Bagi musafir atau orang yang berpergian seperti saya, masjid adalah tempat ternyaman untuk singgah. Disamping untuk menunaikan ibadah wajib seorang muslim, kadang juga sekadar melepas lelah, buang hajat, atau cuci muka agar segar dan siap melanjutkan perjalanan. Rasa-rasanya, hanya masjid --atau terkadang musholla-- yang kiranya selalu terbuka untuk disinggahi. Beberapa masjid memang dibiarkan terbuka 24 jam non-stop.
Di beberapa masjid, disediakan minuman galon untuk orang-orang yang datang. Bahkan ada beberapa masjid yang menyediakan kopi dan teh siap seduh beserta dispenser untuk memanaskan airnya. Semuanya gratis, tanpa pungutan biaya. Biasanya ada kotak amal, tapi bukan bentuk dari tagihan setelah minum karena sifatnya pun sukarela.
Di suatu waktu, saya melihat pedagang bakso yang meminta air masjid untuk ember cuci mangkoknya. Ada pekerja yang mampir untuk mandi setelah bercucuran peluh. Di waktu yang lain, saya melihat wajah-wajah kelelahan setelah perjalanan jauh yang tertidur pulas di emperan masjid.
Melihat orang-orang yang tertidur di teras masjid, saya teringat dengan komunitas sahabat di zaman Nabi yang tinggal di emperan (suffah) masjid. Mereka adalah para pengungsi --atau yang disebut kaum Muhajirin-- yang sudah tidak dapat ditampung di rumah-rumah penduduk Madinah, sehingga Rasulullah menyuruh mereka tinggal di suffah.
Mungkin karena sejarah para sahabat itulah kemudian sampai saat ini masih sering kita jumpai masjid yang pintunya selalu terbuka. Hal itu pula barangkali yang mengundang orang-orang yang kelelahan dalam perjalanan untuk sekadar meluruskan kaki.
Pernah suatu ketika saya berada di teras masjid, seorang lelaki paruh baya dengan celana pendek datang dengan membawa anaknya sambil berkata, "mas, permisi, boleh saya numpang ke kamar mandi?"
Wajahnya tampak seperti orang cina. Saya menduga dia non-muslim, karena nampak dari gelagatnya ini pertama kalinya ia ke masjid. Masih bingung dan sungkan. Toh sah-sah saja jika seseorang ingin buang air kecil. Jika sudah tak bisa ditahan, kemana lagi ia harus pergi? Terlepas dari apapun niat pendatang, setidaknya di satu sisi, masjid benar-benar hadir untuk hajat orang banyak.
Entah, saya tidak bisa membayangkan andaikata masjid hanya dibuka ketika sholat lima waktu saja. Kemana orang-orang ini akan berpaling?
Saya teringat sebuah kisah Buya Hamka dan Cak Nurcholis Majid yang diasampaikan Budhi Munawar Rahman dalam buku Reorientasi Pembaharuan Islam (2017).
Saat itu jabatan Buya Hamka sebagai pembina Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Banyak sekali turis asing non-muslim yang ingin berkunjung ke masjid tersebut. Kemasyhuran Buya Hamka sebagai intelektual, ulama dan penulis ditengarai membuat banyak khalayak internasional tertarik datang.
Cak Nur, sebagai murid Buya Hamka --waktu itu beliau masih menjadi mahasiswa di Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-- kerap dimintai tolong beliau untuk membimbing para turis memasuki masjid Al-Azhar.
"Nur, itu mereka (Turis-red), bimbing ke masjid," pinta Buya Hamka.
Cerita itu terjadi pada tahun 1960-an. Tentu hal ini bisa jadi penegas, Buya Hamka pun membolehkan para non-muslim untuk memasuki masjid. Beliau tau bahwa masjid tidak boleh menjadi sekat untuk mengkotak-kotakkan satu sama lain.
Bagi saya pribadi, inilah indahnya Islam. Inilah representasi Islam rahmatan lil alamin. Menerima tanpa membeda-bedakan. Merangkul tanpa mendiskreditkan. Semuanya melebur, menampakkan indahnya ajaran Tuhan. Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H