Mohon tunggu...
Silpiah
Silpiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Sarjana Akuntansi - NIM 43223110028 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitas Mercu Buana - Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Quiz 11 - Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

22 November 2024   21:07 Diperbarui: 22 November 2024   21:07 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PPT : Silpiah
PPT : Silpiah
PPT : Silpiah
PPT : Silpiah
PPT : Silpiah
PPT : Silpiah

Pendahuluan

Kejahatan merupakan salah satu fenomena sosial yang telah menjadi bagian tak tepisahkan dari kehidupan manusia. Fenomena kejahatan berkembang seiring dengan perubahan struktur masyarakat, dan salah satu bentuk kejahatan yang paling menonjol dari berbagai negara termasuk indonesia adalah korupsi. Edwin Sutherland, seorang krimonolog terkenal, memperkenalkan konsep kejahatan kerah putih (white-collar crime) yang sering kali terkait dengan pelanggaran hukum oleh orang-orang yang memiliki posisi terhormat dalam bisnis atau pemerintahan. Dalam kontek Indonesia, fenomena korupsi sangat relevan untuk dianalisis melalui lensa teori Sutherland, mengingat prevalensi korupsi di kalangan pejabat publik dan pengusaha.

Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan fenomena kejahatan korupsi di Indonesia dalam kerangka pemikiran Edwin Sutherland. Fokus akan diberikan pada pengertian korupsi, mengapa korupsi terus terjadi, serta bagaimana pendekatan dan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga terkait.

What : Pengertian Korupsi, Kejahatan Kerah Putih dan Dampaknya

Pengertian Korupsi

Korupsi dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Definisi ini mencakup berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dalam kapasitas mereka sebagai pemegang kekuasaan. Korupsi terjadi ketika seorang pejabat publik atau seseorang dengan pengaruh dan otoritas menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperoleh keuntungan yang tidak sah, baik secara finansial maupun non-finansial.

Dalam konteks hukum Indonesia, korupsi diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang ini mengkategorikan tindakan-tindakan yang dianggap sebagai korupsi, termasuk penyuapan, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, dan tindakan-tindakan lain yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, sehingga merugikan negara atau perekonomian negara.

Kejahatan Kerah Putih (White-Collar Crime) dalam Perspektif Edwin Sutherland

Edwin Sutherland, dalam teori kriminologinya, membedakan antara kejahatan kerah putih dan kejahatan konvensional. Kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang dilakukan oleh individu yang memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi, biasanya dalam lingkungan bisnis, politik, atau pemerintahan. Berbeda dengan kejahatan konvensional seperti pencurian atau perampokan yang biasanya dilakukan oleh individu-individu dengan status sosial-ekonomi rendah, kejahatan kerah putih terjadi di kalangan elit yang memiliki akses ke kekuasaan dan sumber daya.

Kejahatan kerah putih termasuk dalam kategori kejahatan non-kekerasan yang sering kali dilakukan melalui cara-cara yang sulit dideteksi. Sutherland menekankan bahwa perilaku kriminal ini sama berbahayanya dengan kejahatan konvensional, karena dampaknya bisa sangat merugikan, terutama dalam skala ekonomi dan sosial. Di Indonesia, praktik korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik dan pengusaha merupakan bentuk nyata dari kejahatan kerah putih ini.

Edwin Sutherland memperkenalkan konsep kejahatan kerah putih pada tahun 1939 dalam pidatonya di hadapan American Sociological Association. Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial-ekonomi tinggi, sering kali dalam kapasitas profesional atau komersial mereka. Kejahatan ini berbeda dari kejahatan konvensional yang dilakukan oleh individu dengan latar belakang ekonomi rendah yang biasanya terlibat dalam tindak pidana seperti pencurian atau perampokan.

Korupsi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih. Dalam pengertian yang lebih sempit, korupsi adalah penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi. Di Indonesia, korupsi didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Bentuk-bentuk korupsi yang sering terjadi antara lain suap, penggelapan dalam jabatan, dan manipulasi pengadaan barang dan jasa di sektor publik.

Korupsi sebagai kejahatan kerah putih memiliki karakteristik yang spesifik, yaitu dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan informasi, serta melibatkan penyalahgunaan kepercayaan. Di Indonesia, korupsi sering kali melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, dan individu-individu yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan.

Dampak Korupsi di Indonesia

Korupsi di Indonesia memiliki dampak yang sangat merugikan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik. Beberapa dampak signifikan dari praktik korupsi antara lain:

Dampak Ekonomi

Korupsi menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi negara. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Korupsi menghambat investasi asing, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperburuk kondisi fiskal negara. Selain itu, korupsi sering kali menyebabkan ketidakstabilan ekonomi karena praktik-praktik yang merugikan di sektor swasta maupun publik.

Dampak Sosial

Secara sosial, korupsi menciptakan ketidakadilan di masyarakat. Kekayaan dan sumber daya yang seharusnya didistribusikan secara adil justru terkonsentrasi pada kelompok tertentu yang memiliki akses ke kekuasaan. Hal ini memperlebar kesenjangan sosial, meningkatkan tingkat kemiskinan, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat. Korupsi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik, yang pada akhirnya mengarah pada ketidakstabilan sosial dan politik.

Dampak Politik

Dalam ranah politik, korupsi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan dan sistem demokrasi. Pejabat yang terlibat dalam korupsi sering kali memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri dan memperkuat kekuasaan politiknya, sehingga menciptakan oligarki yang sulit diatasi. Hal ini mengakibatkan lemahnya kontrol dan pengawasan terhadap pejabat publik, serta melemahkan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.

Dampak-dampak ini memperlihatkan betapa seriusnya ancaman korupsi terhadap stabilitas dan kemajuan bangsa. Korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah sosial yang melibatkan struktur kekuasaan, budaya, dan nilai-nilai masyarakat. Korupsi yang terjadi di tingkat pemerintahan, dunia usaha, dan sektor publik lain memperlihatkan bagaimana perilaku menyimpang ini mengakar kuat dan sulit diberantas tanpa adanya komitmen yang kuat dari berbagai pihak.

Why: Mengapa Korupsi Terus Terjadi di Indonesia?

Korupsi adalah masalah kronis yang terus menjadi momok bagi masyarakat Indonesia, meskipun sudah banyak upaya dilakukan untuk memberantasnya. Ada sejumlah alasan yang mendasari mengapa korupsi tetap berlangsung, meski ada penegakan hukum yang ketat dan kebijakan anti-korupsi yang diterapkan. Alasan-alasan tersebut mencakup faktor-faktor struktural, kultural, politik, dan sosial yang membuat korupsi sulit diberantas. Berikut beberapa alasan utama mengapa korupsi masih terus terjadi di Indonesia:

1. Budaya Patronase dan Nepotisme yang Mengakar

Salah satu faktor penting yang menyebabkan korupsi bertahan di Indonesia adalah budaya patronase dan nepotisme yang telah lama mengakar dalam tatanan politik dan sosial masyarakat. Budaya patronase merujuk pada hubungan antara pemimpin politik atau pejabat pemerintah dengan pengikut atau pendukungnya yang didasarkan pada loyalitas dan imbalan pribadi. Dalam sistem ini, korupsi menjadi salah satu alat untuk mempertahankan kekuasaan politik dan membalas jasa para pendukung.

Nepotisme, di sisi lain, adalah praktik memberikan posisi atau kekuasaan kepada anggota keluarga atau teman dekat, terlepas dari kualifikasi atau kompetensi mereka. Praktik ini sering terjadi di Indonesia, terutama dalam pengangkatan pejabat di lingkungan pemerintahan dan lembaga publik. Akibatnya, sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar pengangkatan pejabat sering kali terabaikan, dan mereka yang tidak kompeten diberi posisi strategis yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.

Dalam konteks budaya patronase dan nepotisme ini, korupsi tidak hanya dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sebagai bagian dari norma yang diterima secara sosial. Para pejabat yang korup sering kali merasa terjamin karena mereka memiliki jaringan pendukung yang kuat, baik di tingkat politik maupun ekonomi, yang dapat melindungi mereka dari konsekuensi hukum.

2. Sistem Politik yang Biaya Tinggi

Korupsi juga terus terjadi di Indonesia karena tingginya biaya politik, terutama dalam proses pemilu dan kampanye politik. Untuk dapat memenangkan posisi dalam pemerintahan, seorang calon membutuhkan dana yang sangat besar untuk mendanai kampanye, memperoleh dukungan partai politik, serta mengamankan suara pemilih. Dalam situasi seperti ini, calon yang terpilih sering kali merasa terikat untuk membayar kembali hutang politik atau "balas jasa" kepada para donatur atau pendukungnya.

Sistem politik yang memerlukan biaya tinggi ini menciptakan insentif bagi para politisi untuk melakukan korupsi setelah terpilih. Mereka memanfaatkan jabatan publik untuk mengumpulkan kekayaan pribadi atau mengembalikan dana yang telah dikeluarkan selama proses kampanye. Korupsi menjadi cara untuk mempertahankan kekuasaan politik dan membangun jaringan dukungan, baik di dalam partai politik maupun di kalangan pengusaha.

3. Penegakan Hukum yang Lemah dan Selektif

Meskipun Indonesia memiliki undang-undang anti-korupsi yang cukup kuat dan lembaga-lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penegakan hukum yang efektif masih menjadi tantangan besar. Banyak kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi sering kali berakhir dengan hukuman yang ringan, atau bahkan tidak ditindaklanjuti dengan serius. Fenomena ini menunjukkan adanya masalah dalam sistem peradilan, termasuk potensi intervensi politik, suap, atau tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Penegakan hukum yang lemah dan selektif ini menciptakan persepsi di masyarakat bahwa hukum tidak berlaku sama untuk semua orang, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan atau posisi tinggi. Akibatnya, pejabat publik yang terlibat korupsi merasa kebal hukum dan tidak takut akan konsekuensi tindakannya. Lemahnya pengawasan internal di institusi pemerintah juga membuat para pelaku korupsi lebih mudah menyembunyikan atau memanipulasi tindakan mereka tanpa terdeteksi.

4. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi

Ketimpangan sosial dan ekonomi yang tinggi di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab mengapa korupsi sulit diberantas. Di satu sisi, ada sekelompok kecil elit yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar, sementara mayoritas masyarakat hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Perbedaan yang mencolok ini menciptakan insentif bagi mereka yang berada dalam posisi kekuasaan untuk memperkaya diri melalui korupsi.

Di tingkat bawah, ketidakpastian ekonomi dan tekanan hidup sehari-hari membuat banyak orang terpaksa menerima suap atau terlibat dalam praktik korupsi kecil-kecilan untuk bertahan hidup. Bagi mereka yang memiliki akses ke sumber daya publik, korupsi sering kali dianggap sebagai cara yang mudah dan cepat untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka, terutama ketika gaji dan tunjangan yang mereka terima dianggap tidak memadai.

Dalam konteks ini, korupsi juga bisa dilihat sebagai hasil dari kegagalan sistem ekonomi dalam menyediakan kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakat. Selama ketimpangan sosial-ekonomi ini masih ada, praktik korupsi akan terus berkembang karena sistem yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dengan adil.

5. Norma dan Etika yang Lemah

Korupsi di Indonesia juga terkait erat dengan lemahnya norma etika dan moral, baik di kalangan pejabat publik maupun masyarakat umum. Di banyak sektor, kesadaran akan pentingnya integritas dan etika dalam menjalankan tugas publik masih rendah. Beberapa individu yang terlibat dalam korupsi sering kali mengabaikan dampak negatif dari tindakan mereka terhadap masyarakat luas, dan lebih fokus pada keuntungan pribadi atau kelompok.

