Mohon tunggu...
Silvany Dianita
Silvany Dianita Mohon Tunggu... Psikolog - I'm a Adult Clinical Psychologist

When you care for yourself first, the world will also find your worthy of care.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Dampak Kemajuan Teknologi pada Era Digital: Apa yang Harus Kita Waspadai terhadap Kesehatan Mental Anak?

16 Januari 2025   08:30 Diperbarui: 17 Januari 2025   07:56 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Artikel : Sumber: canva.com

Pada era digital yang serba cepat ini, teknologi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi anak-anak yang tumbuh di tengah kemajuan perangkat modern. Smartphone, tablet, dan komputer tidak hanya menjadi alat untuk hiburan, tetapi juga menawarkan berbagai kemudahan dalam proses belajar dan komunikasi.

Di satu sisi, teknologi memberikan berbagai manfaat yang tidak dapat disangkal, seperti kemudahan akses informasi secara instan, sarana belajar interaktif yang dapat memacu kreativitas, menikmati konten edukatif yang menarik, serta ragam hiburan yang mendidik dan menghibur.

Teknologi juga memungkinkan anak-anak menjelajahi dunia tanpa batas, mempelajari keterampilan baru, dan bahkan memperluas lingkaran sosial mereka melalui platform digital.

Namun, di balik segala manfaat tersebut, terdapat tantangan yang tidak dapat diabaikan, khususnya terkait kesehatan mental anak. Orang tua perlu memahami potensi risiko yang muncul dan mengambil langkah proaktif untuk melindungi kesejahteraan psikologis anak mereka.

Apa yang dimaksud dengan kesehatan mental dan Perkembangan Data Kesehatan Mental Terhadap Anak

Menurut World Health Organization (WHO, 2018), kesehatan mental didefinisikan sebagai kondisi kesejahteraan di mana individu mampu menyadari potensi diri mereka, menghadapi tekanan hidup sehari-hari, bekerja secara produktif, dan berkontribusi kepada komunitasnya.

Kesehatan mental yang baik tidak hanya mencakup ketiadaan gangguan psikologis, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk mengelola emosi, membangun hubungan interpersonal yang sehat, serta beradaptasi dengan perubahan dan tantangan. Pada anak-anak, kesehatan mental yang optimal menjadi landasan penting bagi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial mereka.

Sementara, Goleman (1995), dalam bukunya Emotional Intelligence, menguraikan bahwa kesehatan mental mencakup lima dimensi utama kecerdasan emosional: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, memahami emosi orang lain (empati), dan membangun hubungan sosial yang positif. Keseimbangan emosi ini berperan penting dalam membentuk resiliensi, yakni kemampuan untuk bangkit dari kesulitan dan menghadapi tantangan hidup dengan sikap yang sehat.

Bagi anak-anak, resiliensi adalah keterampilan yang membantu mereka mengelola stres, beradaptasi dengan perubahan, dan tetap optimis meskipun menghadapi kegagalan atau konflik.

Di era digital, tantangan terhadap kesehatan mental semakin kompleks. Teknologi yang seharusnya mempermudah interaksi justru sering kali mengurangi kualitas hubungan sosial.

Anak-anak yang menghabiskan waktu lebih banyak di dunia digital cenderung memiliki interaksi langsung yang lebih sedikit dengan teman sebaya atau keluarga, yang berpotensi melemahkan kemampuan mereka dalam memahami emosi orang lain.

Penelitian oleh Uhls et al. (2014) menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih sering terpapar layar memiliki kemampuan empati yang lebih rendah dibandingkan mereka yang lebih banyak berinteraksi secara langsung.

Data dari Pew Research Center (2019) menunjukkan bahwa 59% remaja merasa terganggu oleh tekanan untuk selalu terhubung melalui media sosial. Laporan dari Common Sense Media (2021) juga mencatat bahwa rata-rata anak menghabiskan lebih dari tujuh jam sehari di depan layar, jauh melampaui rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) yang menyarankan maksimal dua jam untuk anak usia sekolah.

Penelitian lain oleh Twenge dan Campbell (2018) menemukan bahwa peningkatan penggunaan teknologi berkorelasi dengan meningkatnya tingkat kecemasan dan depresi pada anak-anak dan remaja. Bahkan, WHO (2019) menyebutkan bahwa satu dari lima anak di dunia mengalami gangguan kesehatan mental, yang sebagian besar dipengaruhi oleh gaya hidup digital yang tidak seimbang.

Selain itu, dunia digital juga memperbesar risiko tekanan emosional seperti cyberbullying, perbandingan sosial, dan kecemasan. Menurut laporan Common Sense Media (2021), sekitar 37% anak-anak dan remaja melaporkan pernah menjadi korban cyberbullying, yang sering kali berdampak pada menurunnya rasa percaya diri dan meningkatnya kecemasan atau depresi.

Fenomena perbandingan sosial juga semakin meningkat akibat media sosial, di mana anak-anak terus-menerus dihadapkan pada kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Hal ini, sebagaimana diungkapkan oleh Twenge dan Campbell (2018), dapat menciptakan tekanan psikologis yang merusak citra diri mereka.

Kesehatan mental yang baik juga penting untuk mendukung perkembangan keterampilan kognitif. Menurut Greenfield (2009), penggunaan teknologi yang berlebihan dapat mengganggu fungsi otak yang berkaitan dengan perhatian, konsentrasi, dan kemampuan berpikir kritis. Anak-anak yang terus-menerus terpapar stimulus digital cenderung memiliki rentang perhatian yang lebih pendek dan mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara mendalam, yang pada akhirnya dapat memengaruhi prestasi akademik mereka.

Dampak Jangka Panjang Teknologi Digital Bagi Anak

Dampak negatif dari penggunaan teknologi yang tidak terkendali dapat bertahan hingga dewasa. Anak yang kurang mendapatkan interaksi langsung dengan orang lain karena terlalu sering bermain dengan gadget berisiko mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal.

Selain itu, paparan konten kekerasan atau negatif secara terus-menerus dapat membentuk pola pikir yang cenderung agresif atau apatis. Dampak jangka panjang lainnya meliputi penurunan kemampuan berpikir kritis dan pengambilan keputusan, yang seharusnya dikembangkan melalui aktivitas bermain langsung dan eksplorasi dunia nyata.

Selain itu, paparan konten yang tidak sesuai, seperti kekerasan, ujaran kebencian, atau perilaku negatif, dapat memengaruhi cara berpikir mereka. Anak yang terus-menerus terpapar konten semacam ini berisiko mengembangkan pola pikir agresif, kurang empati, atau bahkan menjadi apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Dampak ini semakin diperparah jika anak tidak diberikan panduan atau penjelasan yang memadai dari orang tua atau pendidik.

Lebih jauh lagi, ketergantungan pada teknologi dapat mengurangi kesempatan anak untuk terlibat dalam aktivitas yang merangsang perkembangan kognitif, seperti bermain di luar, menyelesaikan teka-teki, atau bereksperimen dengan dunia nyata.

Akibatnya, kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan pemecahan masalah yang seharusnya terbentuk melalui eksplorasi langsung menjadi terhambat. Padahal, keterampilan ini sangat penting untuk menghadapi tantangan kompleks di kehidupan dewasa mereka.

Jika tidak diatasi, dampak jangka panjang dari kebiasaan ini dapat mencakup penurunan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri, kurangnya rasa tanggung jawab, serta kesulitan beradaptasi dengan situasi yang membutuhkan interaksi sosial intensif. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menciptakan keseimbangan antara penggunaan teknologi dan kegiatan yang melibatkan interaksi sosial dan eksplorasi fisik, sehingga anak dapat tumbuh dengan kemampuan sosial dan kognitif yang optimal.

Strategi Utama yang Bisa Orang Tua Terapkan Agar Teknologi Tidak Mengganggu Kesehatan Mental Anak

Orang tua memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa anak-anak memanfaatkan teknologi secara sehat tanpa mengorbankan kesejahteraan emosional dan sosial mereka. Berikut adalah beberapa strategi utama yang dapat diterapkan orang tua untuk mengelola penggunaan teknologi anak dengan baik.

1.  Tetapkan waktu penggunaan  waktu layar pada gadget yang jelas

Menetapkan batasan waktu layar adalah langkah pertama yang sangat penting untuk melindungi kesehatan mental dan perkembangan anak. World Health Organization (WHO) dan American Academy of Pediatrics (AAP) menekankan bahwa anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya tidak diperkenalkan dengan gadget atau media elektronik. Pada usia ini, otak anak berkembang sangat pesat, dan stimulasi yang ideal seharusnya berasal dari interaksi langsung dengan orang tua, bermain fisik, dan eksplorasi lingkungan sekitar. Para ahli sepakat bahwa mengenalkan media elektronik sebaiknya dilakukan setelah anak memasuki usia prasekolah, yaitu sekitar usia 3 tahun ke atas, dan itu pun dengan pengawasan ketat.

Untuk anak usia sekolah, AAP merekomendasikan waktu layar maksimal dua jam per hari di luar keperluan akademis. Batasan ini dirancang untuk memastikan anak memiliki waktu yang cukup untuk aktivitas penting lainnya, seperti bermain di luar ruangan, membaca, berinteraksi dengan keluarga, dan beristirahat. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan di depan layar tidak hanya berisiko mengganggu pola tidur dan menurunkan kualitas interaksi sosial, tetapi juga dapat memengaruhi kemampuan anak dalam berpikir kritis dan memecahkan masalah. Orang tua dapat mengelola waktu layar dengan membuat jadwal harian yang seimbang. Misalnya, waktu pagi hingga siang dapat dialokasikan untuk aktivitas belajar, sementara sore hari diisi dengan permainan fisik atau kegiatan kreatif seperti melukis dan bermain musik. Waktu layar dapat diberikan sebagai hiburan di sore atau malam hari, tetapi harus tetap diawasi dan tidak mendekati waktu tidur. Selain itu, orang tua juga dapat menggunakan metode seperti timer atau aplikasi pengatur waktu untuk membantu anak memahami batasan yang telah disepakati.

Batasan ini tidak hanya bermanfaat untuk menjaga kesehatan fisik, seperti mengurangi risiko obesitas akibat gaya hidup, tetapi juga melindungi kesejahteraan emosional anak. Anak yang memiliki waktu layar terkontrol lebih cenderung memiliki kemampuan fokus yang lebih baik, tidur yang lebih berkualitas, serta keterampilan sosial yang lebih berkembang karena mereka memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi dengan lingkungan nyata. Yang terpenting, penerapan batasan waktu layar harus disertai dengan penjelasan kepada anak tentang mengapa hal ini penting. Dengan memberikan pemahaman yang jelas, anak akan lebih mungkin mematuhi aturan tanpa merasa tertekan. Orang tua juga sebaiknya memberikan contoh dengan membatasi penggunaan gadget mereka sendiri, sehingga anak dapat melihat bahwa aturan tersebut diterapkan secara konsisten di seluruh anggota keluarga.

2.  Ciptakan Zona Bebas Teknologi di Rumah

Menerapkan aturan zona bebas teknologi, seperti di ruang makan atau kamar tidur, dapat membantu anak membangun kebiasaan yang sehat. Misalnya, larangan membawa gadget saat makan bersama dapat menciptakan waktu berkualitas untuk berbicara dan memperkuat hubungan keluarga. Demikian pula, menghindari penggunaan perangkat sebelum tidur membantu anak mendapatkan waktu istirahat yang cukup dan berkualitas, yang sangat penting untuk kesehatan mental dan fisik mereka.

3. Pilih Konten yang Sesuai dan Edukatif


Tidak semua konten digital buruk,  banyak aplikasi, video, dan permainan yang dirancang untuk mendukung pembelajaran dan pengembangan keterampilan anak. Orang tua perlu aktif dalam memilih dan mengawasi konten yang dikonsumsi anak. Pastikan konten tersebut sesuai dengan usia, mendidik, dan mengandung nilai-nilai positif. Dengan cara ini, teknologi dapat menjadi alat pembelajaran yang bermanfaat, bukan sekadar hiburan tanpa tujuan.

4. Dorong Aktivitas di Luar Ruangan dan Sosial

Untuk menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata, ajak anak untuk melakukan aktivitas fisik di luar ruangan, seperti bersepeda, bermain di taman, atau berolahraga bersama. Selain itu, mendorong mereka untuk mengikuti kegiatan kelompok seperti seni, musik, atau komunitas hobi dapat membantu mereka mengembangkan keterampilan sosial dan membangun rasa percaya diri. Aktivitas ini juga membantu mengurangi ketergantungan pada teknologi.

5. Ajarkan Literasi Digital dan Kesadaran Diri

Anak-anak perlu diajarkan untuk menggunakan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab. Literasi digital mencakup pemahaman tentang dampak media sosial, cara melindungi privasi, serta bagaimana menghadapi cyberbullying. Selain itu, ajarkan anak untuk mengenali tanda-tanda jika mereka mulai merasa cemas atau stres akibat penggunaan teknologi, seperti merasa lelah, gelisah, atau membandingkan diri dengan orang lain. Dengan meningkatkan kesadaran diri, anak-anak akan lebih mampu mengatur waktu dan emosi mereka saat menggunakan perangkat digital.

6. Jadilah Teladan yang Baik

Anak-anak cenderung meniru perilaku orang tua mereka. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk menunjukkan penggunaan teknologi yang sehat. Batasi penggunaan gadget di depan anak dan prioritaskan waktu untuk berinteraksi secara langsung. Dengan menjadi panutan, orang tua dapat mengajarkan anak bahwa hubungan interpersonal lebih penting daripada interaksi digital.

7. Bangun Komunikasi yang Terbuka dan Empatik

Ciptakan lingkungan di mana anak merasa nyaman berbicara tentang pengalaman mereka dengan teknologi, baik itu hal positif maupun masalah yang mereka hadapi, seperti cyberbullying atau tekanan dari media sosial. Dengarkan mereka dengan empati dan berikan bimbingan yang sesuai. Komunikasi yang terbuka membantu anak merasa didukung dan memperkuat ikatan emosional antara orang tua dan anak.

8. Libatkan Anak dalam Membuat Aturan Teknologi

Libatkan anak dalam proses menentukan aturan penggunaan teknologi di rumah. Dengan cara ini, anak akan merasa lebih dihargai dan cenderung lebih mematuhi aturan tersebut. Diskusikan bersama manfaat dan risiko teknologi, sehingga mereka memahami alasan di balik pembatasan waktu layar atau pemilihan konten.

Kesimpulan

Kemajuan teknologi di era digital telah membawa berbagai manfaat bagi kehidupan, termasuk mempermudah akses informasi, menyediakan sarana hiburan, dan mendukung proses pembelajaran anak. Namun, di balik semua kelebihannya, teknologi juga menimbulkan tantangan serius, khususnya terhadap kesehatan mental anak. Waktu layar yang berlebihan, paparan konten yang tidak sesuai, serta risiko seperti cyberbullying dan perbandingan sosial dapat berdampak negatif pada perkembangan emosional, sosial, dan kognitif mereka.

Oleh karena itu, penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk memahami risiko ini dan mengambil langkah proaktif. Menetapkan batasan waktu layar, memilih konten yang sesuai, serta mendorong interaksi sosial dan aktivitas fisik adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk melindungi kesehatan mental anak. Selain itu, orang tua perlu menjadi panutan dengan menunjukkan penggunaan teknologi yang bijak dan menciptakan lingkungan yang mendukung komunikasi terbuka serta keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.

Dengan langkah yang tepat, teknologi dapat dimanfaatkan sebagai alat yang mendukung tumbuh kembang anak tanpa mengorbankan kesehatan mental anak-anak. Menciptakan keseimbangan adalah kunci untuk memastikan bahwa anak-anak dapat menikmati manfaat teknologi sekaligus tumbuh menjadi individu yang sehat, tangguh, dan bahagia di era yang terus berkembang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun