Survey mengenai korelasi antara pilihan politik dengan pemberian uang, mereka yang setuju dengan pemberian uang atau barang ini sebagian besar adalah pendukung Hulman–Hefri. Pendukung mereka rentan berpindah jika ada kandidat yang memberi uang atau barang. Survei menunjukkan bahwa 38,7 persen pemilih Hulman akan pindah jika diberikan uang yang lebih besar. Gawatnya, 54,5 persen akan pindah jika ‘dijanjikan’ uang yang lebih besar?
Kalau mau beri uang, berapa? Survey menunjukkan bahwa dari antara pemilih yang setuju pemberian uang, 24,7 persen diantaranya akan memilih kandidat tertentu jika diberi uang antara Rp 50 ribu sd Rp 100 ribu. Menakjubkan bahwa ada 18,8 persen yang menginginkan pemberian uang di atas Rp 400 ribu! Ugh, mahal ya?
Popularitas Hulman (90,5 persen) jauh di atas TRS (78,9 persen). Tapi elektabilitasnya secara statistik hampir sama. Artinya, popularitas Hulman tak bisa lagi ditingkatkan untuk mengerek kenaikan elektabilitas karena ruangnya cukup sempit. Tapi popularitas TRS bisa dinaikkan untuk menaikkan elektabilitas. Di beberapa kecamatan elektabilitas TRS bisa meningkat efektif sampai 35 persen.
Kenapa Ahok pada popularitas yang tinggi masih tetap bisa mempertahankan dan bahkan meningkatkan elektabilitasnya? Itu karena 30-40 persen masyarakat Jakarta sudah merasakan kemajuan di bawah pemerintahan Ahok. Jadi mereka tidak ingin berspekulasi untuk memilih calon yang lain yang belum tentu bisa sehebat petahana. Survei itu menunjukkan 75 persen masyarakat Jakarta mengaku puas dengan kinerja Ahok dan menganggapnya mampu membawa Jakrta menjadi lebih baik.
Tiga indikator membuat Ahok unggul di atas pasangan lain yaitu keterpilihan, kemantapan pemilih yang sudah solid, dan citra positif Ahok sebagai gubernur yang berhasil
Bagaimana dengan Hulman? Hasil survey menunjukkan bahwa hanya 21,8 persen rakyat puas dengan kinerja Hulman. Sebanyak 37,3 persen menganggap biasa saja, dan 39,8 persen tidak puas dengan kinerja Hulman. Akhirnya secara kumulatif nilai rapor merah Hulman 5,81 dan nilai wakilnya 5,73.
Jika survey memperlihatkan bahwa 42,6 persen bilang keadaan ekonomi tidak berubah, dan 48,2 persen mengatakan keadaan Siantar tidak ada perubahan, lalu kenapa PNS cenderung memilih Hulman? Mungkin saja karena para pejabat PNS bersikap safety player, berjalan dalam zona aman dan nyaman. Bagi sebagian elit PNS tak penting pengabdian yang terukur kepada rakyat, yang penting adalah bisa ‘sejahtera’ dibawah kepemimpinan Hulman. Tapi mengingat jumlahnya yang kecil, maka elit PNS tersebut tak signifikan bisa mempengaruhi pemilih.
Nah, itulah sekedar gambaran Ahok dan Hulman awal September 2016 yang lalu. Di pertengahan November ini mungkin sudah berubah. Tentu saja tak sepadan membandingkan Jakarta dan Siantar. Tapi kota-kota seperti Siantar bisa bercermin dari Jakarta, sebab disana ada pertaruhan Indonesia.
Lalu, what next warga Siantar? Gampang saja, masuklah ke bilik suara 16 Nopember 2016 untuk memilih Walikota 2016-2021. Apakah akan memilih petahana Hulman dengan kinerja yang sudah keluar nilai rapornya, atau memilih kandidat lain yang memberi harapan perubahan? Kertas suara telah disediakan, selanjutnya terserah anda …. #
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H