Rendahnya pendidikan anti-korupsi di kalangan masyarakat dan pejabat publik juga menjadi salah satu penyebab mengapa norma-norma anti-korupsi tidak berkembang dengan baik. Kurangnya program-program pendidikan yang menanamkan nilai-nilai integritas, akuntabilitas, dan transparansi, baik di sekolah maupun tempat kerja, membuat masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang bahaya dan dampak buruk dari korupsi.

6. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas

Korupsi sering terjadi di lingkungan yang tidak transparan dan tidak akuntabel. Di Indonesia, meskipun sudah ada berbagai kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi, seperti sistem e-government dan pengadaan barang dan jasa secara online, implementasinya masih belum optimal. Banyak pejabat publik yang tidak sepenuhnya tunduk pada prinsip-prinsip transparansi, sehingga mereka dapat dengan mudah menyembunyikan tindak korupsi yang dilakukan.

Selain itu, akuntabilitas pejabat publik dalam mengelola anggaran dan sumber daya negara sering kali rendah. Proses audit dan pengawasan internal tidak selalu efektif, sehingga tindak korupsi baru terungkap setelah terjadi kerugian negara yang besar. Akibatnya, banyak pejabat publik yang merasa aman dalam melakukan tindakan korupsi karena minimnya pengawasan dan rendahnya risiko terdeteksi.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia merupakan hasil dari interaksi antara budaya, sistem politik, kelemahan penegakan hukum, ketimpangan sosial, dan lemahnya etika serta moral di kalangan pejabat publik. Semua faktor ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain, menciptakan kondisi yang kondusif bagi berkembangnya praktik-praktik korupsi.

How: Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi di Indonesia

Upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia dilakukan melalui pendekatan yang komprehensif, melibatkan berbagai instrumen hukum, lembaga antikorupsi, serta kebijakan nasional yang bertujuan untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel. Pendekatan ini melibatkan tindakan represif berupa penindakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi, serta langkah-langkah preventif untuk mencegah korupsi sebelum terjadi. Berikut beberapa pendekatan penting yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk memberantas dan mencegah korupsi:

1. Penegakan Hukum yang Lebih Tegas: Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Salah satu institusi paling penting dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang didirikan pada tahun 2003 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. KPK adalah lembaga independen yang memiliki kewenangan luar biasa untuk menangani kasus-kasus korupsi, terutama yang melibatkan pejabat tinggi negara dan jumlah kerugian negara yang besar.

KPK memiliki beberapa fungsi utama, termasuk pencegahan, koordinasi, supervisi, monitoring, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus korupsi. Dalam beberapa tahun terakhir, KPK telah berhasil menangani sejumlah kasus korupsi besar, seperti skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pengadaan e-KTP, hingga kasus korupsi dalam proyek pembangunan infrastruktur dan asuransi Jiwasraya.

2. Penguatan Lembaga Pengawasan Internal: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat

Selain KPK, lembaga pengawas lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat juga memainkan peran penting dalam pencegahan dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara. BPK bertugas melakukan audit terhadap keuangan negara untuk memastikan bahwa pengelolaan anggaran dilakukan dengan transparan, efisien, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Inspektorat yang berada di bawah kementerian atau lembaga pemerintah bertugas melakukan pengawasan dan audit internal terhadap operasional instansi pemerintah. Inspektorat diharapkan dapat mendeteksi dan mencegah potensi penyimpangan atau korupsi sebelum terjadi. Penguatan kapasitas dan independensi lembaga pengawasan ini menjadi kunci dalam menciptakan sistem pengawasan yang lebih efektif dan terpercaya.

3. Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK)

Pemerintah Indonesia juga telah mengadopsi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pencegahan korupsi melalui berbagai aksi strategis di berbagai sektor. Stranas PK terdiri dari lima fokus utama: perizinan dan tata kelola sumber daya alam, keuangan negara, penegakan hukum dan reformasi birokrasi, politik, dan tata kelola sektor swasta.

Salah satu inisiatif yang penting dalam Stranas PK adalah mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan publik. Misalnya, pemerintah telah mengembangkan sistem e-government untuk mempermudah pengelolaan anggaran, administrasi perizinan, serta pengadaan barang dan jasa secara daring. Sistem ini bertujuan untuk mengurangi interaksi langsung antara pejabat publik dan masyarakat, yang sering kali menjadi celah terjadinya korupsi, terutama dalam bentuk suap dan gratifikasi.

Digitalisasi sistem birokrasi juga menjadi langkah penting dalam Stranas PK. Dengan menerapkan sistem digital, pengawasan terhadap setiap transaksi dan kegiatan yang menggunakan dana publik menjadi lebih mudah dan transparan.

4. Pendidikan dan Sosialisasi Anti-Korupsi

Pendidikan dan sosialisasi tentang bahaya korupsi juga menjadi salah satu strategi preventif yang penting dalam upaya memberantas korupsi. Pemerintah, melalui KPK dan lembaga terkait, terus menggalakkan program pendidikan anti-korupsi yang ditujukan kepada berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pelajar, mahasiswa, pejabat publik, hingga kalangan bisnis.

Program pendidikan anti-korupsi bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai integritas, akuntabilitas, dan transparansi sejak dini, dengan harapan bahwa generasi muda akan tumbuh menjadi individu yang menjunjung tinggi etika dan moralitas dalam menjalankan tugasnya di masa depan. KPK bekerja sama dengan kementerian pendidikan untuk memasukkan materi anti-korupsi ke dalam kurikulum sekolah, serta mengadakan berbagai seminar, pelatihan, dan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pemberantasan korupsi.

Di sektor swasta, pendidikan anti-korupsi juga menjadi bagian penting dari program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Banyak perusahaan besar yang mulai menerapkan kebijakan dan program pelatihan internal tentang kepatuhan dan anti-korupsi, serta menjalin kerja sama dengan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong praktik bisnis yang bersih dan bebas korupsi.

5. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas melalui E-Government

Upaya penting lainnya dalam pencegahan korupsi di Indonesia adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi melalui penerapan sistem e-government. Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan publik, sekaligus meminimalkan interaksi langsung antara masyarakat dan pejabat publik yang berpotensi menimbulkan korupsi.

Melalui e-government, pemerintah menyediakan layanan yang sebelumnya hanya bisa diakses melalui jalur birokrasi konvensional menjadi layanan daring yang lebih mudah dan transparan. Sebagai contoh, sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sebelumnya rawan manipulasi kini dilakukan melalui e-procurement, yang memungkinkan proses pengadaan dilakukan secara transparan dan terbuka bagi semua pihak yang memenuhi syarat.

Selain itu, sistem perizinan online (online single submission) juga telah diterapkan untuk mempermudah pelaku usaha dalam mengurus perizinan secara transparan tanpa harus melalui prosedur birokrasi yang rumit dan memakan waktu.

6. Penguatan Kerja Sama Internasional dalam Pemberantasan Korupsi

Korupsi tidak hanya merupakan masalah domestik, tetapi juga masalah global yang melibatkan lintas batas negara. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menjalin kerja sama dengan berbagai organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Convention Against Corruption dan Organisation for Economic Co-operation and Development, untuk berbagi praktik terbaik dan meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi.

Daftar Pustaka

Sutherland, E. H. (1949). White Collar Crime. New York: Dryden Press.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (2023). Laporan Tahunan KPK. Jakarta: KPK.

Transparency International (2023). Corruption Perceptions Index 2023. Berlin: Transparency International.

OECD (2022). OECD Anti-Bribery Convention. Paris: OECD.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun