Mohon tunggu...
Silvester Deniharsidi
Silvester Deniharsidi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tinggal di Labuan Bajo

Tertarik pada isu-isu sosial

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kapankah Budaya Demokrasi Terjadi di Indonesia?

28 Januari 2024   13:59 Diperbarui: 28 Januari 2024   14:00 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Silvester Deniharsidi

 

Dilihat dari fakta sejarah, demokrasi bukanlah konsep yang lahir di Indonesia. Konsep ini ada di Indonesia melalui proses yang sangat panjang dan sulit, yang awalnya dijadikan sebagai alat perjuangan kemudian dimasukan ke dalam sistem tata kelolala kenegaraan. Apa dampkanya? Dampaknya, demokrasi itu membutuhkan proses pengenalan, pemahaman dan pembelajaran.

Indonesia baru benar-benar mengenal demokrasi pasca Reformasi tahun 1998. Itu artinya, Indonesia belajar berdemokrasi baru berusia dua puluh lima tahun. Dalam masa perjalanan demokrasi selama dua puluh lima tahun itu, dapat dikatakan, generasi yang lahir pada tahun 1998, paska reformasi adalah anak-anak yang lahir di jaman demokrasi, yang sejak mereka lahir, lingkungan di sekitarnya sudah mondar-mandir nilai-nilai demokrasi. Itulah yang dapat disebut "anak generasi demokrasi".

Sama seperti ketika kta saat ini memberi nama "anak milenial" yang mengacu pada generasi yang lahir pada rentang waktu tertentu, yaitu sekitar awal 1980-an hingga pertengahan atau akhir 1990-an hingga awal 2000-an. 

Beberapa definisi menyatakan bahwa kelompok ini mencakup individu yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996 atau sekitar tahun 2000. Milenial adalah generasi yang tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi informasi dan internet. Mereka menjadi generasi pertama yang secara luas menggunakan komputer, internet, dan teknologi digital sejak usia dini.

"Anak generasi demokrasi" saat ini baru berusia dua puluh lima tahun. Mereka juga memiliki nilai lebih karena masuk juga dalam kategori anak milenal. Jadi dalam konteks demokrasi, anak milenial itu dapat dibagi dalam dua kelompok yakni anak milenial pra reoformasi dan anak milenial pasca reformasi. Dalam tulisan ini saya hanya memperhatikan anak generasi demokrasi sekaligus anak milenal" untuk mengukur rentangan waktu ke depan dalam membangun budaya demokrasi.

Pendidikan demokrasi anak generasi demokrasi oleh generasi pra demokrasi

Mereka yang lahir pada pasca reformasi sekaligus anak milenial ini, masih dididik dalam tradisi keluarga yang pra-reformasi. Sehingga inilah generasi demokrasi yang masih berada dalam masa transisi. Merekalah generasi yang bergulat diantara pengalamannya mereka sendiri secara langsung dan hasil didikan yang mereka dapatkan dari keluarga.

Keluarga pra reformasi adalah keluarga yang pernah hidup atau mengalami masa kurang terlibat dalam proses demokrasi. Tetapi mereka sedang berjuang dapat mengalami transisi nilai menuju nilai-nilai partisipasi yang lebih tinggi. Dalam kondisi seperti itu, masih ada pandangan yang membelenggu anak-anak yang lahir pasca reformasi. Orang-orang dewasa pra reformasi masih sedikit menggunakan kekuatan; menahan, menarik dan membatasi mereka dalam berpartisipasi secara politik.

Misalkan saja, seorang anak generasi demokrasi yang sudah berusia enam tahun, dimana ingatan anak semakin berkembang dengan baik. Mereka dapat mengingat informasi yang dipelajari di sekolah, memahami konsep-konsep abstrak, dan mengingat peristiwa yang lebih kompleks. Ingatan mereka juga semakin terkait dengan pengembangan keterampilan kognitif seperti pemecahan masalah dan pemikiran kritis.

Ketika anak generasi demokrasi ini mengungkapkan pendapatnya kepada orangtuanya yang pra demokrasi, masih mengalami sedikit tantangan. Orangtua pra demokrasi, masih mengajarkan anak generasi demokrasi itu, untuk tidak boleh berbicara lantang atau mengkritis kepada orang yang lebih tua. Masih ada nasehat untuk mengungkapkan pendapat dengan melihat umur dan kedudukan dengan siapa kita bicara.

Terkadang, orangtua pra demokrasi masih terbelenggu dengan tradisi lamanya ketika menghadapi anak generasi demokrasi yang sudah hidup dengan tradisi barunya. Pendidikan etika dalam keluarga adalah hal yang sangat penting, tetapi jika tidak ditempatkan dalam kondisi yang sesuai dengan konteksnya, pendidikan etika itu, secara tidak sadar malah membuat pertentangan dengan konteks yang dihadapi.

Nasehat untuk tidak boleh mengkritisi apalagi menentang pendapat seseorang karena faktor usia adalah contoh pengajaran etika yang sedikit kurang cocok, khususnya dalam aspek mengungkapkan pendapat. Berbeda dengan anak generasi demokrasi yang menganggap, mengungkapkan pendapat itu sudah menjadi haknya termasuk mengkritisi bahkan berbeda pendapat sekali pun.

Dalam hal-hal tertentu, etika memberi rasa hormat dan menghargai pendapat diajarkan oleh orantua pra demokrasi, dengan menghalangi sikap kritis anak generasi demokrasi, yang kemudian dipandang sebagai larangan untuk mengungkapkan pendapat. Bahkan anak generai demokrasi, dalam berdemokrasi, masih mengalami agar mengikuti garis pilihan orantuanya atau orang dewasa yang ada di sekitarnya. Anak generasi demokrai yang ada saat ini, yang baru berusia dua puluh lima tahun, masih hidup dalam transisi seperti itu. Mereka masih menghadapi banyak rintangan.

Anak-anak generasi demokrasi saat ini, walaupun mereka belum duduk di dalam sistem berdemokrasi seperti bergabung di dalam partai politik atau menduduki jabatan tertentu, tetapi mereka sudah mulai mengalami hidup dalam ruang lingkung demokrasi sejak mereka lahir, yang akan berpengaruh besar dalam membentuk karakter mereka, walaupun pada sisi yang lain, mereka masih mengalami berbagai hambatan dan tantangan.

Kompisis pra dan pasca eformasi dalam sistem kekuasaan demokrasi saat ini 

Kalau kita mengamati dalam konteks yang lebih luas, dalam demokrasi di Indonesia, komposisi pra dan pasca reformasi ini masih sangat jelas terlihat. Elit-elit politik kita yang duduk di institusi demokrasi; partai politik dan kekuasaan masih didominasi oleh orang-orang pra demokrasi.

Lihat saja, pengurus elit partai politik masih didominasi oleh orang lama yang pernah hidup di jaman kurangnya berpartisipasi dalam politik. Mereka ini memiliki dua karakter yakni yang dulunya menolak perubahan atau mempertahankan status quo dan yang menghendaki adanya perubahan atau yang mendukung reformasi menuju demokrasi.

Tetapi perbedaan itu sekarang sudah tidak jelas. Ketika kedua karakter ini dihadapkan pada kekuasaan, baik orang yang mendukung status quo maupun yang mendukung perubahan karakternya hampir sama yakni mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan selalu membuat seseorang untuk mempertahankannya karena orang takut akan kehilangan keuntungannya.

Contoh yang terlihat adalah kepemimpinan dalam partai politik. Masih banyak pemimpin partai politik yang dipimpin oleh orang-orang itu saja, yang sudah beberapa periode mengendalikan partai tersebut. Padahal mereka dulu berjuang untuk melakukan regenerasi kepemimpinan. Kalau orang itu konsisten dalam memperjuang regenerasi kepemimpinan, maka perubahan itu harus terjadi mulai dari partai.

Mengapa harus mulai dari partai? Regenerasi kekuasaan merujuk pada proses pergantian generasi pemimpin atau kekuasaan politik dalam suatu negara atau organisasi. Partai politik memainkan peran kunci dalam regenerasi kekuasaan melalui berbagai cara, termasuk: seleksi kandidat, pelatihan dan pengembangan kader, penetapan kebijakan partai, pemberian kesempatan kepada generasi muda, transparansi, dan mendorong sistem inklusivitas.

Partai di era demokrasi, tetapi tidak terjadinya regenerasi kepemimpinan menunjukan partai tersebut masih berada dalam belenggu feodalisme dan ketergantungan. Boleh dikatakan, keluar mereka mendorong terjadinya regenerasi kepemimpinan tetapi ke dalam mereka mempertahankan feodalisme.

Apa yang terjadi dalam kondisi seperti itu?  Sistem feodalisme adalah sistem sosial, ekonomi, dan politik yang mendominasi. Ketika system ini dihubungkan dalam partai politik, maka anggota partai terorganisir secara hierarkis, dengan seorang penguasa atau pemimpin di puncak hierarki yang memiliki kekuasaan yang luas. Sistem ini melibatkan hubungan timbal balik antara penguasa dan pelayan. Hubungan keorganisasian tidak lagi tunduk pada aturan main dalam partai politik, tetapi ditentukan oleh penguasa Tunggal partai.

Partai yang terstruktur secara hierarkis dengan penguasa tunggal di atas, diikuti oleh pengurus lainnya. Dinamika internal partai dipengaruhi oleh kedudukan mereka dalam kepengurusan partai. Orang-orang yang duduk dalam kepengurusan partai adalah orang-orang yang tunduk dan taat kepada pemimpin partai.  Hubungan mereka sangat bergantung pada kedekatan-kedekatan khusus, bukan lagi pada kualitas pengkaderan internal partai itu sendiri.

Kalau induk semangnya sudah seperti itu, maka janganlah heran ketika demokrasi itu bergutat pada pertarungan individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu. Menurut penulis, demokrasi yang kita jalankan saat ini, masih didominasi oleh "apa kata ibu apa kata bapak". Sehingga penghambat terbesar dalam membudayakan demokrasi ada dalam partai politik itu sendiri. Keterlibatan dalam demokrasi, mulai dari mengusung calon pemimpin hanyalah perpanjangan tangan untuk mendapatkan kekuasaan, yang kemudian akan mendapatkan keuntungan baik secara social, politik dan ekonomi.

Janganlah heran pula, itu jugalah yang membuat maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh elit-elit partai politik yang duduk dalam kekuasaan. Menempatkan elit partai dalam elit kekuasaan hanyalah sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan ke dalam partai. Pejabat kekuasaan negara yang datang dari partai politik harus melayani si penguasa tunggal partai.

Kapankah budaya demokrasi itu akan terjadi di Indonesia?

Menurut penulis, budaya demokrasi di Indonesia itu baru akan terjadi pada tiga puluh tahun mendatang yakni kurang lebih pada tahun 2050an ke atas. Mengapa demikian? Penulis menganalisisnya dari kondisi komposisi warga negara dalam pra dan pasca demokrasi.

Jadi budaya demokrasi akan lahir pada generasi yang lahir dari anak generasi demokrasi itu sendiri. Artinya, anak generasai demokrasi yang lahir pasca Mei 1998 yang sekarang berusia dua puluh lima tahun, dari anak-anak merekalah yang akan benar-benar membudayakan demokrasi di Indonesia.

Anak generasi demokrasi saat ini, sedang membangun keluarganya, mencari pekerjaan dan mulai pelan-pelan masuk ke dalam kekuasaan atau paling tidak memahami politik kekuasaan di dalam kehidupan bernegaranya. Anak generasi demokrasi saat ini masih masuk dalam tahap mengenal, memahami dan mulai mengajarkan demokrasi. Mereka belajar dalam sutau tahapan transisi nilai demokrasi.

Istilah "transisi nilai demokrasi" dapat merujuk pada perubahan atau evolusi dalam nilai-nilai yang mendasari sistem demokrasi suatu negara. Transisi nilai demokrasi sering kali terjadi sebagai respons terhadap perubahan sosial, ekonomi, politik, atau budaya dalam masyarakat.

Anak generasi demokrasi saat ini sedang bergutat dengan transisi nilai demokrasi yakni; pertama nilai partisipasi dan keterlibatan masyarakat. Generasi yang awalnya kurang terlibat dalam proses demokrasi dapat mengalami transisi nilai menuju nilai-nilai partisipasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat tercermin dalam meningkatnya partisipasi pemilih, keterlibatan warga dalam kegiatan politik, dan tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas pemerintah.

Kedua, nilai kehormatan hak asasi manusi. Transisi nilai demokrasi dapat mencakup peningkatan kehormatan terhadap hak asasi manusia. Masyarakat yang semakin sadar akan hak-hak individu dan kelompok, serta yang menuntut perlakuan yang adil dan setara, dapat menciptakan perubahan nilai dalam sistem demokrasi.

Ketiga, nilai keadilan sosial. Adanya transisi nilai yang menekankan keadilan sosial dapat tercermin dalam dukungan untuk kebijakan yang mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta upaya untuk memberikan hak dan peluang yang setara bagi semua lapisan masyarakat.

Keempat, nilai pluralisme dan toleransi. Transisi nilai demokrasi bisa melibatkan peningkatan kesadaran akan pentingnya pluralisme dan toleransi. Nilai-nilai ini mencakup penghargaan terhadap keberagaman budaya, agama, dan pandangan politik, serta penolakan terhadap diskriminasi dan intoleransi.

Kelima, nilai pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Masyarakat yang semakin menuntut transparansi, akuntabilitas, dan pemerintahan yang bersih dapat menyebabkan transisi nilai dalam sistem demokrasi. Nilai-nilai ini mencerminkan harapan terhadap pelayanan publik yang efisien, bebas korupsi, dan bertanggung jawab kepada rakyat.

Keenam, nilai dialog dan konsensus. Transisi nilai demokrasi juga dapat melibatkan perubahan dalam pendekatan terhadap konflik politik. Nilai-nilai dialog, konsensus, dan kerjasama antara berbagai pihak dapat menjadi lebih dihargai sebagai bagian dari budaya politik.

Nilai ketujuh, hak untuk berkembang dan mengemukakan Pendapat. Masyarakat yang menghargai nilai hak untuk berkembang dan mengemukakan pendapat menciptakan suasana di mana kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi diakui dan dihormati.

Nilai-nilai ini mencerminkan evolusi dan perubahan dalam persepsi dan harapan masyarakat terhadap sistem demokrasi yang mereka anut.

Budaya demokrasi pada generasi selanjutnya

Budaya demokrasi merujuk pada sistem nilai, norma, dan perilaku yang mendukung dan memperkuat praktik-praktik demokratis dalam suatu masyarakat. Ini melibatkan cara pandang, sikap, dan keterlibatan warga negara terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi. Budaya demokrasi memainkan peran penting dalam mendukung kesehatan dan keberlanjutan sistem demokrasi. Semakin kuat budaya demokrasi di suatu masyarakat, semakin besar kemungkinan sistem demokrasi tersebut berkembang dan bertahan.

Beberapa elemen utama dari budaya demokrasi melibatkan. Pertama, partisipasi warga negara: Budaya demokrasi menghargai partisipasi aktif warga negara dalam proses politik. Ini mencakup hak untuk memilih, berpartisipasi dalam pemilihan, dan terlibat dalam kegiatan politik dan sipil lainnya.

Kedua, kebebasan berpendapat dan menyampaikan pendapat. Budaya demokrasi mendukung kebebasan berpendapat dan menyampaikan pendapat. Warga negara diharapkan dapat menyuarakan pandangan mereka tanpa takut represi, dan keberagaman pendapat dihargai sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan.

Ketiga, hak asasi manusia. Budaya demokrasi mencakup penghargaan terhadap hak asasi manusia. Ini melibatkan perlindungan hak individu, kesetaraan di hadapan hukum, dan penolakan terhadap diskriminasi. Keempat keadilan sosial. Budaya demokrasi juga menekankan pentingnya keadilan sosial. Ini mencakup kebijakan dan praktik yang bertujuan mengurangi ketidaksetaraan dan memastikan bahwa semua warga negara memiliki akses yang adil terhadap sumber daya dan peluang.

