Ini adalah tulisan mengenai politik pertama yang saya tulis di sosial media Kompasiana. Sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Brawijaya saya sedikit gatal jika tidak menuliskan tulisan mengenai politik yang memang sangat erat kaitannya dengan hukum. Berikut tulisan berbau politik pertama saya di Kompasiana.
Dalam berbagai literatur sejarah, apa yang membuat bangsa-bangsa Eropa datang dan menjajah bangsa-bangsa diluar Eropa? Gold, Glory, dan Gospel, mungkin itu jawaban yang akan kita dapati. Kekayaan (gold), kejayaan (glory), dan penyebaran sebuah ajaran (gospel), adalah motto utama bagi bangsa-bangsa Eropa untuk menjajah bangsa diluar wilayahnya.
Pengambilan paksa hingga perang negara-negara penganut gold, glory, dan gospel (3G) dilakukan. Banyak tempat yang semula damai saat itu lambat laun mulai bergejolak. Dengan kata-kata merendahkan sebuah kaum seperti kata bangsa primitif, pribumi, dan kata-kata lain untuk merendahkan sebuah bangsa pun disebar untuk menjatuhkan mentalitas bangsa yang dijajah.
Bangsa-bangsa Eropa kemudian menjajah dan lalu menerapkan sistem politik yang bernama Imperialisme atau pengambilalihan kekuasaan atas sebuah bangsa dan/atau negara. Bangsa-bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis (Portugal), dan tentu Belanda mengambil alih sistem pemerintahan bangsa dan/atau negara jajahannya untuk memperkaya bangsanya sendiri.
Sistem imperialisme memang kini nampaknya hilang dan digantikan dengan faham-faham baru, sesuai dengan falsafah masing-masing negara. Namun meski banyak buku pelajaran hingga umum yang menyatakan Imperialisme sudah tidak ada (hilang), saya rasa Imperislisme berubah bentuk, nama, dan cara.
Imperialisme modern, begitu saya pandang ketika melihat sebuah organisasi besar seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Mengapa? Logikanya jika organisasi itu adalah perserikatan mengapa ada hak-hak khusus yang dimiliki oleh beberapa negara seperti Hak Veto? Untuk menentukan bantuan kemanusiaan saja PBB masih “pilih kasih” dengan negara-negara lainnya. 3G saya rasa masih tetap ada, terlebih dengan adanya organisasi besar seperti PBB.
Saya sangat setuju ketika mengatakan pemimpin yang otoritarian (otoriter) harus dijatuhkan, karena memang pemimpin bukan untuk diri sendiri melainkan untuk negara (rakyat). Namun jika ada pemimpin seumur hidup di sebuah negara itu bukan bentuk otoriter. Setiap negara memiliki kultur dan gaya pemerintahan sendiri-sendiri.
Saya belum tahu apa berita yang memuat tentang “kejamnya” Korea Utara itu benar adanya atau hanya sekedar “cara” pengambilan opini publik. Iraq, Iran, dan Palestine-Israel adalah negara-negara yang menjadi korban perang absurd bernama opini publik. Negara-negara berkepentingan mengubah opini dunia melalui berbagai media untuk meruntuhkan sebuah pemerintahan/negara.
Kata-kata otoriter, diktator, dan lain-lain digunakan untuk mempengaruhi sisi opini dari publik. Selain dengan kata-kata, secuil potongan gambar pun dibuat hanya untuk meraih hati publik. Semuanya berubah absurd, hingga banyak korban tak berdosa berjatuhan.
Sebut saja Amerika Serikat yang banyak ditulis negara adidaya, negara maju dan sebagainya. Bagi saya apa yang dilakukan oleh media dan negara itu sendiri dengan penyebutan-penyebutan tertentu itu adalah contoh lain dari masih eksisnya imperialisme dijaman sekarang.
PBB sendiri bagi saya adalah tempat negara-negara penjajah dan dijajah berkumpul. Semua hanya mengikuti si negara besar saja untuk bertindak. Negara remaja, hingga kecil hanya bisa mengusulkan bla... bla... bla... dengan diakhiri respon “wow” namun tidak pernah didengar untuk dijalankan.
Nyatanya PBB tidak mampu menjaga perdamaian dunia dan memilih mager (males/malas gerak/bergerak) ketika negara-negara tertentu diserang atas perintah negara besar. Negara-negara pemegang hak veto tidak bisa melawan negara pemilik hak veto lainnya. Sialnya ketimpangan antara anggota pemegang hak veto dan anggota biasa seolah bukan menjadi sebuah masalah besar.
Imperialisme Modern di Indonesia
Secara sadar oleh banyak orang negara kita ini sedang dijajah. Mungkin kedengarannya kata-kata ini kuno dan hanya bersifat doktrinasi untuk melawan ideologi tertentu. Namun coba lihat bagaimana negara kita dengan mudahnya terpengaruh oleh budaya asing dan menganggap negara asing lebih “wah” dari pada negara sendiri.
Proklamasi sudah 70 tahun lalu dibacakan, disoraki, dan didengungkan dengan kegembiraan. Merdeka! Namun sejatinya bangsa kita belum sepenuhnya merdeka. Simple-nya masih banyak aspek yang belum negara kita penuhi sebagai negara merdeka. Bidang hukum semisal, sampai detik tulisan ini diposting kita masih belum bisa move on dari hukum Kolonial Belanda.
Imperialis modern nampak makin kompleks dibanding imperialisme kuno. Ketimpangan ekonomi, ketimpangan sosial, bullying adalah contoh dampak yang ditimbulkan imperialisme modern. Anak TK yang belum tahu imperialisme begitu hafal mempertontonkan adegan yang dilakukan para kaum imperialis. Imperialisme kini bergeser, dari negara ke negara menjadi dari keluarga ke keluarga dengan person sebagai alatnya. (AWI)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H