Perlahan memang Matip membuktikan bahwa ia tidak cukup puas hanya menjadi anak bungsu di dalam hierarki bek tengah Liverpool. Bukti sahihnya tersaji pada laga perdelapan final UCL ketika Liverpool menghadapi Bayern Munich, dimana duet dadakannya bersama Fabinho mampu menjinakkan sang predator kotak penalti asal Polandia bernama Robert Lewandowski.
Sejak saat itu, Matip sudah tidak lagi menoleh ke belakang. performa teranyarnya saat menghadapi Cardiff City membuatnya diganjar sebagai man of the match oleh Sky Sports. Sebuah prestasi yang wajar mengingat peran dan perjalanannya bagi Liverpool hingga saat ini.
Klopp sendiri pernah berujar bahwa Matip memang tidak terfokus pada performanya secara individu (liverpoolfc.com), dan lebih senang berkontribusi kepada tim secara langsung di lapangan.
Hal yang wajar mengingat sorotan utama di lini belakang Liverpool kini lebih terfokus pada van Dijk dan juga penampilan gemilang Alisson, serta dua full-back mereka yang bergelimang assist di sektor sayap yaitu Trent Alexander-Arnold dan Andy Robertson. tidak heran, banyak fans Liverpool kini yang menggaungkan kembali gaya permainan Matip sudah pantas disamakan dengan legenda Liverpool yaitu Sami Hyypia.
Satu hal yang pasti, di akhir musim nanti Matip akan melihat bahwa menjadi pilihan terakhir tak selalu buruk. Terutama apabila Liverpool mampu merengkuh gelar juara liga yang sudah 30 tahun dinantikan, apalagi jika berhasil mengawinkannya dengan gelar juara Eropa yang gagal diraih musim lalu.
Bisa jadi gelar-gelar tersebut akan membuat Matip ditahbiskan menjadi seorang legenda berkostum merah melebihi Hyypia. Atau mungkin ia hanya akan menjadi seorang cult hero yang sekali berarti, sesudah itu... mati(p).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H