Lamunannya melayang juga kepada satu penolakan dari tetangganya yang kaya, yang didengarnya suka memberikan pinjaman kepada warga di sekitarnya.Â
Apa ? Kau mau meminjam uang, sepuluh juta, untuk mengobati anakmu, lalu jaminannya ngga ada? Lalu kamu mau mbayarnya pake apa kata bu warti. Sudah pergi sana, disini bukan pantai sosial katanya lagi. Bu warti tak bergeming, meski air mata rahma dan suaminya sudah tumpah di rumah itu ...
Bercerai kita runtuh, bercerai kita ... Kawin lagi, canda bupati, disambut tawa semua hadirin di acara itu, kecuali rahma. Bupati menutup pidatonya dan duduk kembali ke kursinya.Â
Rahma berjalan pelan, berdesak desakan menuju tempat duduk bupati itu. Aku harus bertemu gumamnya.Â
Doa penutup itu adalah kesempatan bagi rahma bergerak leluasa, maafkan aku Tuhan, aku tidak ikut berdoa, kata rahma dalam hatinya. Dia terus berjalan menuju tenda, yang diduduki oleh pejabat dan orang penting se kabupaten.
Jantung rahma berdegub kencang, debar debar tak menentu, dia takut tak akan sempat bertemu, dia ragu, terus melangkah atau berhenti?. Ketika acara ditutup, semua yang hadir berdesak desakan, berebutan untuk berjabat tangan,Â
Mendadak,Â
Bu ... Sakit buu... Amri capek bu ... Mendengung keras di telinga rahmaÂ
Rahma berjuang menerobos kumpulan orang yang ada, ketika dia sudah mendekat, sang bupati rupanya sudah berjalan menuju mobil dinas,Â
Rahma panik, tak terasa air matanya mengucur deras dengan berlari dan ketika dia sampai didepan bupati muda itu, entah setan apa yang membuatnya begitu berani memeluk bupati itu, dengan air mata yang semakin deras mengucur sampai membasahi bajunya, dia menangis, dia berteriak menumpahkan semua keluhannya ...Â
Yach beberapa orang yang berada di dekat beliau, berusaha memisahkannya, tapi bupati itu memberi kode untuk membiarkan ibu muda, dengan kerut wajah yang terlihat jelas serta uban tak beraturan memenuhi kepalanya.Â