Edwin Sutherland memperkenalkan konsep kejahatan kerah putih pada tahun 1939 dalam pidatonya di hadapan American Sociological Association. Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial-ekonomi tinggi, sering kali dalam kapasitas profesional atau komersial mereka. Kejahatan ini berbeda dari kejahatan konvensional yang dilakukan oleh individu dengan latar belakang ekonomi rendah yang biasanya terlibat dalam tindak pidana seperti pencurian atau perampokan.
Korupsi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih. Dalam pengertian yang lebih sempit, korupsi adalah penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi. Di Indonesia, korupsi didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Bentuk-bentuk korupsi yang sering terjadi antara lain suap, penggelapan dalam jabatan, dan manipulasi pengadaan barang dan jasa di sektor publik.
Korupsi sebagai kejahatan kerah putih memiliki karakteristik yang spesifik, yaitu dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan informasi, serta melibatkan penyalahgunaan kepercayaan. Di Indonesia, korupsi sering kali melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, dan individu-individu yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan.
Dampak Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia memiliki dampak yang sangat merugikan, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik. Beberapa dampak signifikan dari praktik korupsi antara lain:
Dampak Ekonomi
Korupsi menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi negara. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan pelayanan kesehatan justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Korupsi menghambat investasi asing, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperburuk kondisi fiskal negara. Selain itu, korupsi sering kali menyebabkan ketidakstabilan ekonomi karena praktik-praktik yang merugikan di sektor swasta maupun publik.
Dampak Sosial
Secara sosial, korupsi menciptakan ketidakadilan di masyarakat. Kekayaan dan sumber daya yang seharusnya didistribusikan secara adil justru terkonsentrasi pada kelompok tertentu yang memiliki akses ke kekuasaan. Hal ini memperlebar kesenjangan sosial, meningkatkan tingkat kemiskinan, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat. Korupsi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga publik, yang pada akhirnya mengarah pada ketidakstabilan sosial dan politik.
Dampak Politik
Dalam ranah politik, korupsi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan dan sistem demokrasi. Pejabat yang terlibat dalam korupsi sering kali memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri dan memperkuat kekuasaan politiknya, sehingga menciptakan oligarki yang sulit diatasi. Hal ini mengakibatkan lemahnya kontrol dan pengawasan terhadap pejabat publik, serta melemahkan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.