Mohon tunggu...
Siluh Bintang Eka Jayanti
Siluh Bintang Eka Jayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Gemar menulis cerita pendek dan melukis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merajut Makna Hidup: Praktik Tri Hita Karana dalam Setiap Langkah Kehidupan

21 Desember 2023   14:27 Diperbarui: 21 Desember 2023   15:06 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai makhluk sosial yang hidup dalam kompleksitas zaman modern, seringkali kita terperangkap dalam rutinitas sehari-hari yang penuh dengan tuntutan dan tekanan. Dalam keadaan seperti ini, penting untuk mengenang kembali dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang dapat membimbing kita menuju kehidupan yang lebih bermakna. Salah satu konsep nilai yang sangat relevan adalah Tri Hita Karana, sebuah falsafah hidup dari Bali yang mengajarkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Tri Hita Karana mengajarkan kita untuk tidak hanya hidup untuk diri sendiri, tetapi juga untuk mempertimbangkan hubungan harmonis dengan lingkungan sekitar. Dalam setiap langkah yang kita ambil, kita dapat merajut makna hidup dengan menerapkan praktik Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan konsep berbentuk filosofis yang mendalam menjadi suatu pedoman penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sansekerta, dibagi menjadi tiga kata yaitu; Tri, Hita, dan Karana. 

Tri artinya tiga, Hita artinya bahagia, dan Karana artinya penyebab, sehingga jika diterjemahkan memiliki arti "tiga penyebab kebahagiaan" atau "tiga alasan untuk menciptakan kesejahteraan." Konsep ini merepresentasikan suatu keharmonisan yang harus dicapai oleh individu dan masyarakat menyangkut hubungan dengan tiga aspek utama dalam kehidupan  di dunia : hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam.

Pertama-tama, Parhyangan mencerminkan penghargaan mendalam terhadap dimensi rohaniah.  Parhayangan memiliki arti hubungan manusia dengan Tuhan/Ida Sang Hyang Widi Wasa. Seorang manusia merupakan salah satu mahluk ciptaan yang paling sempurna oleh Tuhan, maka dari itu untuk menunjukkan rasa bersyukur/berterima kasih kepada-Nya manusia melakukan suatu bentuk puja sertaa puji kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam masyarakat Bali, mereka  mengintegrasikan aspek spiritualitas dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari. 

Terdapat berbagai macam ritual-ritual keagamaan, seperti upacara melasti dan upacara odalan, menjadi cara untuk memperkuat ikatan spiritual dengan Tuhan. Melalui puja bakti dan doa, individu Bali berusaha untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi, menciptakan kedamaian dalam jiwa dan keseimbangan lahir batin. Selain itu, Parhyangan pada Tri Hita Karana menekankan pentingnya menghormati dan mengikuti ajaran agama dalam tindakan sehari-hari serta menjadi landasan moral yang membimbing individu dalam menjalani kehidupan yang benar dan harmonis.

Dalam konteks Tri Hita Karana, hubungan dengan Tuhan (Parhyangan)  bukan hanya tentang memenuhi kewajiban keagamaan tetapi juga menciptakan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika individu mencapai kesadaran spiritual, mereka menjadi lebih peka terhadap nilai-nilai moral, kasih sayang, dan keadilan. Keseimbangan ini membawa dampak positif tidak hanya dalam hubungan pribadi tetapi juga dalam kontribusi terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Kedua, yaitu "Pawongan" konsep ini mengajarkan tentang pentingnya menjaga harmoni dalam interaksi sosial dan etika antarmanusia. Pawongan menekankan nilai-nilai sosial seperti gotong royong, tenggang rasa, dan solidaritas. Hal itu dikarenakan, manusia bukanlah mahluk individu melainkan mahluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain untuk hidup. Gotong royong, atau semangat saling membantu, menjadi pondasi kuat dalam membangun komunitas yang kuat. Dalam masyarakat Bali, individu tidak hanya memikirkan kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan bersama. Kesejahteraan individu dianggap terkait erat dengan kesejahteraan kolektif.

Selain gotong royong, tenggang rasa juga menjadi landasan penting dalam hubungan sesama manusia menurut Tri Hita Karana. Ketika seseorang mengalami kesulitan, baik secara finansial atau emosional, masyarakat sekitar akan memberikan dukungan dan bantuan. Contohnya, ketika ada warga yang mengalami musibah, seperti kebakaran rumah, masyarakat sekitar akan segera bergerak bersama untuk memberikan bantuan materi dan moral, menciptakan lingkungan yang penuh empati dan kepedulian. Konsep Pawongan juga mendorong etika dalam interaksi manusia. Konsep ini menekankan pentingnya menjaga keadilan, menghormati hak dan martabat sesama, serta mempraktikkan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, dalam hubungan bisnis, masyarakat Bali akan mengutamakan kejujuran dan keadilan agar hubungan ekonomi memberikan manfaat bagi semua pihak, bukan hanya untuk keuntungan pribadi.

Secara keseluruhan, "Pawongan" dalam Tri Hita Karana merangkul ide bahwa hubungan sosial yang sehat dan harmonis adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan bersama. Masyarakat Bali, melalui nilai-nilai seperti gotong royong, tenggang rasa, dan etika, menciptakan sebuah masyarakat yang saling mendukung dan menghargai, memperkuat esensi dari konsep Tri Hita Karana itu sendiri. Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai ini, manusia dapat membangun masyarakat yang lebih berkelanjutan dan harmonis.

Kemudian yang ketiga, yakni "Palemahan" merupakan suatu bentuk hubungan manusia dengan lingkungan sekitar serta memelihara harmoni dengan alam. Dalam menjalani kehidupannya, tentunya manusia sangat bergantung pada lingkungan alam sekitarnya yang menyediakan tempat serta kebutuhaan hidup utama yang dibutuhkan manusia seperti oksigen untuk bernapas. Karena hal itulah, manusia harus memeliharan hubungan baik dengan alam lingkungan dengan menjaga serta merawatnya. 

Palemahan juga mencerminkan kesadaran bahwa manusia adalah bagian integral dari ekosistem dan bahwa tindakan kita memiliki dampak langsung pada keberlanjutan lingkungan. Salah satu contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang mencerminkan prinsip palemahan adalah sistem pertanian Subak di Bali. Subak bukan hanya sekadar sistem irigasi, tetapi juga menciptakan model agraris berkelanjutan yang memahami dan menghormati siklus alam. Petani Subak memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara air, tanah, dan tanaman untuk memastikan hasil panen yang berkelanjutan.

Palemahan juga diterapkan dalam kebijakan pelestarian alam Bali, seperti upaya konservasi hutan dan perlindungan sumber air. Penggunaan ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari juga mencerminkan prinsip palemahan. Misalnya, masyarakat Bali mempraktikkan penggunaan bahan alami dalam perabotan rumah tangga dan kerajinan tangan. 

Mereka berupaya untuk tidak hanya mengambil dari alam tetapi juga memberikan kembali dengan merawat dan memelihara sumber daya alam. Peerlu untuk diperhatikan bahwa palemahan bukan hanya tentang tindakan fisik terhadap alam tetapi juga mencakup sikap mental dan spiritual. Pemahaman bahwa alam memiliki haknya sendiri dan bahwa kita harus hidup secara seimbang dengan alam menciptakan landasan etika bagi tindakan kita sehari-hari. Dalam menjalankan prinsip palemahan, terutama pada masyarakat Bali memperlihatkan bahwa hubungan harmonis dengan alam adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan dan kesejahteraan. Konsep ini menjadi inspirasi bagi dunia modern yang semakin menyadari urgensi untuk hidup berdampingan dengan alam demi kelangsungan hidup planet ini.

Penerapan nilai-nilai Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari memerlukan kesadaran dan tindakan nyata. Salah satu langkah awal adalah mengenali keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan materi. Banyak dari kita terjebak dalam pengejaran kesuksesan material tanpa menyadari pentingnya kedamaian batin. 

Dengan mengutamakan hubungan dengan Tuhan, kita dapat menemukan makna yang lebih dalam dalam setiap langkah hidup. Penting juga untuk memahami bahwa kehidupan bukanlah perjalanan yang dilalui sendirian. Hubungan dengan sesama manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman manusiawi. Dalam konteks Tri Hita Karana, nilai-nilai seperti keadilan, kasih sayang, dan kerjasama menjadi landasan untuk membentuk masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, praktik kebaikan, pengertian, dan toleransi terhadap perbedaan menjadi instrumen penting dalam merajut makna hidup bersama-sama.  

Bagaimana kita bisa mengambil langkah nyata untuk merajut makna hidup melalui praktik Tri Hita Karana? Pertama-tama, penting untuk melakukan introspeksi diri dan mengevaluasi sejauh mana kita telah mengintegrasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menyadari kekurangan dan kelebihan, kita dapat membangun dasar untuk perubahan positif. Langkah selanjutnya adalah membentuk komunitas yang berbagi nilai-nilai serupa. Dalam kelompok yang mendukung, kita dapat saling memberi inspirasi, menguatkan satu sama lain, dan bersama-sama menjalani perjalanan menuju kehidupan yang lebih bermakna. Ini juga dapat melibatkan partisipasi aktif dalam kegiatan sosial atau lingkungan yang mendukung prinsip Tri Hita Karana.

Dalam merajut makna hidup, praktik Tri Hita Karana bukanlah sekadar serangkaian aturan atau norma, melainkan sebuah perjalanan menuju keseimbangan dan harmoni. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai ini dalam setiap langkah kita, kita tidak hanya memperkaya kehidupan pribadi, tetapi juga memberikan kontribusi positif kepada masyarakat dan lingkungan sekitar. Melalui perubahan sikap dan tindakan nyata, kita dapat merajut makna hidup yang lebih dalam dan bermakna bagi diri kita sendiri dan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun