung yang menjadi latar belakang dalam film tersebut menambah kesan haru di tiap scene-nya, pasalnya Belitung sempat menjadi pulau terkaya di Indonesia justru jauh dari kehidupan yang layak.
Dibintangi beberapa sineas senior, seperti Cut Mini, Mathias Mucus, Slamet Rahardjo dll, tak kalah dari sineas senior, akting dari anak -- anak asli Belitung tampaknya patut diapresiasi.
Kegigihan dalam mengejar impian serta cita -- cita dalam tekad persahabatan dalam alur film ini patut diilhami, selain kisah kegigihan Bu Muslimah sebagai seorang Guru SD Muhammadiyah Gantong yang seharusnya patut kita sorot dan teladani.
"Nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan
sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah
darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di
daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda- beda" (Hans Kohn, 1948)
Film Laskar Pelangi mengajari kita mengenai rasa nasionalisme dari sudut pandang Bu Muslimah seorang guru serta Ikal dan kawan -- kawan sebagai murid.
Bu Muslimah Sang Suri Tauladan
'Tugas kita memanglah berat, tapi kita punya kewajiban memberi pendidikan pada anak -- anak yang tidak mampu ini'
Ia dikisahkan sebagai sosok yang tangguh dan perkasa, menjadi seorang guru di sebuah Sekolah Dasar dengan kondisi sekolah yang dapat dikatakan jauh dari kata layak.
Sepeda tua sebagai kendaraan sehari -- harinya dalam menjalankan tugas mulia sebagai saksi perjuangan dalam memberikan baktinya sebagai seorang guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tak hanya itu, tanpa pamrih, Bu Muslimah tak memikirkan besaran imbalan yang didapat sebagai seorang guru, hanya 15 kilogram beras yang Ia dapatkan sebagai balas jasa.
Tak sampai di situ, untuk menghidupi kebutuhan hidupnya serta adik -- adiknya, Ia harus menerima jahitan pakaian setelah seharian mengajar.
Sosoknya yang ikhlas dan penuh pengorbanan patut kita jadikan panutan, mengajarkan bahwa dedikasi dalam menjalankan sebuah profesi sebagai kunci.
Persahabatan dan Impian
Film Laskar Pelangi menceritakan kisah nyata perrsahabatan yang terjalin di SD Muhammdiyah Gantong Belitung, mereka adalah Ikal (Zulfanny), Mahar (Verry S Yamarno), Lintang (Ferdian), Kucai (Yogi Nugraha), Syahdan (M Syukur Ramadan), A Kiong (Suhendri), Borek (Febriansyah), Harun (Jeffry Yanuar), Trapani (Suharyadi Syah Ramadhan), dan Sahara (Dewi Ratih Ayu Safitri)
Masing -- masing dari mereka memiliki keunikannya masing -- masing serta pesan moral yang patut kita contoh sebagai generasi muda.
Lintang yang harus merelakan bangku sekolah karena harus bekerja menghidupi adik -- adiknya sepeninggal ayahnya.
Ikal dengan latar belakang ekonomi kurang mampu memiliki tekad serta cita -- cita untuk dapat melanjutkan kuliah di Perancis terus mengejar asa tersebut.
Meski berada di tengah keadaan yang serba pas -- pasan, baik di lingkungan keluarga serta lingkungan sekolah mereka sendiri, Ikal, Mahar dan Lintang mampu membuktikan bahwa faktor ekonomi bukanlah penghalang untuk meraih kesuksesan.
Hal tersebut dibuktikan dengan meraih juara dalam ajang cerdas cermat yang diikuti oleh sekolah -- sekolah bergengsi.
Dari Film ini kita kembali diingatkan mengenai kegigihan serta kerja keras, apapun kondisinya dengan keyakinan dan ketekunan, impian dan cita -- cita mudah untuk diraih.
Selain itu, film ini juga menjadi sindiran keras bagi kita yang hidup serba kecukupan dengan fasilitas yang mumpuni seharusnya bisa untuk meraih impian serta cita -- cita.
Kita sebagai generasi muda dapat menunjukkan rasa nasionalisme dengan cara meraih prestasi.
Hans Kohn. Nationalism Its Meaning and History, terj. Sumantri Mertodipuro, Nasionalisme arti dan sejarahnya (Cet, 4; Jakarta: Erlangga, 1984), h. 11
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H