Kelima, pertanggungjawaban dan transparansi. Budaya demokrasi menekankan pertanggungjawaban pemerintah dan lembaga-lembaga publik. Transparansi dalam pengambilan keputusan dan tindakan pemerintah dianggap sebagai aspek penting dalam budaya demokrasi. Keenam, hormat terhadap Hukum. Dalam budaya demokrasi, hukum dianggap sebagai panglima tertinggi, dan semua warga negara diharapkan untuk tunduk pada hukum. Penghargaan terhadap aturan hukum adalah aspek fundamental dalam masyarakat demokratis.

Ketujuh, hormat terhadap hak minoritas. Budaya demokrasi tidak hanya mencakup perlindungan hak mayoritas, tetapi juga menghargai hak minoritas. Hak-hak dan pandangan minoritas dianggap penting dan harus dihormati. Kedelapan, pendidikan politik. Budaya demokrasi mendorong pendidikan politik. Warga negara diharapkan untuk memahami sistem politik mereka, isu-isu yang memengaruhi mereka, dan bagaimana mereka dapat berpartisipasi dalam proses politik. Kesembilan, rasa kewarganegaraan. Budaya demokrasi melibatkan pembentukan rasa kewarganegaraan yang kuat di antara warga negara. Ini mencakup tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama, pembangunan masyarakat, dan partisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat.

Apakah sekarang kesembilan nilai-nilai itu tidak ada? Pada generasi sekarang, kesembilan nilai itu sudah ada dan sudah mulai diterapkan. Tetapi sifatnya masih dalam kerangka formalistik bukan dalam kerangka berbudi daya dalam akal atau belum menjadi budaya. "Budaya" merujuk pada keseluruhan sistem nilai, kepercayaan, norma, adat istiadat, bahasa, seni, ilmu pengetahuan, teknologi, dan perilaku yang dimiliki dan diwariskan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam suatu wilayah atau waktu tertentu. Budaya mencakup segala aspek kehidupan manusia dan mencerminkan cara orang tersebut memandang dunia, berinteraksi satu sama lain, dan mengembangkan identitas kolektif.

Anak generasi demokrasi yang berusia dua puluh lima tahun (yang lahir sejak Mei 1998) itulah yang akan mewariskan nilai-nilai demokrasi kepada anak generasi yang lahir kemudian. Kalau kita mengatakan, buah jatuh tidak jauh dari pohon, yang dianalogikan dengan anak tidak jauh dari karakter orangtuanya, maka anak generasi demokrasi pasca reformasilah yang benar-benar anak generasi demokrasi, dengan demikian, anak merekalah nantinya yang benar-benar sebagai generasi demokrasi yang sesungguhnya.

Ini akan terjadi kalau diasumsikan dengan kondisi; pertama negara yang namaya Indonesia itu masih ada. Kalau negara itu sudah tidak ada, maka generasi emas, anak generasi demokrasi dengan budaya demokrasi tidak akan terlihat. Kedua, demokrasi masih eksis sebagai sistem bernegara. Ketika negara pada generasi sekarang dan yang akan datang masih mempertahankan demokrasi sebagai sistem, maka generasi sekarang nantinya akan melihat anak generasi demokrasi dengan budaya demokrasi di kemudian hari. Tetapi jika demokrasi tidak lagi menjadi sebuah sistem, karena adanya dinamika lain, lahirnya otoritarian baru, negara berdasarkan pada negara agama, dan lain-lain yang bertentangan dengan demokrasi, maka kondisi itu tidak memungkinkan budaya demokrasi itu aka nada.

Maka menurut penulis, tugas dan tanggung jawab utama, generasi sekarang, baik yang lahir pra dan pasca demokrasi mempertahankan agar demokrasi tetap menjadi sistem dalam politik bernegara. Kegagalan generasi saat ini, akan menghancurkan generasi yang akan datang. Demokrasi yang dijalan saat ini, seperti apapun dinamikanya, semuanya adalah sebagai proses pembelajarang dalan; mengenal, memahami yang kemudian akan diwarikan kepada generasi selanjutnya. Generasi selanjutnya itulah yang akan menjadi demokrasi sebagai sebuah nilai dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Tulisan ini sifatnya hanya mendiagnosa demokrasi. Sangat terbuka untuk mendapaktan kritikan sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun