Mohon tunggu...
Sigit R
Sigit R Mohon Tunggu... Freelancer - masjid lurus, belok kiri gang kedua

Pedagang tanaman hias, menulis di waktu senggang, prefer dari teh daripada kopi, tinggal di Batam

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

UWTO Adalah Amunisi Ampuh di Pilwako Batam

21 Desember 2019   17:23 Diperbarui: 21 Desember 2019   17:25 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lahan di Kota Batam. Foto Antara/Joko Sulistyo

Dualisme birokrasi di Batam berakhir sejak pelantikkan Wali Kota Batam Muhammad Rudi sebagai ex officio Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam akhir September 2019 lalu. Rudi sebelumnya kerap menuding dualisme sebagai penghambat seretnya investasi masuk ke Batam.

Usai dilantik Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution resmi melantik Muhammad Rudi menjadi Kepala BP Batam di Jakarta, Jumat (27/9), Rudi langsung tancap gas. Secara resmi, dia mulai membagi waktu untuk berkantor di gedung pemko dan BP secara bergantian.

Salah satu yang kerap diutarakan Rudi sebelum menjabat wali kota adalah terkait pembebasan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) untuk lahan pemukiman di bawah 200 meter persegi. Dikutip dari pemberitaan sejumlah media di Batam, isu itu pulalah yang banyak mendatangkan dukungan. Tidak hanya dari masyarakat yang tinggal di kampung tua, tapi juga para warga di kompleks-kompleks perumahan. Pasalnya, akibat keterbatasan lahan, perumahan di Batam hanya dibangun dengan ukuran kecil-kecil saja.

Menjelang berakhirnya masa jabatan Rudi, isu pembebasan UWTO kembali mengemuka. Media massa mulai riuh memberitakan persoalan yang ternyata belum ada kejelasan itu. Sebagai janji politik, pembebasan iuran sewa tanah itu tidak begitu saja dapat ditunaikan.

Wakil Kepala BP Batam Purwiyanto, dikutip dari laman batampos.co.id juga mengaku belum ada pembicaraan lebih lanjut terkait pembebasan UWTO bagi sektor perumahan sederhana. Menurut dia, perkara UWTO tidak semata berkaitan dengan Kementerian Keuangan RI, namun juga dengan Presiden Joko Widodo.

"Belum ada pembicaraan dengan saya, belum tahu prosesnya, nanti saya pelajari dulu," ujarnya.

Namun Purwiyanto memberi harapan. Menurut dia, penghapusan UWTO untuk rumah dengan ukuran di bawah 200 meter persegi kemungkinan besar masih bisa terealisasi. Namun, belum pasti kapan waktunya.

Foto aerial kawasan industri di Batam. Foto Antara/Joko Sulistyo
Foto aerial kawasan industri di Batam. Foto Antara/Joko Sulistyo

Jika ditarik ke belakang, lahirnya Undang Undang Nomor 44 tahun 2007 yang menetapkan Batam Bintan dan Karimun sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Hal itu semula dimaksudkan untuk meningkatkan daya tarik  kawasan atau wilayah ekonomi khusus yang bersifat strategis bagi pengembangan perekonomian nasional.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 menyiratkan Otorita Batam (OB) beralih menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Kemudian dalam Hak Pengelolaan Tanah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 disebutkan Hak Pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam beralih kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam.

Berdasarkan jenis peraturan maka BP Batam mendapatkan hak pengelolaan lahan yang tertuang dalam Keputusan Presiden nomor 41 tahun 1973 tentang daerah industri pulau Batam juncto Keputusan Presiden nomor 94 tahun 1998 serta Undang undang FTZ nomor 44 tahun 2007 serta PP nomor 46, 47, dan 48 tahun 2007.

Sesuai kewenangan tersebut maka pihak ketiga sebagai perorangan, investor dan atau badan hukum sebagai penerima hak atas tanah di atas hak pengelolaan untuk taat dan patuh dalam menunaikan kewajiban pembayaran UWTO.

UWTO sejatinya adalah uang sewa tanah yang harus dibayarkan oleh pemohon alokasi tanah kepada Otorita Batam yang sekarang bernama Badan Pengusahaan (BP) Batam. Uang itu kemudian menjadi semacam modal bagi Batam untuk membangun infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur publik itu untuk menunjang pelayanan dan memaksimalkan pelaksanaan pengembangan Batam. Selain itu, infrastruktur yang memadai juga untuk menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian yang meliputi perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan lainnya.

UWTO dapat diperpanjang setelah 30 tahun lahan dipergunakan, untuk 20 tahun berikutnya, sepanjang masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) kota.

Pameran properti di Batam. Foto Antara/Joko Sulistyo
Pameran properti di Batam. Foto Antara/Joko Sulistyo

Belum jelasnya sengkarut UWTO ini membuat pengembangan sejumlah kawasan terhambat. Kalangan pengembang yang berhimpun dalam Real Estate Indonesia (REI) Batam menyebut, mereka tidak dapat membangun perumahan karena sejumlah lahan masih belum jelas statusnya. Jika sudah jelas dibebaskan, REI yakin harga rumah akan lebih kompetitif dan sektor properti semakin bergairah.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Batam Achyar Arfan mengungkapkan, di antara persoalan yang dihadapi para pengembang di Batam saat ini adalam masalah perizinan lahan yang lamban. Seperti penerbitan surat perjanjian (Spj), surat keputusan (Skep), dan fatwa planologi.

Menurut dia, ada dokumen lahan bertahun-tahun tak selesai meskipun sudah membayar UWTO 10 persen. Achyar menyebut, bahkan ada juga yang sudah memaparkan rencana bisnis, tapi malah tak ada kelanjutan.

Begitu juga dengan penerbitan fatwa planologi yang artinya si pemohon alokasi lahan sudah siap untuk berinvestasi, masih juga lambat terbitnya. Achyar juga mengungkapkan mengenai persoalan hak pengelolaan lahan (HPL) BP Batam.

"Ada beberapa wilayah sudah clear HPL tapi tak terbit-terbit HPL-nya. Padahal Batam sudah punya master plan. Contohnya kawasan Rempang dan Galang, makanya terhambat pembangunan jadinya," katanya.

Begitu juga dengan persoalan penataan kampung tua dan hunian tak legal yang disebutnya mencapai 5000 lebih. Pengembang minta diikutsertakan dalam praktiknya.

"Ada 2.200 hektare lahan kavling siap bangun (KSB) dan 55 persen belum dibangun," jelasnya.

Persoalan lahan memang tidak sederhana. Pun demikian dengan UWTO. Jika ada gejala simplifikasi, itu mungkin karena isu ini cukup seksi untuk dijadikan amunisi kampanye pada pesta pemilihan kepala daerah. Celakanya, janji politisi kadang sulit untuk dibayar.

Sekarang, tinggal warga Batam saja yang harus menentukan. Mau memakan umpan yang sama untuk kedua kalinya? ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun