Memasuki pelataran pintu gerbang Kebon Binatang (Bonbin) 'Gembiraloka' di Jogja, ibarat memasuki mesin waktu masa lampau yang penuh kenangan tak terlupakan bagi saya. Di tempat itu saya pernah menikmati masa kecil saya bersama dengan keluarga saya atau saodara-saodara saya dan teman-teman saya semasa SMP dan SMA.
Ketika saya kembali ke tempat wisata Gembiraloka, hari Minggu kemarin, untuk mengantar keponakan-keponakan dan juga anak saya, saya kembali mencoba melihat dan meresapi kembali kenangan masa lalu saya ketika diajak oleh almarhum Bapak saya. Saya lihat relief Singa dan Harimau di kiri dan kanan pintu gerbang. Relief tersebut masih tetap sama dengan kondisi pada tahun 1970an atau 1980-an. Selain itu pada dinding di lobby ruang antrian masuk juga masih tertempel 'plakat' peresmian sarana wisata Kebun Binatang dan Kebun Raya Gembiraloka yang hingga kini belum dicopot atau dipindah.
[caption id="attachment_320915" align="aligncenter" width="590" caption="Pintu gerbang Bonbin."][/caption]
[caption id="attachment_320916" align="aligncenter" width="448" caption="Jalan setapak dan hutan disekitarnya."]
[caption id="attachment_320920" align="aligncenter" width="448" caption="Bangunan berbentuk perahu."]
[caption id="attachment_320922" align="aligncenter" width="448" caption="Perahu kayu masa lalu yang dijadikan monumen."]
[caption id="attachment_320923" align="aligncenter" width="448" caption="Bangunan restauran peninggalan masa lalu."]
[caption id="attachment_320924" align="aligncenter" width="448" caption="Dapur restauran masa lalu."]
Ketika kaki telah keluar dari gerbang, tampak oleh saya sebuah pesawat latih militer T-6 'Texan' berwarna silver yang juga telah berusia puluhan tahun, diparkir di sebuah plaza, diantara pepohonan. Selanjutnya saya menyusuri jalan setapak menurun menuju ke jembatan yang melintasi sungai Gajah Wong. Memori saya kembali teraduk-aduk ketika melintasi jembatan dan mengamati aliran sungai yang mengalir tenang di bawahnya. Sesaat kemudian wajah saya mengarah pada sebuah bangunan berbentuk kapal yang terletak persis di tengah danau. Bangunan yang diberi nama; 'Mayang Tirto' itu selalu saya datangi sekedar untuk melihat koleksi awetan binatang yang dipajang di bagian atas sebuah ruangan mirip ruang kemudi kapal tanker atau kapal penumpang. Sedangkan bangunan aula yang beratap seng di bagian depan, pada masa kecil saya selalu dalam situasi sepi. Bila saya berada diujung 'haluan', seolah-olah saya seperti sedang menatap lautan di depannya. Dahulu, saya pernah mendengar cerita bahwa ada seorang yang mati tenggelam di danau tersebut, kemudian untuk menemukan jenazahnya, air danau itu harus dikuras sampai kering. Saya pikir cerita itu pasti bohong, sebab mana mungkin bisa para pencari jenazah mengosongkan air danau sebanyak itu.
Minggu siang kemarin saya tercengang melihat penampilan bangunan 'Mayang Tirto' yang telah berubah. Pasca gempa bumi tahun 2006 yang membuat bangunan berbentuk kapal itu retak-retak, dan menara tempat menyimpan binatang awetannya runtuh sebagian, saya merasa bahwa 'Gembiraloka' seakan-akan seperti sekarat menjelang kematiannya. Namun kemarin saya melihat Bonbin 'Gembiraloka' telah kembali cerah. 'Mayang Tirto' telah disulap menjadi sebuah restaurant atau café. Perahu-perahu wisata yang terbuat dari bahan stainless steel dan fiberglass terlihat sangat menawan, menggantikan jenis perahu kayu masa lampau yang terlihat tua dan terengah-engah kekurangan tenaga saat dijalankan. Speedboat yang lazimnya digunakan dilaut lepas juga terlihat digunakan bermanuver dengan kecepatan tinggi untuk membawa penumpang yang berminat menikmati atraksi di tengah danau. Saya merasa ngeri melihat speedboat berpenumpang 3 atau 4 orang itu meliuk-liuk melaju di tepian danau yang tidak begitu luas.
Pada tepi danau sebelah Barat terlihat sebuah bangunan beratap seng gelombang bekas restaurant yang masih tegak berdiri. Saya selalu teringat pada jenis minuman limun bersoda yang dikemas dengan botol dan ditutup dengan tutup keramik berkawat untuk mengikatnya di leher botol, yang dijual di tempat tersebut. Bangunan restaurant yang dulu terkesan elit karena uang saku saya tidak cukup untuk membeli Bakso, nasi goreng, dan minuman bersoda, kini terlihat merana. Selain itu bangunan dapur tempat memasak para juru masak di sebelahnya juga telah ditutup rapat-rapat pada bagian jendelanya. Bangunan asli tersebut tidak mungkin dihancurkan karena di bagian kolom penahan atapnya masih tertempel sebuah prasasti peresmian yang bersejarah. Bila melihat bangunan itu saya seakan-akan seperti mendengar alunan lagu-lagu tempo dulu yang dinyanyikan oleh penyanyi: Lilis Suryani, Erni Johan, Rahmat Kartolo, atau penyanyi keroncong Gesang dan Waljinah.