Pendahuluan
Sejak lama, konsep kebijakan kriminal (criminal policy) menjadi bagian penting dalam pembentukan dan pelaksanaan sistem hukum di berbagai negara, termasuk Indonesia. Salah satu teori yang cukup signifikan dalam diskusi kebijakan kriminal adalah gagasan yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels, seorang kriminolog asal Rotterdam. Diskursusnya tentang kebijakan kriminal yang menggabungkan pendekatan hukuman (penal) dan pencegahan (non-penal) memberikan kerangka pemikiran yang komprehensif mengenai cara terbaik dalam menangani tindak kejahatan. Dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi dan kompleks di Indonesia, pemikiran ini menjadi sangat relevan, terutama dalam ruang publik di mana perdebatan tentang penegakan hukum, rehabilitasi, dan pencegahan kejahatan seringkali mencuat.
Tulisan ini akan menguraikan lebih lanjut mengenai What (apa itu kebijakan kriminal menurut Hoefnagels), Why (mengapa kebijakan ini penting di ruang publik Indonesia), dan How (bagaimana kebijakan ini dapat diimplementasikan secara efektif). Dalam setiap bagian, akan dijelaskan lebih mendalam berbagai aspek kebijakan kriminal serta penerapannya dalam konteks sosial, hukum, dan budaya Indonesia.
What: Apa Itu Kebijakan Kriminal Menurut G. Peter Hoefnagels?
Definisi dan Ruang Lingkup
G. Peter Hoefnagels mendefinisikan kebijakan kriminal (criminal policy) sebagai pendekatan rasional yang mencakup organisasi sosial dalam menanggapi kejahatan. Kebijakan ini tidak hanya berfokus pada penghukuman (penal), tetapi juga pada pencegahan kejahatan dan pendidikan masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan. Hoefnagels memandang kebijakan kriminal sebagai sebuah disiplin ilmiah yang tidak hanya mengatur tentang cara masyarakat harus merespons kejahatan, tetapi juga cara untuk menciptakan lingkungan yang mampu mencegah kejahatan sejak awal.
Menurut Hoefnagels, kebijakan kriminal juga melibatkan identifikasi perilaku apa saja yang dianggap sebagai kejahatan, serta bagaimana masyarakat merespons perilaku tersebut. Ini merupakan bagian penting dalam memahami bagaimana hukum pidana berfungsi di dalam masyarakat, yakni bukan hanya sebagai alat penghukuman tetapi juga sebagai alat sosial untuk menciptakan ketertiban.
Komponen Utama Kebijakan Kriminal
1. Penal Policy (Kebijakan Hukuman): Bagian ini berkaitan langsung dengan penjatuhan hukuman bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan. Penalogi, atau ilmu tentang hukuman, menjadi bagian dari kebijakan ini. Penalogi mempelajari sejarah, perkembangan, dan tujuan dari hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Dalam hal ini, Hoefnagels mengajak kita untuk memikirkan ulang manfaat dan fungsi hukuman yang tidak hanya berperan sebagai pembalasan (retributive justice), tetapi juga sebagai sarana untuk memperbaiki dan merehabilitasi pelaku kejahatan.
Sebagai contoh, di Indonesia hukuman penjara sering dijatuhkan pada pelaku kejahatan. Namun, tanpa program rehabilitasi yang efektif di dalam penjara, para narapidana seringkali tidak memperoleh keterampilan atau pendidikan yang cukup untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat. Hal ini seringkali menyebabkan tingginya angka residivisme, di mana mantan narapidana kembali melakukan tindak kejahatan setelah dibebaskan.
2. Non-Penal Policy (Kebijakan Pencegahan): Kebijakan non-penal Hoefnagels mencakup segala upaya untuk mencegah kejahatan sebelum terjadi. Ini melibatkan pendidikan, intervensi sosial, dan penguatan nilai-nilai moral di masyarakat. Non-penal policy juga mencakup reformasi sosial, di mana perbaikan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat dipandang sebagai langkah penting dalam mencegah kejahatan.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini bisa berupa program pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan yang seringkali menjadi akar dari tindak kejahatan. Misalnya, pemerintah dapat memberikan pelatihan keterampilan kepada kelompok-kelompok yang rentan terhadap kriminalitas, seperti remaja yang putus sekolah, untuk mengurangi potensi mereka terlibat dalam tindakan kriminal.
Teori Penyebab Kejahatan
Dalam kerangka berpikir Hoefnagels, penyebab kejahatan tidak bisa dipandang dari satu perspektif saja. Ia menguraikan berbagai teori yang dapat menjelaskan mengapa seseorang melakukan kejahatan, antara lain:
Teori Biologis/Psikologis: Menjelaskan bahwa beberapa individu mungkin memiliki faktor genetik atau gangguan psikologis yang membuat mereka lebih rentan melakukan kejahatan.
Teori Sosiologis: Berfokus pada faktor-faktor lingkungan sosial, seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan kurangnya pendidikan, yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan.
Teori Penyimpangan Budaya: Mengemukakan bahwa perilaku kriminal dapat dipengaruhi oleh norma dan nilai yang berkembang dalam kelompok tertentu di masyarakat.
Teori Kontrol Sosial: Menyatakan bahwa ikatan sosial yang lemah dengan keluarga, sekolah, dan masyarakat dapat menyebabkan perilaku menyimpang.
Teori Pelabelan (Labeling Theory): Menggambarkan bagaimana individu yang diberi label sebagai "kriminal" oleh masyarakat sering kali menginternalisasi label tersebut dan berperilaku sesuai dengan ekspektasi tersebut.
Why: Mengapa Kebijakan Kriminal Hoefnagels Penting di Ruang Publik Indonesia?
Tingkat Kriminalitas di Indonesia
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal tingkat kriminalitas. Kejahatan kekerasan, korupsi, serta kejahatan kerah putih (white-collar crime) terus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. Di tengah kondisi ini, pendekatan yang hanya mengandalkan hukuman tanpa adanya pencegahan dan rehabilitasi terbukti tidak cukup efektif. Inilah yang menjadi alasan mengapa gagasan Hoefnagels tentang kebijakan kriminal menjadi sangat relevan.
Kompleksitas Sosial-Budaya Indonesia
Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya, agama, dan sosial yang sangat luas. Dalam konteks ini, teori-teori penyebab kejahatan yang diuraikan oleh Hoefnagels dapat membantu memahami mengapa tingkat kejahatan di satu wilayah mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Misalnya, kemiskinan yang melanda beberapa daerah dapat menciptakan tekanan sosial yang mendorong individu untuk melakukan tindak kejahatan, sementara norma-norma budaya tertentu mungkin mendukung atau memaafkan tindakan-tindakan tertentu yang dianggap menyimpang oleh hukum formal.
Ruang Publik sebagai Wadah Diskusi Kebijakan Kriminal
Ruang publik di Indonesia, termasuk media sosial, televisi, dan forum-forum diskusi masyarakat, merupakan platform yang penting untuk mendiskusikan dan menyebarkan pemahaman tentang kebijakan kriminal. Hoefnagels melihat ruang publik sebagai arena di mana masyarakat dapat diberikan informasi yang akurat tentang bagaimana kejahatan dapat dicegah dan bagaimana hukum pidana seharusnya diterapkan.
Di Indonesia, diskusi mengenai kejahatan seringkali terfokus pada aspek sensasional dari kasus-kasus kriminal, seperti hukuman yang dijatuhkan atau pelaku kejahatan itu sendiri. Namun, melalui pendekatan yang lebih berbasis pengetahuan seperti yang diusulkan Hoefnagels, ruang publik dapat berfungsi untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya pencegahan kejahatan, pentingnya rehabilitasi bagi pelaku, dan bagaimana kondisi sosial dan ekonomi dapat memengaruhi tingkat kriminalitas.
How: Bagaimana Implementasi Skema Kebijakan Kriminal Hoefnagels di Indonesia?
Langkah-Langkah Implementasi Kebijakan Kriminal
1. Pemetaan Penyebab Kriminalitas di Indonesia Untuk menerapkan skema kebijakan kriminal yang efektif, langkah pertama adalah memahami penyebab utama dari tindak kejahatan di Indonesia. Pemerintah, bersama dengan akademisi dan lembaga penelitian, harus melakukan studi komprehensif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kriminalitas di berbagai daerah. Sebagai contoh, apakah kemiskinan yang menjadi faktor utama, atau apakah faktor-faktor lain seperti pendidikan yang rendah, lingkungan keluarga yang disfungsional, atau keterasingan sosial juga berperan penting.
2. Reformasi Penegakan Hukum Reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia diperlukan untuk mengadopsi prinsip-prinsip penalogi yang lebih humanis dan rehabilitatif. Hukuman yang bersifat retributif (hukuman sebagai pembalasan) harus diimbangi dengan langkah-langkah rehabilitasi yang lebih sistematis. Misalnya, penjara seharusnya bukan hanya menjadi tempat pemenjaraan, tetapi juga menjadi sarana rehabilitasi yang efektif, di mana narapidana mendapatkan keterampilan kerja, konseling, dan pendidikan yang memadai.
3. Peningkatan Peran Lembaga Non-Penal Lembaga-lembaga non-penal, seperti lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan organisasi masyarakat, harus berperan lebih aktif dalam pencegahan kejahatan. Program-program yang fokus pada pendidikan moral, pemberdayaan ekonomi, serta penguatan nilai-nilai sosial di masyarakat perlu diperluas. Misalnya, di beberapa negara, program pemberdayaan remaja atau pemuda telah terbukti efektif dalam mencegah keterlibatan mereka dalam kegiatan kriminal. Pemerintah Indonesia dapat bermitra dengan lembaga-lembaga pendidikan dan komunitas untuk meluncurkan program serupa, yang tidak hanya berfokus pada pembelajaran formal, tetapi juga pada pengembangan karakter dan keterampilan hidup.
4. Kolaborasi antara Pemerintah dan Masyarakat Sipil Kebijakan kriminal yang efektif membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil. Salah satu cara untuk melibatkan masyarakat adalah dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pencegahan kejahatan melalui kampanye publik. Pemerintah dapat bermitra dengan organisasi non-pemerintah (LSM), media, dan tokoh masyarakat untuk mengedukasi publik tentang peran mereka dalam pencegahan kejahatan. Kampanye anti-kekerasan, anti-narkoba, dan pendidikan hukum dasar dapat dilakukan melalui media sosial, televisi, dan platform komunitas lokal.
5. Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum Salah satu tantangan terbesar dalam penegakan hukum di Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Pelatihan lanjutan dan pendidikan yang berkelanjutan bagi aparat hukum sangat penting agar mereka memahami bagaimana menerapkan kebijakan kriminal dengan cara yang seimbang antara aspek penal dan non-penal. Selain itu, aparat penegak hukum perlu dibekali dengan kemampuan memahami latar belakang sosial, ekonomi, dan psikologis dari pelaku kejahatan untuk memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan tidak hanya bersifat menghukum, tetapi juga memperbaiki perilaku pelaku.
6. Penggunaan Teknologi dalam Pencegahan dan Penegakan Hukum Dalam era digital ini, teknologi bisa memainkan peran yang signifikan dalam penegakan hukum dan pencegahan kejahatan. Sistem deteksi dini melalui kamera CCTV yang dilengkapi dengan teknologi pengenalan wajah atau perangkat lunak analisis data besar (big data) dapat membantu aparat penegak hukum untuk memprediksi dan mencegah tindak kejahatan sebelum terjadi. Beberapa kota besar di dunia telah menggunakan teknologi semacam ini dengan sukses, dan Indonesia bisa mengikuti jejak tersebut dengan menerapkan teknologi yang serupa, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, yang memiliki tingkat kriminalitas yang tinggi.
Peran Kebijakan Kriminal dalam Menghadapi Kejahatan Terkini di Indonesia
Kejahatan Siber
Perkembangan teknologi digital telah membuka peluang baru bagi pelaku kejahatan untuk melakukan tindak kriminal melalui dunia maya. Kejahatan siber, seperti penipuan online, pencurian identitas, dan peretasan, semakin marak terjadi di Indonesia. Kebijakan kriminal yang komprehensif harus mencakup tindakan pencegahan dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan siber, serta edukasi kepada masyarakat mengenai keamanan digital.
Penerapan kebijakan kriminal Hoefnagels dalam konteks ini melibatkan kolaborasi antara pendekatan penal dan non-penal. Di satu sisi, hukum pidana harus tegas dalam menghukum pelaku kejahatan siber, namun di sisi lain, upaya pencegahan melalui edukasi teknologi kepada masyarakat juga penting. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang cara melindungi data pribadi mereka dan menghindari praktik-praktik berbahaya di internet.
Kejahatan Lingkungan
Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah, juga rentan terhadap kejahatan lingkungan, seperti penebangan hutan ilegal, perburuan liar, dan pencemaran lingkungan. Kebijakan kriminal yang efektif harus mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan lingkungan, di mana penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan sangat diperlukan, sambil tetap memastikan adanya solusi jangka panjang dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Penerapan kebijakan non-penal dalam konteks ini bisa berupa peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup. Program pendidikan lingkungan di sekolah-sekolah, kampanye
publik, serta pemberdayaan komunitas lokal untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dapat membantu mencegah terjadinya kejahatan lingkungan.
Penutup
Diskursus G. Peter Hoefnagels mengenai kebijakan kriminal menawarkan kerangka kerja yang sangat relevan bagi Indonesia dalam menangani berbagai tantangan kriminalitas. Pendekatan yang menggabungkan penal dan non-penal memberikan solusi yang lebih komprehensif, tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga pada pencegahan dan rehabilitasi. Dengan melibatkan masyarakat, memanfaatkan teknologi, dan mengadaptasi pendekatan lokal yang sesuai, Indonesia dapat menerapkan kebijakan kriminal yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Relevansi kebijakan ini di ruang publik Indonesia sangatlah kuat, terutama dalam konteks meningkatnya tuntutan untuk reformasi hukum dan keadilan sosial. Ruang publik harus terus dimanfaatkan sebagai sarana diskusi, edukasi, dan kolaborasi untuk membangun sistem hukum yang lebih adil, manusiawi, dan efisien. Dengan demikian, kebijakan kriminal tidak hanya akan menjadi alat untuk menanggulangi kejahatan, tetapi juga akan berfungsi sebagai fondasi untuk membangun masyarakat yang lebih aman dan sejahtera.
Daftar Pustaka
Hoefnagels, G. Peter. (1981). White Collar Crime of Rotterdam Criminologist. Rotterdam: Erasmius University Press.
Hoefnagels, G. Peter. (1981). Criminal Policy: Penal and Non-Penal Approaches. Deventer: Kluwer Law International.
Mulyadi, Lilik. (2007). Hukum Pidana: Ilmu Hukum Pidana & Hukum Pidana Profetik. Jakarta: Kencana
Santoso, Topo. (2006). Kebijakan Kriminal di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wignjosoebroto, Soetandyo. (2008). Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam.
Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H