Pengangkatan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Jokowi menimbulkan banyak kritikan. Soalnya, kendati Prasetyo lama berkarir sebagai Jaksa, namun juga politisi Partai Nasdem. Makanya, Jokowi langsung dituding terintimidasi oleh parpol pendukungnya.
Padahal jika dicermati dari awal dukungan Pilpres dan visi misi Jokowi, penunjukan Jaksa Agung dari kalangan politisi bukan suatu yang aneh dan sudah terbaca maksudnya. Lihat kembali apa visi misi Jokowi dalam penegakan supremasi hukum. Selain reformasi hukum, juga janji untuk menuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu.
Soal penuntasan HAM, bukan aspirasi baru dari sebagian rakyat Indonesia. Mulai dari Presiden Gus Dur, Megawati dan SBY soal HAM selalu menjadi aspirasi yang tidak berhasil dipenuhi pemerintah. Kendati tidak terpenuhi, aspirasi penuntasan HAM tidak pernah mati dan terus diperjuangkan.
Padahal masalah pelanggaran HAM bukan perkara kecil. Soal HAM lebih berat dari pemberantasan korupsi atau juga reformasi hukum. Pelanggaran HAM bukan hanya sebatas mau atau tidak mau menuntaskan, namun ada perlawanan yang sangat kuat dari pelanggar HAM.
Coba lihat siapa tokoh yang terindikasi pelanggaran HAM? Dari kubu pendukung Jokowi saja masih ada yang terkait HAM. Wiranto Ketua Umum Hanura, AM Hendropriono, Luhut Panjaitan belum bisa bersih dari indikasi ketelibatan pelanggaran HAM. Jika terlibat, tentunya mereka memiliki kekuatan untuk melawan penuntasan kasus HAM.
Kekuatan yang paling nyata tentu dari Prabowo Subianto. Tokoh nasional yang hampir saja menjadi orang nomor satu di republik ini masih menyisakan catatan HAM tahun 1998. Jangan ragukan kekuatan politik Ketua Umum Partai Gerindra ini apalagi ditambah dengan solidnya dukungan dari partai-partai Koalisi Merah Putih (KMP).
Memang pelanggaran HAM adalah persoalan hukum. Namun harus diingat, hukum dan politik saling menguasai. Hukum memang bisa menguasai politik, tapi hukum adalah produk politik. Saat kekuatan politik menguat, maka hukum tidak berdaya dan hukum bisa berubah sesuai dengan kepentingan politik.
Seperti kudeta, awalnya adalah perbuatan makar bertentangan dengan hukum, tapi saat pemerintah yang sah berhasil dilengserkan maka kudeta sah secara hukum. Atau contoh yang baru saja terjadi di DPR, karena kekuatan politik, UU MD3 bisa direvisi dan Golkar bisa menjadi ketua DPR. Jika tidak ada kekuatan politik merubah UU MD3, maka aturan lama PDIP sebagai partai pemenang pemilu yang menjadi ketua DPR.
Begitu juga dengan pelanggaran HAM yang melibatkan tokoh-tokoh politik. Dengan kekuatan politik, kasus pelanggaran HAM bisa dijadikan isu politik dan bisa mengalahkan kekuatan hukum. Makanya, untuk menuntaskan pelanggaran HAM, yang dibutuhkan Jaksa Agung yang tidak hanya menguasai hukum, tapi juga menguasai dan mempunyai kekuatan politik.
Kekuatan politik Jaksa Agung untuk masalah HAM bukan hanya dukungan dari partai politik atau DPR. Melainkan dari kalangan masyarakat yang menyuarakan dan memperjuangkan penuntasan pelanggaran HAM. Makanya, dibutuhkan Jaksa Agung yang bisa merangkul aktivis agar menjadi kekuatan untuk menandingi kekuatan politik yang menjadi kekuatan pelanggar HAM.
Hal ini akan segera dilakukan Jaksa Agung seperti pernyataan saat dia menjawab pertanyaan wartawan. Prasetyo mengatakan, para aktivis HAM akan diajak berdiskusi untuk mengungkap dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Dengan pertemuan tersebut, dia berharap kasus pelanggaran HAM yang selama ini seperti berjalan ditempat bisa terselesaikan. "Agar semuanya jadi terbuka," ucap Prasetyo.
Prasetyo menambahkan, selain menggandeng aktivis HAM, peran dari DPR, Jajaran Komnas HAM, dan pihak pengadilan, juga sangat diperlukan dalam rangka menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. "Ini bukan hanya tanggung jawab Kejaksaan, tetapi tanggung jawab kita semua," ucap Prasetyo. (sumber:kompas.com)
Perlawanan dari Prabowo juga sudah terlihat secara nyata usai dilantiknya HM Prasetyo. Simak saja pernyataan Prabowo yang mendukung Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar. Seperti yang saya tuliskan di artikel berjudul 'Otak KMP, Ical Tidak Terbendung di Munas Golkar', Partai Golkar dan Ical adalah kunci penting menjaga solidnya KMP.
Upaya penggalangan dukungan dan kekuatan politik Prabowo juga terlihat dengan pembentukan KMP di DPRD beberapa provinsi. Bahkan di deklarasi KMP DIY, pendukung Prabowo dengan keras meneriakan 'turunkan Jokowi, ganti Prabowo. Memang, KMP tidak hanya menjadi kekuatan Prabowo, partai-partai dalam KMP juga memiliki kepentingan tersendiri dengan kekuatan politi di KMP. Tentunya kerjasama yang saling menguntungkan.
Dari pemaparan diatas, sudah jelas terbaca mengapa Jokowi lebih memilih HM Prasetyo dibanding tokoh lain yang layak menjadi Jaksa Agung. Namun tidak mudah menyimpulkan, apakah tujuan Jokowi menyeret Prabowo itu karena persoalan politik sebagai rival Pilpres atau karena murni karena aspirasi rakyat yang meminta penuntasan pelanggaran HAM yang salah satunya mengarah ke Prabowo.
Yang jelas, tugas HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung sangat berat dan menghadapi banyak perlawanan secara politik. Perlawanan itu tidak hanya mengancam Prasetyo, tetapi juga mengancam kedudukan Jokowi. Apalagi masalah HAM juga berkaitan dengan petinggi partai pendukung Jokowi sendiri.
Jika Wiranto, Luhut Panjaitan AM Hendropriono bergabung dengan kekuatan Prabowo tentunya penuntasan pelanggaran HAM kian berat. Bukan tidak mungkin, Jokowi berkompromi dengan pelanggar HAM dan pada akhirnya HM Prasetyo dikorbankan. Dan muaranya, keluarga korban dan pejuang HAM akan kembali gigit jari.
Akhir kata, berhasil tidaknya penuntasan kasus HAM tergantung dari kemampuan politik HM Prasetyo untuk menggalang kekuatan. Jika Prasetyo bisa menggalang kekuatan politik di DPR dan rakyat Indonesia maka kasus HAM masa lalu bisa dituntaskan dan begitu juga sebaliknya. Makanya bukan hal aneh jika posisi Jaksa Agung diberikan kepada seorang politisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H