Sesuai kewenangan tersebut maka pihak ketiga sebagai perorangan, investor dan atau badan hukum sebagai penerima hak atas tanah di atas hak pengelolaan untuk taat dan patuh dalam menunaikan kewajiban pembayaran UWTO.
UWTO sejatinya adalah uang sewa tanah yang harus dibayarkan oleh pemohon alokasi tanah kepada Otorita Batam yang sekarang bernama Badan Pengusahaan (BP) Batam. Uang itu kemudian menjadi semacam modal bagi Batam untuk membangun infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur publik itu untuk menunjang pelayanan dan memaksimalkan pelaksanaan pengembangan Batam. Selain itu, infrastruktur yang memadai juga untuk menjamin kegiatan usaha di bidang perekonomian yang meliputi perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan lainnya.
UWTO dapat diperpanjang setelah 30 tahun lahan dipergunakan, untuk 20 tahun berikutnya, sepanjang masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) kota.
Belum jelasnya sengkarut UWTO ini membuat pengembangan sejumlah kawasan terhambat. Kalangan pengembang yang berhimpun dalam Real Estate Indonesia (REI) Batam menyebut, mereka tidak dapat membangun perumahan karena sejumlah lahan masih belum jelas statusnya. Jika sudah jelas dibebaskan, REI yakin harga rumah akan lebih kompetitif dan sektor properti semakin bergairah.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Batam Achyar Arfan mengungkapkan, di antara persoalan yang dihadapi para pengembang di Batam saat ini adalam masalah perizinan lahan yang lamban. Seperti penerbitan surat perjanjian (Spj), surat keputusan (Skep), dan fatwa planologi.
Menurut dia, ada dokumen lahan bertahun-tahun tak selesai meskipun sudah membayar UWTO 10 persen. Achyar menyebut, bahkan ada juga yang sudah memaparkan rencana bisnis, tapi malah tak ada kelanjutan.
Begitu juga dengan penerbitan fatwa planologi yang artinya si pemohon alokasi lahan sudah siap untuk berinvestasi, masih juga lambat terbitnya. Achyar juga mengungkapkan mengenai persoalan hak pengelolaan lahan (HPL) BP Batam.
"Ada beberapa wilayah sudah clear HPL tapi tak terbit-terbit HPL-nya. Padahal Batam sudah punya master plan. Contohnya kawasan Rempang dan Galang, makanya terhambat pembangunan jadinya," katanya.
Begitu juga dengan persoalan penataan kampung tua dan hunian tak legal yang disebutnya mencapai 5000 lebih. Pengembang minta diikutsertakan dalam praktiknya.
"Ada 2.200 hektare lahan kavling siap bangun (KSB) dan 55 persen belum dibangun," jelasnya.