Sebagai seorang pengkhidmat teh, saya selalu teringat akan pepatah Jawa yang berbunyi, "Wong urip iku mung mampir ngombe," yang mempunyai arti orang hidup itu hanyalah istirahat sejenak untuk minum.
Mengingat pepatah Jawa di atas maka sudah seyogianya-lah saya wajib menikmati setiap "cangkir teh" yang tersaji di setiap perjalanan hidup saya. Entah itu secangkir teh pahit atau manis. Life is about living your journey, isn't it?
Seperti halnya ketika perjalanan saya ke Jepang, saya berkesempatan untuk mengikuti langsung Sado (upacara atau ritual tradisional minum teh Jepang) di Sakai Risho No Mori.
Kembali ke Sado. Awalnya upacara ini diimpor dari Tiongkok, kemudian setelah masuk ke Jepang, detail upacaranya berkembang lebih luas, berubah cukup jauh dari detail awal sewaktu dari Tiongkok. Zaman dahulu upacara ini disebut dengan Chado, Chanoyu (casual way of saying the ceremony) dan dapat diartikan cha =Â teh, do = upacara.
Junko san, guide yang menemani saya saat itu mengatakan bila Sado hanya dilakukan oleh para bangsawan atau samurai-samurai untuk menjamu tamu. Mengetahui akan hal ini, saya sangat senang sekali dapat ambil bagian dari Sado. Bolehlah sekali-kali merasakan jadi bangsawan di negeri orang, masa jadi sobekan ale-ale terus sih di negeri sendiri.
Sado mulai menyebar ke seluruh lapisan masyarakat di Jepang pada abad ke-16 dan figur yang memperkenalkannya bernama Sen no Rikyu (1522-1591). Ia pun menjadi tokoh dalam upacara minum teh yang paling terkenal dan dihormati di Jepang.
Ajarannya kemudian memberikan pengaruh, perkembangan terhadap bentuk-bentuk baru dalam arsitektur, perkebunan, karya seni dan tentu saja dalam upacara Sado ini. Prinsip-prinsip yang diperkenalkannya, yaitu kehormatan, ketenangan, dan kemurnian masih menjadi pusat dalam upacara minum teh hingga sekarang ini.
Sebelum Sado dimulai, saya dipersilahkan untuk menuju ke sebuah ruang yang disebut Chashitsu (ruang teh). Ruangan ini sangat sederhana sekali, berukuran tidak terlalu besar, dinding dan lantainya menggunakan tatami (tikar tenunan dari jerami). Di dindingnya terdapat sebuah lukisan bergambar aksara Jepang.
Tapi jujur, jika Anda berada di ruangan ini, Anda akan langsung diliputi dengan kehangatan, keheningan, dan kedamaian yang sangat sulit sekali ditemui di Jakarta. Joss gandos bukan?Â
Sembari menunggu teh diracik oleh master teh (tuan rumah), tamu yang hadir akan disajikan kue manis yang disebut wagashi. Cara memakannya adalah dengan menggunakan tusukan yang terbuat dari bambu.
FYI, wagashi ini rasanya muanis buanget. Yak selesai sudah. Saya sudah manis, makan kue yang rasanya muanis buanget alhasil bisa diabetes deh. Demi mencegah diabetes, maka saya nggak menghabiskan wagashi tadi. Saya tawarin aja ke teman di sebelah saya. Ketimbang mubazir. Setuju nggak?Â
Untuk bentuknya sendiri, wagashi bermacam-macam. Ada yang dibentuk seperti labu, bunga, juga hewan-hewan yang imut banget. Pokoke nggak afdol kalau nge'teh tanpa ditemani wagashi.
Upacara minum teh
Hal menarik dari Sado adalah Anda dapat melihat langsung semua proses pembuatan teh hingga teh tersebut siap disajikan kepada para tamu (istilah kerennya bisa dibilang open kitchen kali ya?). Jadi di dalam Chashitsu sudah tersedia tungku kecil yang akan digunakan untuk membuat teh.
Bukan itu saja, segala peralatan lainnya tuk membuat teh sudah tersedia di ruangan tersebut. Dan eloknya lagi adalah setiap proses pembuatan teh tersebut mengandung nilai-nilai filosofi.
Dalam upacara ini, jarang terjadi percakapan. Saya dan tamu yang hadir lainnya saat itu lebih banyak berdiam ketimbang ditebas pakai katana sama si tuan rumah. Jadilah kami bersantai dan menikmati suasana tenang yang tercipta dari suara air dan api, aroma teh, dan keindahan serta kesederhanaan dekorasi ruangan yang ada.
Setelah teh rampung dibuat, teh dituang ke dalam mangkuk teh, kemudian disajikan kepada para tamu baik oleh tuan rumah atau asisten. Saat meminum teh pun tidak bisa sembarangan. Setelah teh dibuat, lalu disuguhkan kepada tamu dengan mangkuk teh di mana motif mangkuk menghadap tamu sebagai tanda penghormatan.
Setelah selesai memutar mangkuk barulah saya boleh mencicipi teh (1x teguk), setelah itu membisikkan ungkapan yang telah ditentukan kemudian meminum lagi teh tersebut 2-3 kali. Selanjutnya tamu tersebut menyeka bagian pinggir mangkuk itu. Mangkuk diputar kembali ke posisi awal dan diserahkan pada tamu kedua dengan membungkuk.
Proses ini terus dilakukan hingga semua tamu sudah meminum teh dari mangkuk yang sama dan posisi mangkuk kembali ke tuan rumah. Di beberapa upacara, setiap tamu akan meminum teh dari mangkuk masing-masing tetapi urutan minum tehnya sama saja. Apa saya bilang, ribet kan. Tapi menyenangkan dan bikin penasaran. Krompiyang bingits deh.
Cita rasa teh
Sekarang nggak heran kan, di tiap kita menyajikan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh, pakai hati dan memberikan yang terbaik dari kita maka hasilnya akan maksimal. Seperti halnya keribetan yang dialami saat membuat teh saat Sado ini, semuanya demi memberikan hasil terbaik kepada para tamu.
Setelah semua tamu mendapatkan teh, tuan rumah akan membersihkan peralatan. Para tamu dapat meminta tuan rumah agar dia dapat memeriksa peralatan-peralatan tersebut, dan setiap tamu dapat mengagumi alat-alat itu. Yah, mungkin aja ada tamu yang saking mupengnya sama benda-benda buatan Jepang tanpa sadar masukin ke kantong celana. Mungkin loh ya!
Akhirnya, tibalah saya di bagian akhir. Bagian di mana tuan rumah kemudian mengumpulkan peralatan, saya dan para tamu lainnya meninggalkan Chasitsu. Tuan rumah membungkuk sebagai ucapan terima kasih dari pintu, dan upacara berakhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H