Mohon tunggu...
Marim Purba
Marim Purba Mohon Tunggu... lainnya -

Ada dimana-mana walau tak kemana-mana, lebih banyak di sekitar Jakarta- Depok. Mengorganisasikan kelompok-kelompok, membantu orang berpikir, dan menuliskannya ..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nanda Pahlawan Woody

5 November 2014   17:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:34 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu aku disambungkan bertelepon dengan anak kecil ringkih. Pada telepon yang pertama kedengarannya ia cuma bergumam saja, tapi ketika disambungkan telepon untuk kedua kalinya kudengar permintaan singkatnya ditengah suara tak beraturan, “Pak De, minta dibelikan Woody..” Dan aku berjanji mengiyakan, seraya menghibur disertai harap, “Nanda cepat sembuh ya nak.”

Woody yang dimaksudnya adalah mainan Andy dalam kisah film Toys Story. Aku tak tahu entah kapan Nanda nonton film Toys Story dan kemudian menyukai tokoh Woody si koboi nyentrik.
Sebelumnya aku memang sudah dikirimi foto Nanda sedang terbaring di rumah sakit Adam Malik Medan. Badannya kurus kering dan satu dua selang tersambung ke tubuhnya, termasuk bantuan oksigen untuk bernafas. Paru-parunya memang sedang diserang hebat. Konon itulah pembicaraan terakhirnya, setelah itu ia tak bisa bicara lagi. Cukup dengan mengedipkan mata untuk kode ‘iya.’

Nanda (10 thn), begitu ia dipanggil, adalah anak kecil biasa diantara jutaan anak yang tersisihkan di muka bumi ini. Hidupnya terdampar kesana sini, berpindah-pindah dari rumah ke pondokan lain. Aku tak tahu ia orang dari suku mana, tapi aku tak peduli. Mulanya ia piatu, dan tak lama sesudahnya ia yatim piatu. Masih begitu kecil ketika kedua orangtuanya meninggal dunia. Lalu hidupnya pun tersandera oleh HIV/Aids.

Jika ke Medan aku sering menemuinya, menuntunnya. Dan tangannya yang rapuh menggenggam erat tiga jariku, seakan tak mau melepas. Dalam denyut genggamnya aku merasa ia merindukan ‘ayah.’ Sering ia minta digendong dipunggung, dan aku tak keberatan. Selain untuk menyenangkannya, juga karena tubuhnya tak berat, bahkan sangat ringan. Kalau aku datang, ia tahu akan diajak jalan-jalan, dan makan di restoran, dan dapat mainan. Ketika tenggelam dalam kesibukan maka Nanda akan telepon, ‘kapan Pak De datang?’ tanyanya riang.
Nanda memang penuh tawa, suka usil, dan statementnya sering mengejutkan untuk anak seusianya. Referensinya cuma dari pembicaraan sekitar dan percakapan di TV, sebab Nanda memang belum bisa membaca. Sekolah yang didera stigma ‘menolak’ untuk menerimanya, seolah melegalisasi bahwa penderita HIV/Aids harus ‘disingkirkan.’ Tapi Nanda tak hirau. Hatinya terlalu putih untuk terluka. Apalagi sesungguhnya ia anak cerdas.

Kegembiraannya otentik, sebab dalam kesadaran kesakitan dan hidup terbatas, ia kerap tertawa terbahak-bahak. Seolah menertawakan ironi kehidupan. Puluhan kali masuk rumah sakit dilakoninya dengan ringan. Bahkan sekian kali menyaksikan anak-anak sebayanya menghembuskan nafas di ranjang sebelah adalah realitas yang dilihatnya dengan datar.

Baginya angka sembilan paling diingat. Jam sembilan pagi minum antiretroviral dan jam sembilan malam minum antiretroviral. Begitulah rutinitas itu ditekuninya selama bertahun-tahun. Minum obat sepahit apapun dilakukan dengan senyum. Ia mengerti dengan takdirnya.

Pernah ia batuk hebat sambil bersimpuh dikakiku, sampai dadanya terlihat melengkung. Setiap tarikan batuknya seolah membongkar tulang tubuhnya. Air matanya keluar menahan sakit, mukanya merah dengan mulut megap meraih secuil udara untuk paru-parunya. Mengenaskan. Dan air mataku jatuh sambil memeluknya.

Tapi setelah batuknya reda ia kembali tertawa. “Pak de, kapan kita jalan-jalan?” Adalah teman crew Net.TV yang menganjurkan Nanda memanggilku ‘Pakde.’

Sejak permintaan via telepon itu aku pun berburu woody, seperti mencari koboi pengembara di padang pasir. Beberapa toko mainan kudatangi tapi kebanyakan cuma boneka perempuan. Kali ini boneka benar-benar tak memihak anak lelaki. Memang kulihat ada di penjualan online, tapi aku khawatir pengirimannya lama.

Aku sadar sedang berlomba mencapai garis Tuhan bagi Nanda. Kakaknya Nanda beritahu via inbox fB, “Dia asik kedipkan mata aja kalo ditanyakin woody itu.” Aduh…

Orang yang kuminta mencari di Medan juga tak menemui Woody. Malah si Buzz Lightyear yang banyak bertengger di etalase mainan. Tadi siang boneka itu ditemukan di Central Park tapi kubatalkan, karena kulihat jauh dari profil Woody. Terlalu lebay untuk tokoh sang koboy.
Oh Tuhan, kenapa Nanda meminta ‘barang sederhana’ yang justru sulit kutemukan dikesakitannya yang semakin kritis? Beberapa hari ini aku berjalan jauh dengan lutut tertekan, setengah menangis menyisiri toko demi toko. Mungkin aku yang kurang gigih, atau tak menemukan kidz station yang tepat.

Saat yang kutakutkan tiba. Nanda lupa dengan permintaannya, karena sejak kemarin ia tak sadarkan diri... Aku kalah tak bisa membela Nanda dalam sejengkal hidupnya. Maafkan aku sobat.
Tadi sore aku menerima email, photoku bersama Nanda. Dan malam ini aku menerima pemberitahuan via SMS : “Innalillahi wainna ilaihirojiun,. Allah telah mengambil Nanda kepangkuanNya, hari ini Kamis pukul 23.15 wib.” Tangisku pecah.

Ah, ampuni aku Tuhan, kenapa permintaan terakhir Nanda saat ia masih bisa bicara terakhir kalinya tak bisa kupenuhi? Kenapa ia seolah menunggu fotoku dengannya dikirim via email baru kemudian Nanda pergi? Aku tak menemukan jawabnya.

Walau Woody bersikap kesatria dihadapan jutaan penonton dalam menyelamatkan Buzz dan kawan-kawan yang terbawa truck Andy dalam kisah Toys Story, tapi Woody dan aku harus mengakui bahwa Nanda yang telah pergi adalah pahlawan kehidupan kami. Ah, kesedihan yang tak tertahan. Aku menangis mengenang Nanda, seraya mengikhlaskannya kepangkuan Ilahi.

Kuingat beberapa bulan lalu saat Nanda usai sholat dan kutanya, ‘Siapa yang Nanda doakan?’ Ia menjawab perlahan sambil memelukku, ‘Nanda mendoakan almarhum ayah dan ibu, juga mendoakan Pak De.’ Aku terharu. Dan ketika kutanya apa lagi permintaan doanya. Ia tersenyum sambil menjawab, ‘Nanda memohon kepada Allah, jika Nanda mati minta masuk surga.’

Ya, Muhammad Ananda Lesmana, surga lah bagianmu.
Selamat jalan sobat kecilku. Salam dari Woody, teman yang kau cari.

Depok, Jumat (30/10) Dinihari Duka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun