Mohon tunggu...
Sigit R
Sigit R Mohon Tunggu... Freelancer - masjid lurus, belok kiri gang kedua

Pedagang tanaman hias, menulis di waktu senggang, prefer dari teh daripada kopi, tinggal di Batam

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mencari Berkah dari Sampah Kota Batam

27 November 2019   11:13 Diperbarui: 27 November 2019   11:18 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah pemulung menyerbu truk yang menurunkan sampah di TPA Telagapunggur, Batam. Foto/Joko Sulistyo

Era moderen di Pulau Batam dimulai pada dekade 1960an. Saat itu, Indonesia berupaya membangun gudang logistik Pertamina di Pulau Sambu, sekira 2 mil dari Batam. Melalui Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973.  

Melalui SK itu, Pulau Batam ditetapkan sebagai lingkungan kerja daerah industri dengan didukung oleh Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam (BOB) sebagai penggerak pembangunan Batam. 

Perkembangan berlanjut seiring meningkatnya jumlah penduduk yang bermigrasi untuk bekerja di Batam. Pada tahun 1983, pemerintah membuat Batam menjadi kotamadya dengan memekarkan Kecamatan Batam yang semula merupakan bagian dari Riau. Pada awal dikembangkan, Batam didesain sebagai kota kecil dengan jumlah penduduk terbatas. 

Namun magnet ekonomi mengundang para migran untuk mengadu nasib di Batam. Hal itu membuat penduduk Batam membengkak hingga 1 juta orang lebih tahun 2019 ini.

Persoalan yang hampir selalu ada pada peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan produksi sampah, terutama sampah rumah tangga. Volume itu masih ditambah dengan sampah dari aktivitas pabrik yang jumlahnya ratusan di Batam. 

Secara angka, Batam memproduksi sampah nyaris 1000 ton perhari. Volume sebesar itu bertahun-tahun telah menjadi persoalan tak terselesaikan karena pengelolaan sampah hanya mengandalkan teknik konvensional. Tak ayal, TPA Telagapunggur dengan luasan mencapai 46,8 hektare hanya digunakan sebagai lokasi penimbunan.

Truk-truk pengangkut sampah hilir mudik menurunkan muatan adalah pemandangan sehari-hari TPA Telagapunggur. Ambrolnya muatan dump truck di TPA selalu riuh rendah oleh pemulung yang mengaduk-aduk tumpukan, mencari barang yang masih dapat dipergunakan. Mereka memungut plastik dan logam pada umumnya. Sementara, sampah kayu, kain dan sisa makanan ditinggalkan begitu saja.

Tanpa pengolahan, sampah di TPA Telagapunggur yang tidak dipungut pemulung bertahun-tahun hanya menumpuk di lokasi itu. Aroma menyengat dari TPA terbawa angin hingga ke jalan raya yang berjarak 2 kilometer. Hampir tiap tahun, terjadi peristiwa kebakaran di lahan yang semula diklaim mampu menampung sampah Kota Batam untuk 50 tahun ke depan itu.

Sejumlah pemulung menyerbu truk yang menurunkan sampah di TPA Telagapunggur, Batam. Foto/Joko Sulistyo
Sejumlah pemulung menyerbu truk yang menurunkan sampah di TPA Telagapunggur, Batam. Foto/Joko Sulistyo
Batam terus dikembangkan, investasi terus berdatangan. Sayangnya, kota ini terkesan kurang siap mengelola dampak  lingkungan yang ditimbulkan. Kondisi sampah tak terkelola di TPA itu diperparah dengan adanya sejumlah titik pembuangan tak resmi di berbagai lokasi. Tengok saja, nyaris di setiap lahan kosong selalu terdapat kantong-kantong kresek berisi sampah yang dibuang warga.

Letaknya bahkan tidak selalu berada di tempat sepi. Area Batam Centre, Sekupang, dan Tanjungpiayu misalnya. Sedikit saja ada lahan terbuka di tepian jalan, bungkusan sampah akan dengan mudah kita jumpai.

Sejumlah warga yang secara acak ditemui mengaku tidak punya pilihan lain kecuali membuang sampahnya di pinggiran jalan. Pasalnya, pengangkutan sampah di komplek pemukiman tidak selalu lancar. Kondisi itu kian parah saat libur panjang seperti hari raya keagamaan. Pengangkutan kerap macet, sehingga warga kerap membuang sampah di jalur akses perumahan.

Aroma serupa TPA menjadi hal biasa, terutama di kawasan pemukiman yang berdekatan dengan sungai dan kawasan industri. Air bercampur limbah dan berbagai jenis sampah rumah tangga mengalir begitu saja ke laut. Alhasil, wilayah pemukiman di pesisir pantai menjadi lautan sampah.

Meskipun sudah diatur pengangkutan dan penanganannya, terutama untuk limbah kategori berbahaya, namun tidak serta merta menjamin Batam menjadi bersih. Tengok saja sungai-sungai yang mengalir melintasi kawasan industri. Airnya nyaris selalu keruh, kadang bercampur dengan aneka rupa bungkusan.

Pulau Batam memiliki sejumlah sungai yang mengalirkan air dari daratan ke laut. Sungai-sungai itu semula adalah kawasan bakau yang kaya akan biota. Dahulu, nelayan sungai dapat mencari berbagai jenis ikan, kerang dan kepiting. Akibat tidak adanya pengelolaan, kini lebih mudah meneukan sampah plastik daripada ikan.

Belum lagi pengaruh arus pasang surut yang membawa sampah dari laut hingga ke pantai, kemudian menumpuk. Pekerjaan rumah besar untuk Batam yang lama tidak dikerjakan dengan serius adalah penataan kawasan sungai. 

Untuk mengatasi persoalan sampah di daratan, terutama sisa makanan, Batam mestinya memiliki strategi pemanfaatan yang memadai. Baru-baru ini, salah satu Bakal Calon Wali Kota Batam Lukita Dinarsyah Tuwo menyatakan, dirinya cukup concern dengan persoalan sampah itu. Pemilahan sampah bernilai ekonomi menurut dia dapat dilanjutkan. 

Lalat hitam. Foto/IST
Lalat hitam. Foto/IST
Namun Lukita menyoroti, pengelolaan sampah organik dari dedaunan dan sisa makanan. Dia menawarkan solusi budidaya lalat hitam atau Black Soldier Flies (BSF). Selain akan menghabiskan sampah basah, BSF juga akan menghasilkan belatung yang bernilai ekonomi tinggi. Belatung lalat hitam saat ini banyak diburu oleh para pebudidaya unggas dan ikan air tawar.

Harga jual belatung relatif tinggi, Rp40 ribu perkilo di sejumlah situs marketplace. Beberapa pembudidaya di daerah lain seperti Yogyakarta dan sejumlah kota di Jawa Tengah bahkan telah mengolah belatung menjadi pakan kering pengganti konsentrat, dan dipasarkan dalam kondisi kering. 

Suplemen pakan ikan hias berbahan belatung lalat hitam juga banyak diburu pehobi. Harganya, Rp45 ribuan untuk kemasan ukuran 85 gram.

Lukita melihat potensi itu dapat menjadi solusi persoalan sampah basah dan penguatan ekonomi sekaligus. Meskipun demikian, Lukita mengaku akan tetap mencari solusi pemanfaatan sampah berbasis teknologi. Beberapa tahun belakangan, media di Batam kerap memuat berita ketertarikan investor pengelola sampah dari berbagai negara. 

Terakhir, perusahaan asal Korea Selatan berminat untuk menanam modal dan mengubah sampah menjadi energi. Namun nyaris dua tahun perkembangannya nyaris tidak terdengar lagi. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun