Mohon tunggu...
Sigit Riyanto
Sigit Riyanto Mohon Tunggu... Insinyur - Activity

Menempuh pendidikan di Teknik Geodesi UGM Yogyakarta, sempat bekerja di 2 perusahaan tambang di kalimantan dan salah satu vendor peralatan survey dan pemetaan terkemuka di Indonesia. Saat ini aktif mengembangkan, merakit, dan menganalisa penggunaan pesawat tanpa awak untuk pemetaan atau lebih dikenal dengan unmanned aerial vehicle / drone untuk pemetaan. Aktif dalam pemantauan kubah lava G. Merapi menggunakan pesawat rakitan, menghitung volume dan luas bentuk kubah lava merapi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pulang Kampung

1 Maret 2010   04:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:41 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Foto 1"][/caption]

Segarnya udara pagi, suara jangkrik dan kicauan burung. Persis seperti di film-film Indonesia yang mengisahkan suasana desa di tahun perjuangan. Itulah sekilas gambaran desaku. Di Desa Margototo perbatasan antara Kota Metro dan Kabupaten Lampung Timur. Kira-kira 24 tahun lalu seorang anak dilahirkan di desa ini. Tumbuh besar di sebuah keluarga petani sederhana.

Anak ini tumbuh dengan segala keterbatasan dan ketidakmampuan sebuah kelurga kecil petani. Berbekal tekad dan keras kepala yang nampaknya memang penyakit turunan, anak ini tumbuh tidak seperti anak-anak lainnya. Sifat keras kepalanya membawanya ke sebuah petualangan hidup yang mengesankan. Keliling Indonesia, bahkan sempat juga menikmati suasana Eropa di Singapura. Namun tak sedikit penyakit keturunan ini mendatangkan masalah. Sebut saja S, guru di SD tempatnya mengeyam pendidikan dasar pernah menjadikannya murid teladan tapi juga sekaligus menyematkan gelar sebagai murid dengan perangai terburuk karena berani menentang guru. Akibatnya segenggam permen melayang dengan mulus di pipi kanan si anak. Tulisan ini tentu tidak akan membahas mengenai si anak. Saat ini si anak telah berubah menjadi orang yang lebih baik, Insyaallah. Setelah 12 jam menempuh perjalanan dari Jakarta ke Metro, bus Damri yang saat ini sangat popular menjadi sarana angkutan dari Metro ke Jakarta menghentikan lajunya di sudut kota kecil bernama Metro. Begitu turun dari bus mewah itu, aroma segar udara pagi khas campuran air sawah dan tanaman hijau padi yang baru berusia kira-kira 40 hari menyegarkan jantungku. Jalanan ramai anak sekolah dan petani yang menuju ke tempatnya masing-masing, dan lalu lalang kendaraan dari dan ke pasar terdekat membuat rindu dengan kampung halamanku semakin menjadi. Ini sebagian dari suasana Metro. Kota kecil. Agrarisnya terlihat dari banyaknya sawah yang mengelilingi kota ini. Di sudut lain berdiri kokoh gedung-gedung tinggi hingga 10 lantai. Rumah burung Walet. Metro memang dikenal dengan ternak Waletnya yang konon bisa menghasilkan duit ratusan juta rupiah untuk per kilogram sarangnya. [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Foto 2"]

Metro
Metro
[/caption] Di sudut lain berjejal kampus swasta, sekolah negeri favorit, dan tempat les. Sejak 6 tahun lalu walikota berencana menjadikan Metro sebagai salah satu kota tujuan belajar. Jadi jangan heran jika disini banyak sekali kampus swasta dan sekolah negeri, kejuruan dan swasta. Mayoritas penduduk Metro adalah orang Jawa, namun tidak sedikit orang Lampung, Palembang, Batak, Padang, dan suku lainnya hidup berdampingan. Keberagaman ini menjadikan Metro nyaris identik dengan kota-kota kecil di pulau Jawa. Namun cirri khas adat Lampung dan sentuhan modern membuat Metro menjadi kota kecil yang nyaman untuk ditinggali. Tidak banyak pilihan tempat wisata disini. Satu-satunya taman kota di pusat kota selalu ramai dijadikan tempat liburan dan bersantai dengan teman, pacar, atau keluarga. Letaknya cukup strategis. Di depan masjid kota, Taqwa, depan salah satu sisinya menghadap ke rumah dinas walikota dan wakilnya. Sedikit ke barat terdapat pusat perbelanjaan, pasar tradisional, dan bioskop. Berderet-deret bank pemerintah dan BUMN di sisi barat pusat perbelanjaan. [caption id="" align="aligncenter" width="470" caption="Foto3"]
Desaku
Desaku
[/caption] Uniknya lagi setiap orang dari luar Metro ketika sudah menikmati suasana dan masyarakatnya, mereka enggan untuk pindah ke tempat lain. Mungkin saat ini aku belum. Tapi bisa jadi suatu saat nanti sindrom Metroisme itu akan menyerangku. Meski baru akhir tahun lalu aku kembali ke kampung halamanku, serasa ada magnet yang menarik hatiku untuk kembali lagi. Rasa yang sama dengan kerinduanku pada Yogyakarta. Mungkin ini yang disebut cinta tanah di negeri sendiri tapi bukan kampung sendiri. Njilemet…susah dipahami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun