Mohon tunggu...
Luqman Mohammad
Luqman Mohammad Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Amatiran

Amatiran. Serabutan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sekali Berarti, Sesudah Itu Mati(p)

24 April 2019   13:43 Diperbarui: 24 April 2019   14:00 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apabila anda dijadikan pilihan terakhir dalam kategori seseorang yang dapat selalu diandalkan, apakah yang anda rasakan?
Sedih, atau bahagia?

Dan apabila hal itu terjadi ketika sebelumnya anda dijadikan pilihan pertama, apakah anda akan merasa semakin sedih?

Dalam konteks tertentu, mungkin rasanya pasti akan sedih. Pasti. Tidak mungkin dipungkiri.

Coba bayangkan, sang langganan juara kelas yang turun peringkat ketika pembagian rapor. Atau anda menjadi kandidat terakhir yang hanya akan direkomendasikan untuk bekerja apabila pesaing anda tidak menerima tawaran tersebut.

Sedih, tetapi begitulah hidup berjalan.

Mungkin ya, mungkin saja, inilah yang dirasakan oleh seorang Joel Matip di awal musim 2018-19. Sejak awal kedatangannya di Liverpool pada musim 2016/17 setelah pindah dari Schalke 04, ia selalu menjadi pilihan pertama dalam mengawal lini belakang the Reds. Namun di musim ini, Matip mengawali musim sebagai pilihan terakhir pada opsi bek tengah Liverpool setelah Virgil van Dijk, Joe Gomez, dan juga Dejan Lovren.

Bukan tanpa alasan memang.

Performa van Dijk semenjak didatangkan ke Anfield tidak bisa diragukan lagi kapasitasnya. Sementara Gomez, di usianya yang terbilang muda namun kualitasnya terlalu bagus untuk dicadangkan. Dan Lovren--meskipun dia masih tetap seorang Dejan Lovren yang sama--sepanjang musim 2017-18 telah membuktikan bahwasanya ia cukup mampu untuk lebih dari sekedar diandalkan. Final UEFA Champions League di musim 2017-18 dan final Piala Dunia 2018 menjadi bukti mutakhir meskipun seluruhnya berakhir nirgelar.

Bagi Matip sendiri, memang rasanya agak sulit untuk menembus hierarki tersebut. Di atas kertas ia baru bisa bermain apabila ketiga pemain tersebut di atas absen, baik akibat cedera ataupun akibat hukuman. Pun, banyak fans Liverpool yang merasa bahwa Matip agak kurang mampu menghadapi agresifitas dan teknik para penyerang Liga Inggris, ditambah inkonsistensi permainan dan seringnya Matip mengalami cedera yang membuat ia tidak bisa diandalkan dalam jangka panjang.

Tapi, roda nasib selalu berputar. Tuhan selalu memberikan kesempatan bagi mereka yang tabah dalam menerima cobaan-Nya. "Gusti mboten sare", kalau kata orang Jawa bilang.

Cederanya Gomez & Lovren secara tidak langsung membawa berkah tersendiri bagi Matip. dari sebelumnya hanya menjadi cameo sejak awal musim, perlahan ia mulai kembali menjadi andalan Jurgen Klopp di lini belakang the Reds untuk menemani van Dijk.

Perlahan memang Matip membuktikan bahwa ia tidak cukup puas hanya menjadi anak bungsu di dalam hierarki bek tengah Liverpool. Bukti sahihnya tersaji pada laga perdelapan final UCL ketika Liverpool menghadapi Bayern Munich, dimana duet dadakannya bersama Fabinho mampu menjinakkan sang predator kotak penalti asal Polandia bernama Robert Lewandowski.

Sejak saat itu, Matip sudah tidak lagi menoleh ke belakang. performa teranyarnya saat menghadapi Cardiff City membuatnya diganjar sebagai man of the match oleh Sky Sports. Sebuah prestasi yang wajar mengingat peran dan perjalanannya bagi Liverpool hingga saat ini.

Klopp sendiri pernah berujar bahwa Matip memang tidak terfokus pada performanya secara individu (liverpoolfc.com), dan lebih senang berkontribusi kepada tim secara langsung di lapangan.

Hal yang wajar mengingat sorotan utama di lini belakang Liverpool kini lebih terfokus pada van Dijk dan juga penampilan gemilang Alisson, serta dua full-back mereka yang bergelimang assist di sektor sayap yaitu Trent Alexander-Arnold dan Andy Robertson. tidak heran, banyak fans Liverpool kini yang menggaungkan kembali gaya permainan Matip sudah pantas disamakan dengan legenda Liverpool yaitu Sami Hyypia.

Satu hal yang pasti, di akhir musim nanti Matip akan melihat bahwa menjadi pilihan terakhir tak selalu buruk. Terutama apabila Liverpool mampu merengkuh gelar juara liga yang sudah 30 tahun dinantikan, apalagi jika berhasil mengawinkannya dengan gelar juara Eropa yang gagal diraih musim lalu.

Bisa jadi gelar-gelar tersebut akan membuat Matip ditahbiskan menjadi seorang legenda berkostum merah melebihi Hyypia. Atau mungkin ia hanya akan menjadi seorang cult hero yang sekali berarti, sesudah itu... mati(p).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun