Mohon tunggu...
sigit setiawan
sigit setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Jurusan Karawitan ISI Surakarta

Pecinta Gamelan dan Wayang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Kembali Bothekan Karawitan II: Garap

31 Maret 2020   00:41 Diperbarui: 31 Maret 2020   00:51 1648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penulis berasumsi bahwa dengan adanya tujuan ini maka karakter musikal gendingpun akan terbentuk. Sebagai contoh, gending Irian Barat Karya Martopangrawit karena ditujukan sebagai media perjuangan terhadap penjajah Belanda pada tahun 1960-an maka membawa dampak karakter musikalnya yang cenderung "tegas", "keras", dan "patriotik (bahasanya)". Hal ini menggambarkan bagaimana tujuan menjadi faktor penting yang hasilnya akan menentukan karakter musikal sebuah gending.

Seperti yang kita ketahui, bahwa lahirnya sebuah teori berasal dari sebuah perenungan yang dalam hiangga melahirkan suatu gagasan dimana gagasan tersebut merupakan satu kerangka pikir yang dapat digunakan sebagai pijakan norma. Salah satunya lahir dari para filosof-filosof dan pujangga-pujangga. Kemudian lahirnya teori dapat berdasarkan satu pengalaman empirik yang dituangkan dalam sebuah kerangka ilmiah dan didudukan sebagai landasan pikir. 

Pengertian teakhir inilah yang sering dijumpai dalam penulisan-penulisan ilmiah. Ketika Garap didudukan dalam ranah dan teori, sebenarnya tulisan Supanggah tersebut merupakan gabungan dari keduanya, selain lahir dari sebuah perenungan juga lahir karena pengalaman empirik yang telah ia lalui selama ini. Supanggah melihat garap sebagai sesuatu yang bergerak diantara ruang dan waktu. Sudut pandang yang dia pilih adalah, sudut pandang pengrawit. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya ketika karawitan dipandang dari sisi antropologi, sosial, histori dan disiplin ilmu yang lain, Supanggah melihat karawitan dari sisi pelaku, seniman, pengrawit, insider.

Sebenarnya tulisan Supanggah mengenai garap ini, telah membuka beberapa mata peneliti yang sering keliru dalam melihat sisi karawitan dan sering menjadikan hasil penelitian tersebut menjadi salah arah. 

Pertimbangan garap yang begitu banyak, sebenarnya sesuatu yang tidak disadari atau dengan kata lain, sebenarnya semua hal yang dipaparkan oleh Supanggah adalah sesuatu yang sudah menjadi jiwa, kasarira, menjadi satu dan sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang harus dipikirkan secara detail, "serius" dan mendetail. Semuanya dilalui para pengrawit dengan naluri mereka. Naluri-naluri pengrawit -- yang kebetulan Supanggah adalah seorang pengrawit pula -- inilah yang kemudian dicatat, disarikan, dipotret, serta melahirkan buku berjudul Garap. 

Sebenarnya setiap pengrawit mempunyai intuisi untuk membukukan apa yang dia alami, tetapi seperti pendapat Supanggah di depan bahwa menulis belum menjadi iklim yang bagus, tentu saja pengrawit tidak memusingkan masalah itu karena mereka memang "murni" sebagai pelaku seni, tidak memusingkan masalah tulis-menulis, itu tugas para peneliti, seniman akademis(?). Rahayu Supanggah mengakui bahwa tulisannya ini memang disengaja untuk tidak ilmiah berikut pengakuan atasnya. Namun dengan "ketidak-ilmiahan" justru menjadikan buku Bothekan II : Garap menjadi menjelaskan "apa itu karawitan Jawa" dari sudut pandang pemiliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun