Mohon tunggu...
Raja mataniari
Raja mataniari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Bebas

Penulis Realis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pencabutan Subsidi, Berkah atau Musibah?

17 November 2017   02:05 Diperbarui: 17 November 2017   06:30 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Jika kita melihat komponen yang selama ini diberikan kepada rakyat seperti subsidi BBM, TDL, Pupuk, Bibit, Pendidikan dan kesehatan memiliki dampak yang cukup baik dalam mengerakkan ekonomi mereka sehingga bisa memenuhi konsumsi subsistennya. Misalkan rakyat kecil masih menggunakan BBM untuk menghemat biaya transportasi, berdagang kecil-kecilan dengan sepeda motornya, TDL untuk industri rumahan yang berskala kecil, Pupuk dan Bibit untuk petani, pendidikan dan kesehatan untuk peningkatan kehidupan sosialnya. Dan itu jelas di butuhkan oleh kebanyakan rakyat Indonesia.

Hari ini negara sedang menganut ideologi ekonominya yang bersandar pada pasar bebas, dalam logika pasar bebas, perdagangan bebas dapat  meningkatkan tenaga-tenaga produktif. Jika industri terus bertumbuh, jika kekayaan, jika kekuatan produktif, jika-singkatnya-modal produktif meningkat, permintaan akan tenaga kerja, harga tenaga kerja, dan sebagai konsekuensinya tingkat upah-upah, naik juga. Maka negara berposisi sabagai pembela dari pemilik modal yang dianggap menjadi ratu adil bagi rakyat. Padahal dengan logika tersebut yang menjadi korbannya adalah segenap rakyat yang berproduksi, yang menjejalkan tangannya kepada kerasnya baja dan kayu untuk menghasilkan komoditas baru yang bernilai lebih dari bahan baku sebelumnya.

Dalam posisi ini negara bertindak sebagai penyelenggara publik yang menjaga alam dan manusia untuk tetap siap sedia menghasilkan laba bagi kapitalis, menjaga rakyatnya bisa bekerja dengan bugar dari siang kemalam, menjaga pendidikan yang sempit hanya dapat mengerakkan alat produksi yang ada. Maka subsidi yang diberikan sepanjang itu dapat memberikan keuntungan dalam logika permintaan-penawaran kapitalisme maka subsidi itu masih akan dipertahankan. Namun ketika subsidi itu menyebabkan kebuntungan laba dengan semakin dapat bersaingnya ekonomi rakyat, maka kaum penyembah kapitalisme akan sesak gelisah karena tidak memiliki lagi obyek eksploitasi dan pasar potensialnya.

Diskriminasi Konsep Subsidi Produktif.

Defenisi ekonomi akan sudsidi sangat beragam, tapi paling banyak yang menrangkaikan dengan kepentingan ekonomi ala Kapitalisme. Menurut Muhammad Hassanudin "Subsidi dapat mendorong peningkatakan output produk-produk yang dibantu akan tetapi mengganggu proses alokasi sumber daya domestik secara umum dan memberi dampak yang merugikan terhadap perdagangan internasional ".(Muhammad Hassanudin, Ensiklopedia ekonomi dan perbbankan syariah :2004). 

Menurut Evi Noor Afifah konsep ilmu ekonomi, definisi subsidi adalah jumlah bantuan keuangan dari pemerintah, seperti grant, tax break, atau trade barrier, supaya mendorong produksi atau pembelian barang.(Evi Noor Afifah,Kajian Kerangka Subsidi di Indonesia : 2008). Namun jika kita melihat secara esensial, subsidi adalah jaminan yang diberikan oleh negara kepada rakyatnya sebagai timbal balik dikuasainya tanah dan air oleh negara yang sebelum adanya Republik Indonesia adalah warisan suku bangsa yang bergiat kerja dengan pertanian dan sumber penghidupan lainnya.

Pasal 33 UUD 1945 menjadi manifestasi kedaulatan negara dibawah kepentingan Rakyat yang hidup di negara Indonesia. Maka menjadi jelas saat ini, dengan komplek komponen ekonomi kapitalistik, kepentingan hajat sosial yang bersifat kepentingan umum tidak lagi dipenuhi negara, karena dengan tindakan politik yang dilakukan oleh pemerintah dengan langkah mencabut subsidi adalah tindakan nyata melepaskan peran dan tanggung jawab negara dalam mengurus rakyatnya.

Subsidi yang belakangan ini mulai digerus dari anggaran adalah dimulai dengan pemotongan subsidi (BBM,TDL, Pupuk, Pangan, Pendidikan, Kesehatan) adalah dampak dari perjanjian ekonomi politik dari rezim yang menganut sistem kapitalisme untuk mendapat donasi dari lembaga ekonomi Bretton Woods(WB, IMF, WTO). Upaya pencabutan subsidi adalah konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi kemudian diikuti oleh privatisasi , komersialisasi dan berakumulasi dengan kapitalisasi setiap hajat sosial.

  • Subsidi BBM salah satu barang yang disubsidi oleh pemerintah sejak lama. Belakangan semenjak liberalisasi mulai masif dipraktekkan, sedikit demi sedikit upaya pemotongan bahkan penghilangan subsidi BBM dilakukan. Berbagai isu dimainkan, mulai dari defisit anggaran, alih energi, sampai yang terbaru adalah subsidi salah sasaran. Beberapa alasan itu ternyata cukup mampu diterima oleh masyrakat yang buta dan awam hal ikwhal perminyakan Indonesia. Maka dengan lugu dan baik hatinya, tidak jarang rakyat terilusi dan mendukung program pencabutan subsidi ini. Padahal jika kita lihat kilas balik bagaimana suhu politik Migas dalam negeri kita akan menemukan banyak keprihatinan yang mendorong kita untuk berbuat lebih dalam memperjuangkan Nasionalisasi Migas, Mulai dari Kedaulatan Sumberdaya Migas, Kedaulatan Produksi Pengolahan Migas, Ketahanan cadangan Migas, Privatisasi Migas, dan lain sebagainya. Migas memang memiliki posisi penting dalam dinamika ekonomi politik dunia. Dengan 50 Milliar Barel cadangan yang tersimpan Indonesia menjadi salah satu negara yang menghasilkan minyak dunia. Sayangnya Indonesia juga menjadi tamu di negaranya sendiri, sejak adanya UU MIGAS No.22 tahun 2001 Indonesia yang dahulu bangganya memiliki PERTAMINA sebagai perusahaan minyak nasional telah menjadi kontaktor minyak yang tidak memiliki perbedaan dengan perusahaan Minyak seperti Exxon, Chevron, Connoco Philip, Petro Cina, CNOOC, British Petrolium dan lain sebagainya. Sialnya permasalahan yang sangat komplek itu juga diikuti oleh tidak adanya industri Hilir yang mapan untuk memenuhi ketersedian minyak dalam negeri. Maka menjadi sulit dan bebanlah ketika alat produksi itu di kuasai oleh Kapital luar yang mengeruk habis Migas Indonesia, Subsidi yang harusnya bisa ditopang dari keuntungan Minyak dan Gas, malah menjadi bumerang karena Alat Produksi Vital itu tidak dikuasai negara. Maka Negara Harus mengimpor dan berhutang kepada lembaga donor WB untuk memenuhi kompensasi ilusi BLT, akibat kenaikan BBM  sebagai dampak pemotongan dan pencabutan subsidi. Dan pertamina lebih banyak bertindak sebagai agen minyak yang penjual produk minyak import. Belakangan Anggaran yang di persiapkan untuk subsidi adalah Rp.77,3 Triliun. Maka tidak akan berdampak banyaklah kepada konsumsi minyak dari sepeda motor pekerja dan petani, karena subsidi itu diperuntukkan kepada produk Gas tabung 3 Kg, dan Solar.
  • Kondisi Subsidi Listrik, sama halnya dengan Minyak dan gas, listrik juga menjadi salah satu komponen yang disubsidi. Dengan daya 450V/A dan 900V/A menjadi produk listrik yang paling banyak dipakai oleh rakyat Indonesia, akan tetapi lagi-lagi pemotongan dan pencabutan subsidi adalah hajatan sakral yang harus dilakukan oleh Rezim yang berkuasa karena menganut sistem kapitalisme. Hal yang sama juga berlaku buat listrik, Kedaulatan Produksi listrik, Ketahanan cadangan listrik, Privatisasi listrik, dan lain sebagainya. Hari Ini PLN hanya memiliki peran sebagai penjual. Pembangkit daya listrik yang diagung-agungkan sejak dulu, PLTA, PLTS, PLTD, PLTMG, PLTG dan pembangkit lainnya, tidak lain adalah pembangkit listrik yang dikuasai oleh Kapital dan menjual listriknya kepada PLN. Lebih ironisnya, pada kenaikan BBM tahun 2004, Indonesia yang saat itu masih di perintah oleh SBY bersama JK dan Boediono meminjam Uang ke Bank Dunia untuk membayar kompensasi BLSM dan BLT sebagai dampak pencabutan subsidi. Dan timbal baliknya adalah Indonesia harus meliberalisasi sumber daya panas bumi,yang direncanakan akan menjadi pembangkit listrik Geothermal yang akan di jual kepasar internasional (Rika Febriani: Utang Bank Dunia yang salah Kaprah:2012). Ironis memang, ditangah keadaan rakyat yang harus terseok dalam memenuhi kebutuhan subsistennya dengan memanfaatkan subsidi energi baik listrik ataupun minyak, negara menggadaikan semua harapan hidup rakyat kepada pasar bebas dan mengilusi rakyat dengan sogokan-sogokan yang sama sekali tidak produktif, seperti alih Subsidi ke pembangunan Tol, Pelabuhan, dan infrastruktur lainnya, yang hanya menambah keuntungan kepada usaha makro yang sarat kepentingan kapitalisme dan disisi lain menghabisi usaha mikro rakyat. Sedangkan anggaran subsidi dibayarkan oleh PLN kepada produsen listrik yang menjual listriknya ke PLN dan bahkan terjadi pemadaman 24 jam penuh seperti di Nias, Sumatera Utara, diakibatkan hutang PLN kepada PT. American Power Rent sebesar Rp.40 M pada tahun 2016. Sekali lagi terbukti bagaimana alat produksi yang dikuasai oleh kapital, memiliki keberpihakan laba dari pada keberpihakan kesejahteraan.

Hari ini ada beberapa hal yang mengacu pada persoalan subsidi, beberapa ekonom membagi subsidi berdasarkan tujuannya adalah, Subsidi produksi;Pemberian subsidi pada para Produsen oleh pemerintah untuk memperluas produksi beberapa produk dianggap sangat penting dengan harga rendah. Subsidi Ekspor; Pemberian subsidi oleh pemerintah untuk produk tertentu yang diekspor atau secara umum untuk meningkatkan kinerja perdagangan. 

Subsidi pekerjaan;Pemberian subsidi pada upah oleh pemerinah sebagai suatu insentif pada perusahaan-perusahaan untuk dapat memberi lebih banyak kesempatan kerja, sehingga dapat menurunkan tingkat pengangguran dalam perekonomian.Subsidi Pendapatan;Pemberian subsidi pada masyarakat melalui system pembayaran transfer pemerintah dalam usaha untuk memungkinkan mereka menikmati suatu standar hidup minimum. Artinya hari ini pemerintah melihat subsidi dalam kaca mata ekonomis yang berpegang teguh pada keuntungan pasar bebas. Jika kita lihat secara keumuman tujuan subsidi yang dialokasikan dalam pengaturan anggaran adalah untuk mempersiapkan jaminan jangka pendek kepada produsen komoditas dan jasa yang disubsidi.

Hakikat subsidi sudah sejak lama disalahgunakan dengan mengisi kekuatan finansial produsen barang yang disubsidi. Penyalah gunaan pemakaian subsidi ini berhubungan erat dengan ilusi yang dibangun oleh rezim belakangan bahwa subsidi selama ini dinikmati oleh orang yang berpunya. Kita tidak mau masuk dalam logika sesat ini, karena pada hakikatnya baik kaya dan miskin memiliki hak yang sama dalam menerima jaminan dari negara. Jaminan negara haruslah mampu mengisi pemenuhan hajat publik yang hanya dapat dipenuhi dengan mendirikan suatu ekonomi yang mandiri, jauh dari liberalisasi, jauh dari privatisasi, dan komesialisasi yang hanya berikhtiar kepada keuntungan semata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun