Persoalan banjir selalu menghantui Kota Batam sepanjang tahun. Pasalnya, pulau itu oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dikategorikan beriklim non Zona Musim (Non ZOM) itu tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara musim hujan dan kemarau.
Saat panas menyengat dan daerah lain mengalami kekeringan, Batam bisa saja mendadak hujan lebat. Intensitas dan frekwensi turunnya hujan akan semakin sering saat daerah lain sedang musim penghujan.
Ketika hujan turun dengan intensitas sedang selama beberapa jam, luapan air lazim terjadi di sejumlah sudut kota. Banjir tidak tergantung lokasi, tidak hanya di daerah pinggiran seperti Batuaji, Sagulung, atau wilayah Bengkong. Namun banjir juga dapat melanda kawasan pusat kota, di Batam Centre.
Sayangnya, pemerintah terkesan gagap menghadapi ancaman banjir yang rutin datang. Berbagai proyek normalisasi saluran air kerap dilakukan. Perbaikan gorong-gorong dan berbagai kegiatan kerja bakti membersihkan sampah juga rutin digelar.
Akan tetapi, Batam selalu kalah oleh alam. Banjir terus saja melanda, tak peduli seberapa kuat upaya mencegahnya.
Tidak hanya membikin lalulintas macet, pemukiman terendam dan aktivitas warga terganggu. Banjir di Batam juga mulai mengancam sumber air baku. Pulau Batam tidak memiliki banyak persediaan air baku. Untuk memenuhi kebutuhan, Badan Pengusahaan (BP) Batam jauh-jauh hari menyiapkan beberapa waduk. Sebut saja, Seiharapan, Duriangkang, Seiladi, Tembesi, dan Seigong.
Pada awal pengembangannya tahun 70an silam, Kota Batam didesain untuk 6000 penghuni. Magnet pertumbuhan ekonomi Batam yang begitu kuat menyedot migran dari daerah lain dan menyebabkan penduduk Batam membengkak 158 kali lipat hanya dalam kurun 40 tahunan. Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batam, lebih dari 1 juta warga menghuni Batam kini.
Ironisnya, Batam tidak dapat menyediakan sumber air yang memadai. Untuk memenuhi kebutuhan, kota itu hanya mengandalkan waduk-waduk buatan.Â
Terkini, pemerintah membangun lagi satu waduk dengan menyekat laut, memanfaatkan air asin yang dilokalisir dan dibiarkan berproses menjadi air tawar secara alami.
Saat persediaan air baku menjadi kebutuhan mendesak, banjir yang mulai mengarah ke dam menjadi permasalahan serius apabila tidak ditangani. Sejauh ini, BP Batam terus melakukan penanganan sampah dan lumpur di bangunan sedimentasi trap dan trash rack.Â
Seperti yang dilakukan di saluran yang berada di depan Kepri mall Batam Centre. Upaya tersebut dilakukan untuk mencegah air banjir dan sampah masuk ke dam Duriangkang.
Padahal, hanya waduk-waduk itulah penyangga kebutuhan air untuk seluruh wilayah Batam. Jika hujan, air masuk membawa sampah, persediaan yang terbatas itu akan tercemar. Dampaknya, mungkin akan sangat merugikan masyarakat.
Idealnya, BP Batam tidak dibiarkan sendirian mengurus persoalan air baku. Meskipun konsesi atas air dipegang Adya Tirta Batam (ATB) dari BP Batam, namun menjamin air baku tetap tersedia menjadi tanggung jawab bersama.
Pemerintah Kota Batam mestinya mendukung dengan wewenangnya untuk mengurangi faktor resiko dan cemaran penampungan air baku akibat banjir. Persoalan paling mencolok adalah gagalnya sistem persampahan kota.
Benang kusut persoalan sampah yang tidak diurai membuat banyak warga kemudian memilih melemparkan sampah ke saluran air. Saat hujan tiba, gorong-gorong mampet dan diikuti oleh luapan air. Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi di wilayah pesisir.
Di kawasan Bengkong, Sekupang, Telagapunggur, bahkan di Tanjungpiayu dan Nongsa, sejumlah kanal penghubung daratan ke laut kerap dipenuhi sampah kota.
Ke depan, seluruh pemangku kepentingan mestinya dapat duduk bersama, mencari solusi dan berbagi tugas. Bukan hanya untuk mengatasi banjir saat hujan tiba, namun juga dalam rangka menjamin sumber air baku yang terbatas jumlahnya tidak tercemar.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H