Dampak-dampak ini memperlihatkan betapa seriusnya ancaman korupsi terhadap stabilitas dan kemajuan bangsa. Korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah sosial yang melibatkan struktur kekuasaan, budaya, dan nilai-nilai masyarakat. Korupsi yang terjadi di tingkat pemerintahan, dunia usaha, dan sektor publik lain memperlihatkan bagaimana perilaku menyimpang ini mengakar kuat dan sulit diberantas tanpa adanya komitmen yang kuat dari berbagai pihak.
Why: Mengapa Korupsi Terus Terjadi di Indonesia?
Korupsi adalah masalah kronis yang terus menjadi momok bagi masyarakat Indonesia, meskipun sudah banyak upaya dilakukan untuk memberantasnya. Ada sejumlah alasan yang mendasari mengapa korupsi tetap berlangsung, meski ada penegakan hukum yang ketat dan kebijakan anti-korupsi yang diterapkan. Alasan-alasan tersebut mencakup faktor-faktor struktural, kultural, politik, dan sosial yang membuat korupsi sulit diberantas. Berikut beberapa alasan utama mengapa korupsi masih terus terjadi di Indonesia:
1. Budaya Patronase dan Nepotisme yang Mengakar
Salah satu faktor penting yang menyebabkan korupsi bertahan di Indonesia adalah budaya patronase dan nepotisme yang telah lama mengakar dalam tatanan politik dan sosial masyarakat. Budaya patronase merujuk pada hubungan antara pemimpin politik atau pejabat pemerintah dengan pengikut atau pendukungnya yang didasarkan pada loyalitas dan imbalan pribadi. Dalam sistem ini, korupsi menjadi salah satu alat untuk mempertahankan kekuasaan politik dan membalas jasa para pendukung.
Nepotisme, di sisi lain, adalah praktik memberikan posisi atau kekuasaan kepada anggota keluarga atau teman dekat, terlepas dari kualifikasi atau kompetensi mereka. Praktik ini sering terjadi di Indonesia, terutama dalam pengangkatan pejabat di lingkungan pemerintahan dan lembaga publik. Akibatnya, sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar pengangkatan pejabat sering kali terabaikan, dan mereka yang tidak kompeten diberi posisi strategis yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Dalam konteks budaya patronase dan nepotisme ini, korupsi tidak hanya dipandang sebagai penyimpangan, tetapi sebagai bagian dari norma yang diterima secara sosial. Para pejabat yang korup sering kali merasa terjamin karena mereka memiliki jaringan pendukung yang kuat, baik di tingkat politik maupun ekonomi, yang dapat melindungi mereka dari konsekuensi hukum.
2. Sistem Politik yang Biaya Tinggi
Korupsi juga terus terjadi di Indonesia karena tingginya biaya politik, terutama dalam proses pemilu dan kampanye politik. Untuk dapat memenangkan posisi dalam pemerintahan, seorang calon membutuhkan dana yang sangat besar untuk mendanai kampanye, memperoleh dukungan partai politik, serta mengamankan suara pemilih. Dalam situasi seperti ini, calon yang terpilih sering kali merasa terikat untuk membayar kembali hutang politik atau "balas jasa" kepada para donatur atau pendukungnya.
Sistem politik yang memerlukan biaya tinggi ini menciptakan insentif bagi para politisi untuk melakukan korupsi setelah terpilih. Mereka memanfaatkan jabatan publik untuk mengumpulkan kekayaan pribadi atau mengembalikan dana yang telah dikeluarkan selama proses kampanye. Korupsi menjadi cara untuk mempertahankan kekuasaan politik dan membangun jaringan dukungan, baik di dalam partai politik maupun di kalangan pengusaha.
3. Penegakan Hukum yang Lemah dan Selektif