Mohon tunggu...
Marim Purba
Marim Purba Mohon Tunggu... lainnya -

Ada dimana-mana walau tak kemana-mana, lebih banyak di sekitar Jakarta- Depok. Mengorganisasikan kelompok-kelompok, membantu orang berpikir, dan menuliskannya ..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Asa Dibalik OSO

11 April 2017   03:18 Diperbarui: 11 April 2017   11:00 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negeri ini dibangun oleh daerah, bukan oleh Partai Politik! Itulah fakta sejarah. Fakta filosofis dan historis.        

Diperlukan puluhan tahun untuk menyadarkan para politisi bahwa pembangunan bukan dilakukan oleh pusat untuk kemajuan daerah, tapi justru orientasi pembangunan di daerah harus lebih diutamakan untuk memajukan Indonesia.

Ingat pemberontakan PRRI Permesta? Itu juga ekspresi daerah untuk menuntut haknya. Cara menuntut hak berbagai rupa, bisa juga berujung pada separatisme. Maka segala hal ihwal mengenai daerah harus diperhatikan. Tanpa daerah tak ada Indonesia!

Tapi partai politik selalu mengklaim. Harus politisi yang mengatur, mengendalikan dan lama kelamaan jadi pemburu rente. Lihat saja; berdasar Survei oleh Global Corruption Barometer (GCB) yang disusun Transparency International April-Juni 2016, DPR RI dipandang masyarakat Indonesia sebagai lembaga negara paling korup. Maka tak heran jika anggota DPR RI bergantian naik panggung pengadilan hadir sebagai saksi atau tersangka.

Ayo sadarlah, daerah itu penting dan karena itulah DPD RI sebagai lembaga keterwakilannya dibentuk melalui Amandemen Ketiga UUD 1945. Supremasi MPR digeser dalam parlemen dua kamar (bikameral); lembaga perwakilan politik yaitu DPR dan lembaga perwakilan teritorial adalah DPD RI.

Sayangnya semangat pengakuan akan eksistensi daerah ternyata tak lama. Parpol unjuk gigi lagi menganggap diri paling penting. Agaknya ada gejala ‘dimensi politik,’ lupa pada hakekat. UU MD3 dilahirkan, dan kepemimpinan dirampok dari pemenang Pemilu. Kepemimpinan di DPD RI agaknya juga refleksi dari kepemimpinan di DPR RI. Hanya menjaga status quo.

Kelemahan DPD RI seakan dipelihara. Sistem bikameral yang banci malah dipaksa seolah henti. Posisi tawar DPD RI tak berusaha dinaikkan; hanya bisa mengajukan Rancangan Undang Undang, ikut membahas Rancangan UU tanpa boleh ikut dalam menetapkan atau memutuskan, memberi pertimbangan, dan dapat melakukan pengawasan.

Posisi tawar DPD RI rendah, kurang bertaji atau tidak bertaring. Itulah sebabnya hasil kerja DPD RI dianggap kurang efektif.  Pemerintah Pusat tak mengabaikan, dan Pemerintah Daerah hanya melihat sebelah mata. Anggota DPD RI sulit memposisikan dirinya dalam politik pembangunan daerah. Survey pada LSIN menyebutkan bahwa kinerja DPD RI tidak efektif.

Terlepas dari polemik hukum atas keluarnya Keputusan Mahkamah Agung, tapi sebagian besar anggota DPD RI membutuhkan profil pemimpin yang bisa memiliki daya dobrak menembus kebuntuan. Mereka membutuhkan DPD RI kuat melalui kepemimpinan baru yang kuat, berwibawa, produktif, bermartabat.

Apa yang sebaiknya dilakukan untuk keluar dari kebuntuan politik ini? Yang segera diperlukan adalah bagaimana mengimplementasikan dan menindaklanjuti Keputusan MK No. 92/PUU-X/2012 tentang Tugas dan  Wewenang DPD RI pada Undang Undang MD3 dan UU PPP.

Hal berikutnya adalah mengefektifkan komunikasi politik antara DPD RI – DPR RI dan Pemerintah. Komunikasi politik memerlukan posisi kesetaraan supaya ada posisi tawar yang kuat. Hubungan tripatrit DPD RI – DPR RI – Pemerintah saat ini ibarat tungku tiga kaki yang tidak sama sisi. Tiga kaki tungku yang pincang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun